Sebagai agama yang memberikan keselamatan, umat Islam
harus mampu membuka diri atas kebenaran dari sebuah agama, bahkan terbuka
melihat kebenaran Islam tidak hanya lahir dari ajaran Nabi Muhammad SAW.
Lebih dari itu, yakni
membuka diri untuk tidak mengklaim dan memonopoli kebenaran, melainkan
kebenaran dijadikan payung besar agama-agama yang benar (Abrahamic Religion). Dalam sejarah panjang agama-agama dunia, kesemuanya lebih banyak diwarnai
peperangan atas dasar pengklaiman kebenaran.
Islam adalah agama Rahmatan lil’alamin (Rahmat
bagi seluruh alam semesta) yang tidak
terkecuali, maka sikap menyerahkan diri atau pasrah dihadapan Tuhan bukanlah
semata untuk menggugurkan kewajiban melainkan memberikan keselamatan bagi
masyarakat lain atau umat agama lain disekitarnya.
Sebagaimana definisi kata Islam yang berakar dari bahasa
Arab, yaitu kata kerja salama yang secara umum mendung arti penyerahan, atau menyerahkan diri. Jadi seorang muslim adalah
seseorang yang telah melakukan perintah Allah yaitu patuh dan berserah diri
secara totalitas dihadapanya.
Sebagai agama yang mengajarkan sikap penyerahan dan rahmatan
lil’alamin, maka seorang muslim adalah orang yang tidak membuat keonaran,
kerusakan, kehancuran, baik pada sesama muslim atau non-muslim. Karakter
seorang muslim adalah diibaratkan sebagai seekor binatang lebah, dengan sebuah
gambaran yang metaforis dan indah.
Lebah adalah binatang yang sangat berguna sebagai obat
berbagai macam jenis penyakit umat manusia, lebih dari itu, bila lebah hinggap
di pohon maka ia tidak pernah memberikan kerusakan pada tempat yang ditempati,
melainkan memberikan banyak manfaat bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian
muslim harus mampu menciptakan kedamaian lingkungan dan lebih-lebih dalam
mengahadipi tantang pluralisme
agama.
Gambaran yang metaforis dari sikap umat Islam, menunjukan bahwa agama Islam adalah agama yang inklusif,
terbuka dan toleran. Dalam memahami rincian ajaran Islam, ada dua bentuk atau
jenis sikap keberagamaan, yaitu ekslusif dan inklusif. Sikap keberagamaan yang
eksklusif ini yaitu lebih cenderung pada sikap menanggap diri dan agamanya yang
paling benar, superior, dan
sempurna.
Sikap tersebut tidaklah hadir begitu saja tanpa sebuah alasan yang jelas,
melainkan sikap eksklusif tersebut dinukil dari dalil yang kuat, yaitu
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran
Islam yang pertama. "Sesungguhnya agama yang (yang diridhoi) disisi
Allah hanyalah Islam…" (QS. Ali-Imran/3:19). Dengan pemahaman
ayat secara tekstual inilah yang melahirkan sikap eksklusif nantinya meluas dan merembes menjadi pemahaman Islam
yang fanatik, fundamental, dan radikal dalam polesan bahasa jihad.
Sementara sikap keberagamaan yang inklusif
adalah sikap terbuka terhadap segala sesuatu. Inklusifi merupakan suatu paham yang menganggap bahwa kebenaran itu tidak hanya dimiliki satu kelompok dan golongan tertentu
saja, melainkan kebenaran ada juga dalam kelompok,
golongan dan agama lain.
Dalam pemahaman inklusif ini dinicayakan adanya suatu konsep
kesamaan atau sama substansi-nilai didalamnya. Dalam arti lain bahwa kebenaran
bukan hanya ada pada satu
golongan, kelompok, atau dimonopoli oleh kelompok tertentu, melainkan sudah
menjadi payung besar agama-agama yang benar.
Dalam hal ini lebih menyederhanakan dan menegaskan bahwa inklusif
adalah “sikap keterbukaan” sebagaimana ditegaskan pleh Nurcholish Madjid dalam
Ensiklopedi Nurcholish Madjid jilid II. Untuk melihat titik kesamaan dari agama- agama Milla Ibrahim (dari Ibrahim)
atau agama samawi melihat kebenaran. Nurcholish Madjid juga
menerangkan bahwa kerangka konsep inklusif ini diterapkan untuk memahami
pesan-pesan Ilahi. Pesan Ilahi yang dimaksud disini adalah kitab-kitab suci
yang diantarannya "injil, Taurat, zabur, dan Al-Qur'an".
Pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk kitab ini adalah
bersifat universal dan itu merupakan
satu kesatuansemua agama samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yaitu
Yahudi (Nabi Musa AS), Kristen (Nabi Isa AS), dan Islam (Nabi Muhammad SAW).
Dalam pesan tersebut, Tuhan menegaskan untuk terus berpegang teguh pada agama,
karna pada hakikat dasarnya semua agama sama dan satu, kesemuanya akan bertemu
pada satu titik temu (konvergensi agama-agama) atau dalam Al-Qur’an menggunakan
istilah "Kalimah Sawa'"(QS. Ali-Imran/3:64).
Penulis menyadari bahwa pluralisme tidak bisa dielakan
baik di dunia luar, khususnya di Indonesia, dan tantangan dari pluralisme agama
adalah konflik. Mengapa konflik, karna pada dasarnya setiap agama, kelompok
atau etnis selalu mengklaim kebenaran, sehingga menganggap kelompok lain tidak
benar.
