masukkan script iklan disini
Oleh: A. Arika Wibowo
Jas Merah “Jangan Sekali kali Melupakan Sejarah." Suatu semboyan yang disampaikan Bung Karno dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentunya instruksi ini bukan sekedar mengingat, melainkan memetik pembelajaran dan hikmah dari masa lalu sebagai modal manusia menata hidupnya di masa depan yang lebih baik.
Apa yang ingin penulis gali dari Momentum kelahiran Cak Nur pada tanggal 17 Maret mendatang tidak lain untuk mengambil kebaikan yang tertanam di masa lalu, berupa kontribusinya yakni ide pemikiran keislaman untuk kita tanam di masa ini dengan harapan masa depan yang lebih baik.
Pemikiran beliau mulai dikenal kurang lebih 52 tahun yang lalu, waktu itu panggung intelektual dan aktivis dikejutkan oleh orang yang sama dengan gagasan yang berbeda, menyedot banyak perhatian publik yang tidak terbatas dari golongan ilmuwan (pemikir) saja, namun juga dari golongan pemerintah dan masyarakat umum. Gagasan tersebut lahir dari pemikiran brilian di zamannya yakni Nurcholish Madjid, yang akrab disapa dengan Cak Nur. Gagasan seksi ini dikemas dalam bentuk tulisan atau artikel yang di tulis beliau dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat” yang di terbitkan pada tanggal 3 Januari 1970.
Sebelumnya, Cak Nur sudah di kenal melalui tulisannya yang lain. Salah satu artikelnya yang berjudul “Modernisasi Ialah Rasionalisasi Bukan Westernisasi” tahun (1968) merupakan batu loncatan bagi Cak Nur dikenal sebagai pemikir nasional (Budhy Munawar Rahman, 2020. karya lengkap Nurcholish Majid, hal.39).
Tetapi artikel tahun 70-an inilah yang menarik begitu banyak perhatian dan kegaduhan intelektual, bahkan Ahmad Gaus AF dalam bukunya yang berjudul Api Islam menyebut artikel ini sebagai "Revolusi januari." Artikel tersebut menjadi magnet perhatian dari seluruh golongan khususnya ummat muslim. Tetapi sayangnya isi artikel ini pada waktu itu lebih banyak di salah pahami dan di respon negatif. Namun, tulisan ini tidak bertujuan ingin menguraikan kesalahpahaman tersebut, mengingat Cak Nur telah memberikan penjelasan dan tanggapan dari permasalahan ini (baca buku Nurcholish Madjid: Islam kemoderenan dan keindonesiaan, Bab 4).
Selain hal di atas, bisa saya mengerti dan kiranya perlu saya jelaskan mengapa Ahmad Gaus menyebut artikel 1970 sebagai momentum revolusi januari. Ada dua faktor yang melandasi dan mendukung revolusi januari. Pertama, sepanjang dasawarsa 1960-an dan awal 1970-an isu yang paling menonjol di kalangan ummat islam adalah perpecahan yang ditimbulkan oleh baik perbedaan aliran maupun perbedaan dalam menyikapi isu modernisasi dan pembangunan ( Kamal dalam ahmad Gaus, 2010. Hal 82). Kedua, perhatian politik ummat muslim khususnya tokoh-tokoh masyumi yang masih fokus dan bersih keras untuk mendirikan kembali Partai Masyumi yg telah di bubarkan sebelumnya sehingga hal tersebut membuat Cak Nur perlu memberikan komentar dalam artikelnya tersebut.
Jika partai-partai islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan islam, jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan yang tidak menarik yang kemudian hari komentar itu melahirkan jargon yang populer “Islam yes, Partai islam, no!"
Kemudian dalam sosiologi pengetahuan menyatakan bahwa suatu pemikiran yang lahir tidak muncul dari ruang kosong. Setiap gagasan apalagi gagasan baru selalu merupakan respon atas situasi sosial-historis tertentu (Budhy munawar-rahman, 2020). Artinya dua faktor atau kondisi di ataslah yang menjadi latar dan fokus persoalan dari dua artikel yang di tulis Cak Nur. Terkhusus untuk artikel 1970 menjadi pelengkap yang kemudian menjadi solusi atau jawaban Cak Nur untuk keluar dari polemik sepanjang tahun 1960 sampai 1970-an mulai dari isu modernisasi, masalah pembangunan dan polemik partai islam yang menjadi wadah politik untuk ide negara islam. Cak Nur, dengan jargon “sekularisasi-nya" dan “Islam, Yes; Partai Islam, No” hendak mengajak umat islam untuk mulai melihat kemandekan-kemandekan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung oleh berbagai bentuk kejumudan.
Dengan dasar adanya pemikiran ini (artikel 1968, dan artikel 1970) para pemikir lain menyebut Cak Nur sebagai pembaharu (reformis) di masanya dan melalui artikel tersebut juga menjadi titik dasar untuk memulai (revolusi januari 1970), perubahan paradigma dan cara hidup ummat muslim indonesia.
Kendati demikian, dari dua artikel tersebut dapat di tarik suatu ide besar yang menonjol atau paling tidak yang ingin disampaikan oleh Cak Nur, yakni ide modernisasi dari artikel 1968 dan ide sekularisasi dari artikel 1970 . Sehingga ide inilah yang menjadi inti dari gagasan pembaharuan Cak Nur yang menjadi pokok refleksi sekaligus analisis terhadap kondisi perkaderan HMI Cabang Gowa raya .
Sekularisasi+Modernisasi=Kepribadian Muslim
Seorang muslim mestinya memiliki pembeda yang prinsipil dengan ummat yang lain. Pembeda tersebut tentunya idealnya tercermin dari pribadi seorang muslim. Pribadi yang dimaksud merupakan kelanjutan atau bentukan dari keyakinan atas Tauhid. Dalam arti lain, iman ini harusnya membekas dalam diri seorang muslim yang melahirkan suatu kepribadian. Pribadi ini meliputi cara pandang dan sikap seorang muslim.
Cak Nur dalam artikel 1970 menegaskan pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah- masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya” ( Nurcholish Madjid, 2013. Islam kemoderenan dan keindonesiaan. Hal 252). Bagi Cak Nur, inilah cara pandang dasar yang terbentuk oleh keyakinan atas tauhid. Maka dari itu seorang muslim melihat, memandang selain Tuhan (dunia ini-profan ) tidak dengan menyematkan nilai sakral atau transenden ke dalamnya. Ia mampu membedakan manakah yang harusnya di sakralkan ataupun sebaliknya. Cara pandang tersebut dalam istilah Cak Nur menamainya sebagai sekularisasi.
Tetapi dalam perjalanan hidup manusia dan dalam masyarakatnya terdapat objek-objek duniawi dan hasil budayanya yang tidak sengaja atau tidak disadarinya telah tersakralkan. Sementara apa yang telah di sakralkan (selain Tuhan) oleh manusia cenderung di pertahankan di bandingkan mengoreksinya. Disinilah peran ide sekularisasi. Sebab, sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah pada hakikatnya, yang dinamakan syirik lawan dari tauhid ( Nurcholish madjid, 2013. Islam kemoderenan dan keindonesiaan. Hal 252).
Sekularisasi melepaskan atau membebaskan manusia dari belenggu yang muncul dari apa yang ia sakralkan selain Tuhan. Selain membebaskan, sekularisasi ingin menekankan bahwa hal yang bersifat duniawi perlunya disikapi dengan benar dan tentunya bukan dengan penyakralan. Karena pemutlakan transendensi atau sakralisasi terhadap selain Tuhan menutup potensi manusia memahami dunia sebagai mana adanya.
Sebagai contoh pernah dalam sejarah terdapat masyarakat yang memiliki keyakinan jika terjadinya hujan disebabkan dewa-dewa sehingga atas keyakinan ini mereka sulit untuk mengetahui secara objektif hukum yang mengatur terjadinya hujan. Maka dari itu konsekuensi dari sekularisasi harus menyikapi dunia ini (alam fisik dan lingkungan sosial) dengan sesuatu yang dapat mengantarkan manusia memahami hukum objektif yang mengatur dunia.
Ilmu pengetahuan, tidak lain ialah hasil pemahaman manusia mengenai hukum-hukum objektif yang menguasai alam (alam fisik dan lingkungan sosial), (Nurcholish Madjid, 2013. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, hal 208). Manusia tidak dapat memahami hukum tersebut jika tidak menggunakan daya nalarnya sendiri (rasionalitas) ketika berhadapan dengan alam ini. Manusia memerlukan ilmu pengetahuan itu demi kepentingan hidupnya. Karena melalui ilmu pengetahuan manusia dan masyarakatnya dapat memetik kebahagiaan duniawi. Oleh karena itu, manusia perlu menjalani hidupnya yang berdasar pada ilmu pengetahuan. Hidup yang seperti ini bagi Cak Nur adalah kehidupan modern. Jadi, sesuatu yang dapat disebut dengan modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah yang bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. (Nurcholish Madjid, 2013. Islam kemodernan dan keindonesiaan. Hal 210). Jadi Modern disini dalam pengertian Cak Nur bukanlah dimaksudkan dengan westernisasi, melainkan rasionalisasi.
Dalam ajaran islam hukum alam merupakan sunnatullah Tuhan yang menguasai dunia ini (QS Al-Jatsiyah –13). Sehingga Cak Nur mengartikan rasionalisasi atau modern berarti penggunaan akal guna memahami dan hidup yang sesuai dengan hukum alam maka secara tidak langsung hidup modern sesuai dengan ajaran islam (Nurcholish Madjid, 2013. Islam kemoderenan dan keindonesiaan, Hal 210). Tetapi pada kenyataannya manusia tidak dapat sekaligus memahami seluruh hukum ini melainkan bertahap dan perlahan.
Inilah sebabnya perlu sikap terbuka dan memiliki keinginan untuk mendengar dari orang lain mengenai capaian rasionalitas mereka. Jadi pribadi atau hidup yang modern senantiasa menginginkan kebaruan bagi dirinya dan lingkunnya yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya mempertahankan keadaan yang stagnan (tidak adanya kemajuan atau syirik sosial) bertentangan dengan spirit modern. Mungkin tepatnya seperti yang di ungkapan Cak Nur di penggalan teks NDP BAB II “dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan” (Azhari Akmal Tarigan, Nilai Dasar Perjuangan. Bandung: Rosda karya. Hal 26).
Dari uraian di atas mestinya seorang muslim mengintegrasikan ide sekularisasi dan modernisasi menjadi sikap atau model pribadi mereka. Mengingat dalam hidup ini terdapat berbagai masalah dan stagnasi. Sementara di sisi lain diri manusia (fitrahnya) menuntut adanya perbaikan, perkembangan ke arah yang lebih baik. Maka perlu bahkan suatu keharusan memiliki pribadi seperti ini yang tentunya ini bagian dari kelanjutan keimanan dan demi kebahagiaan manusia itu sendiri.
Kultur dan Perkaderan: perlunya Sekularisasi
Pelaksanaan perkaderan HMI pastinya dituntut untuk mengikuti Pedoman Perkaderan (PP) yang berlaku. Semua yang berkaitan dengan perkaderan meliputi, tujuan, jenis, jenjang, prinsip dll termaktub dalam PP HMI. Perkaderan HMI tidak terbatas pada kegiatan training, tetapi seluruh kegiatan HMI merupakan bagian dari pelaksanaan perkaderan. Meskipun HMI telah memiliki PP, HMI Cabang Gowa raya memiliki sesuatu tambahan yang menopang atau melengkapi PP. Sesuatu itu disebut kultur. Secara defenitif kata kultur tidak pernah didudukkan secara teoritis mengenai pengertiannya karena lebih banyak dipergunakan secara operasional dalam konteks perkaderan. Secara praktis kultur ini terbentuk atau dibentuk oleh kader itu sendiri.
Ada beberapa alasan terbentuknya kultur, diantaranya; pertama, biasanya untuk mengisi ruang kosong dalam perkaderan yang tidak mendapatkan penjelasan rinci dalam PP. Kedua, penghayatan kader atas isi PP sehingga dalam operasional pelaksanaannya terjadi inovasi atau pengembangan. Ketiga, karena kebutuhan atau tuntutan zaman sehingga dituntut perlunya penambahan juga pengembangan perkaderan. Sebagai contoh yang dimaksud produk kultur misalnya seperti materi dialog kebenaran di LK I HMI di beberapa Cabang di BADKO SULSELBAR. Maka dari itu di setiap cabang bahkan komisariat berpotensi memiliki kultur yang berbeda.
Jadi kultur merupakan produk kader yang tentunya sangat dipengaruhi dan disesuaikan dengan keadaan zamannya (keadaan perkaderan, sistem pendidikan, kemahasiswaan, masyarakat dll). Oleh karena itu suatu kultur dapat menjadi usang atau tidak relevan lagi dengan kondisi zaman yang berubah. Kultur yang seperti ini harusnya ditinggalkan atau paling tidak di rekonstruksi, jika tidak akan menghalangi progresivitas (kemajuan) dan yang relevan tetap dipertahankan karena fitrah manusia menyerukan kepada kebaikan dan kemajuan. Tetapi pada faktanya hal ini sulit dilakukan karena ketidakmampuan kader membedakan manakah PP dan manakah kultur. Ada yang memposisikan kultur sejajar bahkan lebih tinggi dari PP atau bahkan kultur telah di kunci dan dianggap sesuatu yang final. Akibatnya kultur menjadi mapan atau tersakralkan kemudian tersucikan sehingga tidak diperkenankan untuk diubah. Tentunya juga ini bertentangan dengan kepribadian muslim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Mungkin ini yang dimaksud oleh Ali Syariati sebagai bagian dari empat penjara manusia. Sejarah yang dapat menghambat manusia jika memandang eksistensinya merupakah produk sejarah dan tidak bisa melepaskan diri dari apa yang terjadi di masa lalu (Asran Salam, Ali syariati: Dari revolusi menuju revolusi sosial. Gowa: akasia. Hal. 67).
Oleh karena itu disinilah letak dan perlunya sekularisasi mengenai objek-objek yang telah tersakralisasi tanpa sadar dalam tubuh perkaderan HMI Cabang Gowa raya yang telah lama hidup dan bahkan menjadi benalu. Terakhir, semoga tulisan ini dapat diartikan sebagai refleksi yang membangun dan tentunya terbuka untuk dikomentari.