Oleh: Risal Sannai
Penutupan
kampus sudah menjadi hal yang tak asing lagi di kampus UIN Alauddin Makassar
(UINAM). Saking seringnya, penutupan serupa tak perlu didebat. Penyebabnya hampir selalu sama, kadang
kala di mulai dari beredarnya isu-isu bentrok hingga bentrokan itu benar-benar
terjadi.
Seperti yang
berlangsung saat ini. Kamis, 22 juni 2023, UINAM mengalihkan
proses pembelajaran mahasiswa dari tatap muka secara langsung
ke tatap muka via zoom hingga
27 Juni 2023. Hal ini
disampaikan melalui surat edaran yang ditandatangani lansung oleh Rektor.
Akibat dari itu,
mahasiswa yang hendak masuk kampus pun dibatasi. Mahasiswa yang bisa masuk
kampus hanya mereka yang sudah terjadwal ujian dan dibuktikan dengan dokumen,
itupun musti melewati seleksi yang ketat terlebih dahulu.
Saking
ketatnya, pada hari pertama diberlakukannya surat edaran tersebut, terlihat
pihak keamanan kampus dibantu aparat kepolisian berjaga-jaga di pintu gerbang. Saat itu, kedua pihak keamanan dari
status yang berbeda bekerja sama dengan baik.
Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Katanya, adalah demi menjaga kondusifitas kampus dari hal-hal yang tidak dikehendaki seluruh civitas academica. Meski sebenarnya ini tidak begitu masuk akal untuk dicerna, apalagi dikalangan masyarakat ilmiah seperti mahasiswa.
Tapi entahlah, kita benar-benar lelah dan nyaris antah berantah dimusim Pilrek (pemilihan rektor)
sekarang ini. Marilah kita selalu berprasangka baik meski kita
(mahasiswa) tidak dilibatkan untuk memilih siapa role model yang
diidam-idamkan.
Cuma saja,
dengan ditutupnya kampus, pernahkah kita bertanya-tanya tentang siapa yang
menjadi korban dari keadaan semacam itu meski dalilnya
“kondusifitas”?
Saya hanya
ingin mengajak pembaca kembali mengingat diawal tahun 2020 silam. Tak lama setelah Prof Hamdan
Juhannis resmi menjabat sebagai rektor UIN Alauddin Makassar, waktu itu, tarif sewa kantin melalui
P2B yang sebelumnya hanya dibayarkan dengan jumlah 6,6 juta
tiba-tiba berubah
menjadi 15 juta per tahunnya. Artinya, penyewa atau yang akrab kita sapa Pace/Mace
mesti membayar lebih
tinggi atau hampir tiga kali lipat dari sebelumnya.
Sebenarnya
tagihan sebanyak 15 juta pertahunnya itu mungkin bisa saja dilunasi oleh
penyewa jika waktu masa penjualannya sesuai dengan kontrak yang dibayarkan,
yakni 11 bulan. Tapi jika dihitung-hitung,
masa normal penjualan hanya berjalan 7 bulan. Sebab terlepas dari libur bulan Ramadan yang tidak termasuk
dalam kontrak, ada pula libur-libur lain yang dimana penyewa tak bisa
menjual. Seperti libur semester, libur tanggal merah, dan tanggal yang sengaja dilibur-liburkan lainnya. Sebagaimana libur yang
terjadi hari ini di UINAM.
Pagi tadi, saya berkesempatan ngobrol dengan Abah (nama
samaran) sebagai penyewa
kantin. Berbilik
kurang lebih dua meter persegi, terlihat
hanya kantin miliknya yang menjual, sementera sebelas lainnya tutup. Alasan Abah untuk tetap menjual dihari-hari
pembatasan seperti itu sederhana, yakni pembayaran uang sewa yang menghantui.
“Yah menurun
sekali karena tidak ada anak-anak yang masuk toh, boleh dikata sembilan puluh persen
menurun.”
Bagi Abah, tidak ada alasan untuk tidak menjual, sebab pembayaran 6,6 juta saja yang
sebelumnya Ia musti berkorban tenaga, waktu dan pikiran hanya sekedar untuk
membayar tagihannya. Apalagi menarget angka 15 juta. Belum tagihan-tagihan rumah tangganya seperti
listrik, air, pendidikan, serta kebutuhan lainnya.
Meski hari ini Abah tahu pasti bahwa kampus sedang diliburkan,
namun Ia tetap jualan dengan mengharapakn omset yang juga Ia tahu pasti kecil. “Yang
ujian bisaji masuk toh. Itumi yang diharapkan, makan. Cleaning Service
juga biasaji makan disini.”
Sementara
itu kita juga masih ingat, bersamaan dengan tragedi yang menimpa Pace/Mace
(sebutlah saja tragedi), ada lelucon yang cukup menyedihkan untuk di tertawakan. Betapa tidak, pada Maret 2023, UIN Alauddin
Makassar dikabarkan meraih penghargaan pengelolaan Badan Layanan
Umum (BLU) terbaik dari Menteri Keuangan, yang
dimana P2B hampir sebagian besar ikut menggembar-gemborkan eksistensi
UINAM sebagai kampus BLU. Entah apa tolok
ukurnya(?).
Atas naiknya tarif sewa kantin, renovasi menjadi alibi P2B.
Renovasi yang dimaksud juga itu sekadar mengecat ulang yang tampak oleh mahasiswa. Fasilitas untuk
kebutuhan Pace/Mace seperti westafel cuci piring yang biaya renovasinya
pernah dimintai patungan lima puluh ribu per orang (Pace/Mace) oleh pihak
P2B kan tidak terlihat mahasiswa? Itu diluar daripada tagihan 15 juta yang menjadi momok.
Sekali lagi, apa tolok ukurnya!?
Sayangnya,
lelucon ini kurang massif di tertawakan dikalangan mahasiswa. Tetapi begitulah, isu-isu bentrok seolah lebih
akademis dan terpelajar dibahas. Sedangkan masalah-masalah yang lebih substansial lainnya dilupakan begitu
saja.
Ini baru
satu contoh kasus. Kasus lain bisa saja datang dari mahasiswa yang membutuhkan
biaya minimal 500 ribu untuk sekali perjalanan menuju rumahnya. Katakanlah mahasiswa
dari Bima, Selayar, Ambon, Ternate dan mahasiswa-mahasiswa lainnya yang jalan
pulangnya harus
menyeberangi pulau.
Sepintas
memang kiranya tidak mungkin dan tidak masuk akal jikalau harus pulang hanya
dengan waktu libur seminggu. Tapi karena alasan tidak adanya kegiatan kampus atau
semacamnya dan sebentar lagi lebaran, bisa saja terjadi bukan?
Dengan surat edaran itu, apakah kampus kita kondusif? Kenapa tidak meliburkan dua fakultas yang saling bentrok saja? kenapa juga fakultas yang saling bentrok tidak berkolaborasi untuk berbentrok dengan masalah-masalah kampus seperti UKT, pelecehan seksual, pungli, serta masalah-masalah lainnya. Cawe-cawelah!