Misalnya, dari umat agama Kristen menganggap bahwa tidak
ada keselamatan yang ada diluar dari ajaran Kristen dengan mengutip dari Nabi
Isa AS; "Tidak ada keselamatan kecuali yang datang kepadaku". Begitupun
dari umat Islam menganggap bahwa ajaran Islam yang paling benar yang mengutip sebuah ayat Al-
Qur’an; "Sesungguhnya agama (yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam" (QS.
Ali-Imran/3:19). Dari sikap pengklaiman, eksklusivisme seperti inilah yang
melahirkan sikap kekerasan dalam
agama dan konflik antar umat beragama.
Menyadari bahwa tantangan pluralisme adalah konflik, maka
sebagai sebuah solusi alternatif untuk menghilangkan konflik inter agama dan
antar agama lain dalam menjaga kerukunannya
ialah bersikap Islamis yang inklusif, atau beragama dengan sikap yang inklusif.
Islam sebagai agama keselamatan harus mampu memberikan
keselamatan kepada sesama umat Islam bahkan kepada mereka yang bukan muslim,
dan ini adalah sejalan dengan watak Islam yang inklusif. Bahkan sebuah hadis
menganjurkan untuk memberikan keselamatan kepada orang lain dari kejahatannya
sebagai bentuk dari keimanannya.
Rasulullah bersabda: "Demi Allah, tidak sempurna
imannya, Demi Allah tidak sempurna imannya, Demi Allah tidak sempurna
imannya”. Rasulullah ditanya "Siapa yang tidak sempurna imannya
wahai Rasulullah? Beliau menjawab "Seseorang yang tetangganya tidak
merasa aman atas kejahatanya." (HR. Al-Bukhari).
Dalam sejarah panjang agama-agama dunia, lebih khususnya
agama turunan dari Nabi Ibrahim AS, selalu diwarnai dengan yang namanya
konflik, kesemuanya terjadi demi menjaga kemurnian agama atau mengharap ridha Ilahi. Kesemuanya terjadi atas sikap eksklusif dari
setiap umat beragama, padahal ketika kita membuka diri atau bersikap inklusif,
pasti tidak akan bersikap jahat untuk mendapatkan kebaikan, melainkan bersikap
baik atas kejahatan orang lain sebagaimana perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW terhadap
masyarakat Arab jahiliah.
Sebagai agama pelanjut dari agama-agama sebelumnya, maka
Islam adalah agama terbuka melihat kebenaran bukan hanya ada pada tubuh Islam
yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, melaikan Islam adalah sebagai payung besar
agama-agama, dalam artian kesemua agama mengajarkan Islam yaitu kepasrahan atau
penyerahan diri secara totalitas dihadapan Tuhan.
Sikap keterbukaan seperti ini bukan berarti
menyamakan semua agama sebagai satu alternatif untuk menghindari konflik antar
dan inter agama, melainkan mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua agama sama
dan satu, kesemuanya mengajarkan kepasrahan sebagaimana yang diungkapkan juga Nurcholish Madjid dalam buku Teologi Inklusif.
Menyadarkan bahwa nilai daripada semua agama adalah
bersikap pasrah, mengharapkan keselamatan dan menyelamatkan, bukan pada
sebaliknya yang membuat kerusakan untuk membela sebuah agama, membela Tuhan,
sehingga memutuskan hubungan horizontal untuk mengokohkan hubungan vertikal.
Dalam konsep
keimanan, fiqh, dan syariat Islam, yang memang harus kita imani bahwa hanya
Islam yang diajakan Nabi Muhammad SAW utuh nilai-nilai dan ajaranya, tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang diajarkan pada umat dan agama
sebelumnya juga benar, hanya saja banyak nilai yang berubah kemudian
menyebabkan beberapa ajaran menjadi tidak utuh.
Sebagai agama yang toleran, bentuk keberimanan kita
terhadap Ilahi menegaskan bahwa Islam adalah agama sepanjang masa, agama yang
berposisi tengah dari dua agama besar yaitu Yahudi dan Kristen, dalam hal ini
mengenai hukum makanan. Dalam agama Yahudi semua serba haram, sementara dalam agama Kristen semua serba halal.
Sedangkan kedatangan Islam adalah mengambil posisi tengah
dari dua hukum dan syariat tersebut, bukan berarti tidak benar hanya saja hukum
dan syariatnya tidak cocok untuk digunakan pada masa sekarang ini. Sementara
disisi lain dalam menghadapi konflik permusuhan antar umat beragama, umat Islam harus bersikap inklusif membangun suasana dialog antar umat beragama.
Sudah saatnyalah umat beragama beranjak pada era dialog
dan meninggalkan sikap monolog sehingga bisa melihat titik kesamaan dan
perbedaan dari semua agama samawi. Sebagai agama inklusif,
kerukunan umat beragama merupakan akibat yang niscaya
atas keberimanannya. Juga menegaskan sikap keterbukaan bahwa Nabi Muhammad SAW
bukanlah utusan yang pertama dikalangan para utusan Allah (QS. 46: 9). Dan juga
Nabi Muhammad adalah rasul, yang mana sebelumnya telah ada rasul-rasul lain (QS.
3: 144), oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa semua agama para
rasul adalah sama dan satu, sekalipun masing-masing memiliki syariat yang
berbeda.
Wallahu ‘alam bi as-Sawwal.