UZLAH: Resolusi Kemerdekaan Diri

Ilustrasi Pinterest

Oleh: Yamin 

Manusia adalah makhluk yang misterius, sekaligus makhluk yang paling unik dalam segala perspektif. Sebagai puncak ciptaan Tuhan, manusia dikenal dengan sikap misterius dalam dirinya. Salah satu ciri sikap mesterius yang menonjol ialah, selalu memperhatikan sesuatu secara detail, yang dimana hal itu tidak dipikirkan orang pada umumnya. Orang yang demikian selalu memperhatikan hal-hal yang ada didekatnya dan bahkan di dunia luar, selalu memanfaatkan peluang dan informasi untuk menampakkan kecerdasan dan misterius. Sementara itu nilai keunikan manusia menurut Fahruddin Faiz sebagai masterpiece (Mahakarya). Disebutkan sebagai mahakarya Tuhan dikarenakan manusia mengembangan sikap amanah yang cukup besar dalam dirinya, yaitu sebagai mukhayyar dan mukhallaf. 

Sebagai Mukhayyar, manusia mempunyai nilai unik dibandingkan makhluk yang lain, yaitu makhluk yang terpilih untuk bisa memilih. Keterbukaan untuk memilih adalah tanggung jawab besar yang diemban manusia, karna dibalik kebebesan memilih juga terdapat satu konsekuesi besar yang akan dihadapi. Namun pilihan yang diberikan Tuhan bukan semata untuk menjebak manusia agar mereka terpuruk dalam kebaikan dan dalam keburukan, melainkan Tuhan menguji pengendalian potensi yang ada dalam diri manusia sebagai insan yang memiliki kemampuan berpikir. 
Disisi lain manusia sebagai Mukhallaf, dengan mengemban tugas besar yaitu sebagai Khalifah dan sebagai Hamba.  Sebagai khalifah manusia menanggung beban yang sangat besar dengan mewakili Tuhan di bumi dengan menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Qur’an 02: 30. “(Ingatlah) Ketika Tuhan mu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”” Ibnu Katsir menafsirkan kekhalifahan manusia, pertama untuk memutuskan perkara manusia lain tentang kezaliman yang terjadi ditengah-tengah mereka sekaligus mencegah mereka dari perbuatan dosa. Kedua, kekhalifahan manusia untuk menjadi pengganti Tuhan atau peran Tuhan dalam memutuskan perkara secara adil diantara semua makhluk.

Sebagai hamba, manusia memelihara beban kewajiban dari Allah yang harus dipatuhi yaitu perintah dan larangan. Kewajiban yang diemban manusia bukan semata untuk membuat manusia terasa terbebani dengan seperti ruku dan sujud dalam shalat, melainkan Allah mengetahui kebutuhan internal dan eksternal, kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder manusia. Dengan demikian perintah dan larang dari Tuhan semata menjaga kesucian yang ada dalam diri manusia yaitu ruh dan jasadnya.  

Segala potensi yang dimiliki manusia diatas akan terbuang dengan sia-sia jika manusia tidak mampu memanfaatkannya dengan baik. Keunikannya sebagai Masterpiece (Mahakarya Tuhan) atau sebagai sebaik-baiknya makhluk dimuka Bumi sebagaimana juga yang dijelaskan dalam al-Qur’an [95]: 4: “Sungguh, kami telah menciptkan manusia dalam bentuk yang sebak-baiknya”. Dan keunikan manusia sebagai mokrokosmos (Alam Kecil) tidak terselamatkan, mana potensi tersebut sangat mencakup dimensi-dimensi yang besar dalam alam ini. Oleh karena itu, mengenal dan memanfaatkan segala bentuk keunikan yang ada dalam diri akan mengantarkan manusia sebagai makhluk yang terbaik. 

Untuk mengenal segala potensi dan kecenderungan tersebut, manusia perlu muhasabah diri. Muhasabah atau intropeksi diri adalah perkara yang cukup besar dihadapi dan membutuhkan keistiqomah-an, karna proses muhasabah sangat membutuhkan sikap kejeli-an dan ketelitian, renungan akan segala bentuk kelemahan yang bisa menjatuhkan dan sekaligus menjauhkan diri dari potensi dan kecenderungan sebagai makhluk terbaik. Dalam QS. Al-Hasyr [59]: 18-19 Allah Berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”  

Proses muhasabah juga memerlukan integrasi dengan uzlah. Dalam kehidupan kaum sufi, uzlah diartikan memisahkan diri dari keramaian masyarakat. Pemisahan diri tersebut bukan bukan karna ketidak sukaan berkerumunan atau bahkan menjalin silaturahim melainkan untuk menyelamatkan Aqidah dan keyakinan serta menyelamatkan kegiatan ibadah dan muamalah yang terpuji. Proses uzlah juga bukan dimaknai untuk melepaskan diri dari tanggung jawab bermasyarakat atau bersikap amal ma’ruf nahi mungkar, tetapi menjaga kestabilitas diri atas potensi dan kecenderungan yang ada. Dengan uzlah manusia bisa membentuk keakuan diri dan kemerdekaan dalam segala aspek kegiatan, baik kegiatan agama dan ritual lainnya. Karna berada dalam kerumunan manusia susah menemukan jati diri, kesukaan, kecenderungan, hasrat, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan agama ditengah-tengah Masyarakat. Maka dari itu juga seorang filsuf eksistensialisme mengatakan “orang lain adalah sebab kejatuhanku”, bahkan ia lebih jauh menegaskan “orang lain adalah neraka. 

Meniscayakan kemerdekaan diri sebagaimana disebutkan diatas adalah potensi dan keunikan Mukhayyar “manusia yang dipilih untuk bisa memilih”. Lewat menyendiri manusia bisa mengasa segala potensi yang diberikan Tuhan dan meresolusikan kemerdekaan sebagai makhluk terbaik. Sebagaimana pandangan Nurcholish Madjid (Cak Nur) Dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, kemerdekaan adalah kunci utama untuk meraih keikhlasan diri manusia. Kemerdekaan dalam artian kerja suka rela tanpa pamrih, paksaan, tetapi didorong oleh kemauan yang murni dan sejalan dengan hati Nurani. Dengan Ikhlaslah segala amalan mansia bisa diterima sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an Az-Zumar [39]: 2-3: “Maka sembahlah Allah dengan tulus dan Ikhlas beragama kepadanya.”


Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis!