Menggelitik Kasih Sayang Tuhan Dalam Konsep Keluarga

 

Oleh: Taufikurrahman

Hidup adalah misteri di mana kita harus berkelana untuk mencari tahu sendiri apa sebenarnya yang belum kita ketahui. Hidup memang selalu menjadi tantangan tersendiri bagi sang pengembala kehidupan, tak terkecuali dengan kehidupan mereka di luaran sana yang menginginkan kebahagiaan yang sudah kau janjikan itu.

(Allah), pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak berpasang-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia yang maha mendengar, maha melihat (Q.S Asy-Syuara-10).

Setiap keluarga, pastinya memiliki cerita dan roda kehidupan masing-masing, hidupmu, hidupnya dan hidupku mungkin tak sehebat dan tak sebahagia keluarga lainnya. Tetapi aku, sebagai manusia harus selalu bersyukur di setiap fasenya. 

Mungkin saja terkadang kita merasa ketidakbahagiaan, ketidakadilan, ketersiksaan dan kesengsaraan. Namun, siapa yang tahu mungkin ada orang lain diluaran sana yang lebih tersiksa, lebih tak merasa ketidakadilan, lebih sengsara dan lebih tidak bahagia seperti apa yang kita rasakan hari ini.

Kami, iya mereka yang berada dalam fase itu, memang sudah tak mengenal arti sesunguhnya kasih sayang orangtua. Arti sebenarnya kehangatan sebuah keluarga dan rasa aman dilindungi oleh orang tua. Bahkan mungkin Tuhan akan mereka tiadakan juga. Kami tak berkesempatan untuk itu karena orang tua kami sudah sejak lama berpisah sebelum aku masuk taman kanak-kanak yang belum mengenal apa pun, ujar mereka yang mulai kehilangan kasih sayangnya. 

Aku sedikit menggelitik terkait tafsiran Al-Qur'an yang membicarakan konsep kasih sayang, berhubung kepercayaan dan keyakinanku Islam. Coba kalian renungkan. Katakanlah (Muhammad), "Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (Ali Imran ayat 31).

Saat kecil aku mungkin seperti yang lainnya bermain menghabiskan waktu, hingga tak terasa mereka sudah tumbuh semakin dewasa. Aku adalah anak sulung dua bersaudara, sejak dulu kami hidup bersama nenekku dan juga salah satu putri yang merupakan saudara ibuku. Ke mana ibu kami, dia pergi jauh ke negeri orang untuk mencari kehidupan lainnya di sana. Meski ibuku tak sepenuhnya mengingikan kami, tapi dia ke negeri orang juga berniat untuk mencari nafkah bagi kami berdua. 

Di sini mulai konsep kasih sayang tak mereka rasakan, katanya Tuhan adil? Kenapa coba diberikan kepada mereka yang membutuhkan untaian tangan itu. Inilah alasan kenapa kita harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

Selanjutnya, saya berpikir cobaan itu telah selesai, ternyata itu semua salah. Tuhan kembali memberikan ujian kepada kami lewat seorang bapak yang lebih memilih jalan hidup baru bersama orang lainnya, ya kita sebut dia adalah Ibu tiri (istri barunya). Akhirnya  kami mulai mengerti lika-liku dalam kehidupan ini, tapi kami belum mengerti apakah semua itu ada alasannya.

Itulah yang selalu menjadi titik ukur ketika kami Mulai merenung dan dikala kesedihan dan kerinduan itu datang. Hal pertama yang kuanggap tabu adalah ketika salah satu dari mereka  mengungkapkan, "Kamu kan punya bapak. Minta saja ke bapakmu." Aku tertegun diam, bukan karena marah atau sedih tapi sesuatu yang lain ada di dalam pikiran dan hatiku bangkit mempertanyakan kembali kisahku pada diri sendiri. Ketika aku ditanya demikian jujur aku tak bisa menjawab. Kalaupun aku bisa menjawab, akan kujawab bagaimana? jika aku jawab tidak, di sisi lain tentu aku punya. Lalu kepada bapak yang mana saya harus minta tolong?

Seketika itu aku mulai bertanya, terus terngiang-ngiang dalam benak, mengapa aku harus seperti ini. Dan mengapa hidupku tak seperti yang lainnya. Pertanyaan itu terus ada hingga saat ini di benakku. Karena aku belum mengerti apa sebenarnya tujuan hidupku. 

Kembali kita lihat tafsiran ayat yang berbicara tentang (ujian), Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 286). Disinilah kita harus mulai bermuhassabah.

Ternyata itu semua belum berakhir, aku mendapat masalah sejak aku mulai dewasa karna meninggikan watakku. Tak hanya sekali bahkan bekali-kali. Awalnya adalah karena kemarahanku pada mama yang menurutku mereka berlebihan ketika menasihatiku, dan memperbincangkanku di belakang bersama orang lain di luaran sana. Aku kesal marah dan kecewa. Karena aku merasa dipojokkan dari pembicaraan mereka, menjelekkanku kalau aku mungkin kecewa dan marah karna memikirkan pendapat orang lain nantinya terhadapku lupakan saja hal itu, sungguh aku tak begitu perduli tanggapan orang lain padaku.

Tuhan, kenapa kau renggut semua kebahagiaan ini, kenapa kau hancurkan mimpi-mimpiku. Aku kecewa bukan kepada takdirmu, tapi aku kecewa dan marah karena ibu telah menghancurkan kepercayaanku. Selama ini, dia yang kuberikan kepercayaan paling besar, nyatanya menohok diriku seperti itu. 

Aku mulai berpikir saat itu, mengapa aku harus menjadi pemenang dulu untuk bisa membuahi sel telur ibuku, dan mengapa aku harus terlahir di tengah keluarga tak harmonis sepeti ini? Dimana kebahagiaan dan keadilan yang katanya kau janjikan dalam Asma-Mu yang begitu indah. Apakah kau bisa dan tuli ataukah sifat keserakahan itu kau hadirkan dalam diriku sebagai ujian yang Kau berikan untuk selalu mengingat-Mu.

Tuhan, aku iri pada yang lain. Dan aku mulai berandai-andai kalau saja ibuku bersamaku mungkin rasa penyesalan mengecewakan dan sesakit ini yang aku alami. Mama membicarakanku seolah aku adalah orang lain di hidupnya. Seolah aku adalah parasit dan seolah aku hanya bisa menyusahkan saja baginya. 

Yah, seperti itu aku menyimpulkan perkataan mama, katanya engkau menjanjikan bahwa surga ada dibawah telapak kakinya. Tuhan, siapakah yang harus kita salahkan dalam lika-liku kehidupan seperti ini. Dan siapakah yang tidak akan pernah merasakan kasih sayang itu. Semuanya aku percaya kepadamu sebagai tempat memohon dan meminta karna aku yakin semuanya akan kembali kepadamu sebab engkaulah pemilik skenario itu.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis!