Oleh: Hamdan Julfa
Satu minggu yang lalu kami melakukan kunjungan ke vihara Ibu Agung Bahari yang terletak dijalan Sulawesi nomor 41, sudut selatan persimpangan jalan Serui. Alasan kami mendatangi tempat tersebut bukan karena kami ingin melakukan ibadah, melainkan tuntutan tugas kuliah yang harus kami penuhi sebagai mahasiswa di prodi Sejarah Peradaban Islam.
Saya pribadi menganggap perjalanan tersebut cukup berkesan karena untuk pertama kalinya saya bisa berkunjung dan memasuki tempat ibadah selain masjid. Hal itu menjadi peristiwa yang baru dalam hidup saya.
Kami dibuat terkesima dengan arsitektur bangunan serta ornamen yang ada dalam bangunan tersebut, diluar vihara tampak orang-orang berlalu lalang sibuk dengan profesi mereka masing-masing, aktivitas disekitar vihara cukup padat mengingat tempat ini berada dipusat kota.
Dilokasi saya sempat bercengkrama dengan pengurus viraha tersebut yang sampai saat ini belum saya ketahui Namanya. Pada waktu itu kami tidak sempat berkenalan saking asiknya berbincang. Beliau sangat ramah, menceritakan sedikit hal kepada saya mengenai apa-apa yang ada dalam bangunan tersebut.
Beliau bilang bahwa tempat tersebut sebelumnya kelenteng (rumah sembahyang Konghucu) namun beralih fungsi menjadi vihara, yakni tempat sembahyang atau melakukan ritual lainnya bagi agama Buddha.
Awalnya saya tidak terlalu tertarik menanyakan perbedaan mendasar dari kedua tempat tersebut sampai pada akhirnya saya membaca sebuah artikel yang membahas terkait perbedaan antara apa itu kelenteng dan apa itu vihara, ketika sedang mencari informasi tambahan untuk memenuhi tugas yang sedang saya kerjakan saya dibuat terkejut mengenai salah satu artikel.
Artikel yang membahas mengenai kerusuhan rasial yang menimpa orang-orang Etnis Tionghoa pada tahun 1997 di Kota Makassar. Akhirnya saya dibuat sadar dengan pernyataan pengurus vihara yang saya temui diawal kemudian mengatakan bahwa vihara Ibu Agung Bahari yang dulunya merupakan sebuah kelenteng.
Pada tahun 1997 Makassar pernah menjadi tempat yang memberikan mimpi buruk bagi Etnis Tionghoa-China, pada waktu itu masyarakat Tionghoa menjadi bahan pelampiasan atas sebuah peristiwa yang seharusnya tidak terjadi, peristiwa yang dimaksud merupakan kematian seorang anak perempuan berusia 9 tahun bernama Anni Mujahidah Rasuna.
Anni ditemukan meregang nyawa di Jalan Kumala setelah ditebas oleh seorang pria bernama Benny yang memiliki gangguan kejiwaan. Benny merupakan anak dari pengusaha kecap yang beretnis Tionghoa. Waktu kejadian, Benny melakukan pengancaman dengan senjata tajam berupa parang kepada setiap warga yang melalui Jalan Veteran dan Jalan Kumala.
Awalnya Benny melakukan pengancaman pada seorang bapak-bapak penjual tahu dan mengejarnya, rasa jengkel karena tidak mampu mengejar bapak-bapak tersebut yang akhirnya Benny lampiaskan kepada Anni yang baru saja pulang dari masjid pada saat peristiwa berlangsung.
Malamnya, setelah peristiwa kematian Anni warga kota Makassar menjadi beringas. Keberingasan tersebut diawali dengan pembunuhan terhadap Benny sang pelaku kemudian berlanjut pada penjarahan serta pengrusakan tempat-tempat yang dihuni atau ada kaitannya dengan warga Tionghoa.
Makassar menjadi kacau dalam semalam, penjarahan dimana-mana, pengrusakan disertai dengan pengancaman ditujukan kepada semua warga yang beretnis Tionghoa tanpa terkecuali.
Klenteng Ma Tjo Poh yang sekarang kita kenal dengan vihara Ibu Agung Bahari merupakan salah satu tempat yang menjadi sasaran amukan warga. Tempat peribadatan orang-orang Tionghoa tersebut ludes dibakar oleh warga. Hanya sedikit yang mampu diselamatkan dari kebakaran tersebut.
Peristiwa nahas itu
sangat berdampak pada sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa yang
sering melakukan ibadah ditempat tersebut, mereka takut, mereka merasa
terancam, mereka pasrah, yang pada
akhirnya banyak masyarakat Tionghoa yang awalnya
beragama Konghu Chu, terpaksa beralih kepercayaan memeluk Agama Budha.
Agama yang seharusnya menjadi sesuatu yang sangat personal dalam diri seorang manusia mampu dikalahkan oleh ketakutan. Kerusuhan rasial tersebut didukung oleh kondisi Indonesia pada waktu itu yang sedang mengalami krisi moneter. Keadaan tersebut sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat kota Makassar yang serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.
Dengan dalih kematian Anni seorang anak kecil yang dibunuh secara keji oleh Benny warga Tionghoa menjadi alasan warga kota Makassar membenarkan tindakan mereka dalam menjarah, membunuh, dan meneror.
Hanya karena kesalahan yang dilakukan oleh satu orang, yang lain—dan tidak berkaitan—mendapatkan imbasnya. Dari peristiwa kelam tersebut, kita bisa belajar dan sama-sama melihat bahwa identitas yang melekat pada diri individu kerap dinilai secara kolektif ketika menyangkut kebencian.