masukkan script iklan disini
Oleh: Miftahul ikhsan
Bagi mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), studi tour tak lagi asing.
Apalagi mahasiswa yang tengah menjalani semester 4 ke atas, mereka akan sibuk mempersiapkan diri masing-masing untuk melaksanakan kuliah lapangan—yang diwajib-wajibkan.
Study tour adalah kegiatan wisata yang dilakukan dengan tujuan untuk menambah dan memupuk pengetahuan mahasiswa.
Tapi, kegiatan ini menuai polemik bagi mahasiswa SKI. Dari semua mahasiswa yang telah mengikutinya, tak banyak yang merasa bahwa kuliah lapangan ini efektif atau membuahkan hasil yang maksimal.
Mulai dari pembayaran yang memberatkan, tidak adanya pembekalan untuk memasifkan perkuliahan lapangan, hingga model penilaian yang diskriminatif.
Hal tersebutlah yang membuat study tour menjadi polemik karena penggarapannya yang acakadut sehingga outputnya tak maksimal.
Pembayarannya misal. Seyogianya, mahasiswa tak harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk mengikuti study tour. Karena study tour atau 'kegiatan lapangan' ditanggung sebagai 'Biaya Langsung' yang penganggarannya tersalur dari Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (BOPT).
Namun, dosen masih saja memungut biaya dari mahasiswa dengan alasan anggaran study tour hanya cukup untuk daerah gowa-makassar, sehingga diluar dari daerah tersebut harus mengeluarkan biaya Rp70.000 hingga
Rp550.000 per mahasiswa.
Tidak adanya pembekalan dari dosen pengampu mata kuliah tertentu juga menjadi kendala bagi mahasiswa. Dari metodologi riset, hingga teknik pengumpulan data.
Itulah sebabnya laporan hasil perjalan study tour hanya bermuara menjadi nilai ujian final. Padahal, pernah guru besar UINAM, Prof Dr Mardan mengharapkan hasil study tour mahasiswa SKI dirangkum menjadi sebuah buku.
Pembekalan sih ada. Tapi hanya mengarahkan hal-hal teknis seperti; titik kumpul sebelum berangkat dimana, catering, penginapan, hingga uang yang dipungut dari mahasiswa disetor kemana(?).
Belum lagi model penilaiaanya yang diskrimatif. Salah satu dosen memberikan nilai terbaik dengan barometer foto; mahasiswa/mahasiswi yang berpose paling dekat dengan dosen tersebut saat berfoto dilokasi study tour, maka dialah yang akan mendapatakan nilai lebih pada mata kuliahnya.
Hal tersebut memcerminkan bahwa pendidikan tinggi kita hanya melihat peserta didik sebagai nominal, bahkan kapital.