Islam Agama Inklusif: Solusi atas Tantangan Pluralisme Agama

Oleh: Yamin, Mahasiswa Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Aladdin Makassar.

Sebagai agama yang memberikan keselamatan, umat Islam harus mampu membuka diri atas kebenaran dari sebuah agama, bahkan terbuka melihat kebenaran Islam tidak hanya lahir dari ajaran Nabi Muhammad SAW.

Lebih dari itu, yakni membuka diri untuk tidak mengklaim dan memonopoli kebenaran, melainkan kebenaran dijadikan payung besar agama-agama yang benar (Abrahamic Religion). Dalam sejarah panjang agama-agama dunia, kesemuanya lebih banyak diwarnai peperangan atas dasar pengklaiman kebenaran.

Islam adalah agama Rahmatan lil’alamin (Rahmat bagi seluruh alam semesta) yang tidak terkecuali, maka sikap menyerahkan diri atau pasrah dihadapan Tuhan bukanlah semata untuk menggugurkan kewajiban melainkan memberikan keselamatan bagi masyarakat lain atau umat agama lain disekitarnya.

Sebagaimana definisi kata Islam yang berakar dari bahasa Arab, yaitu kata kerja salama yang secara umum mendung arti penyerahan, atau menyerahkan diri. Jadi seorang muslim adalah seseorang yang telah melakukan perintah Allah yaitu patuh dan berserah diri secara totalitas dihadapanya.

Sebagai agama yang mengajarkan sikap penyerahan dan rahmatan lil’alamin, maka seorang muslim adalah orang yang tidak membuat keonaran, kerusakan, kehancuran, baik pada sesama muslim atau non-muslim. Karakter seorang muslim adalah diibaratkan sebagai seekor binatang lebah, dengan sebuah gambaran yang metaforis dan indah.

Lebah adalah binatang yang sangat berguna sebagai obat berbagai macam jenis penyakit umat manusia, lebih dari itu, bila lebah hinggap di pohon maka ia tidak pernah memberikan kerusakan pada tempat yang ditempati, melainkan memberikan banyak manfaat bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian muslim harus mampu menciptakan kedamaian lingkungan dan lebih-lebih dalam mengahadipi tantang pluralisme agama.

Gambaran yang metaforis dari sikap umat Islam, menunjukan bahwa agama Islam adalah agama yang inklusif, terbuka dan toleran. Dalam memahami rincian ajaran Islam, ada dua bentuk atau jenis sikap keberagamaan, yaitu ekslusif dan inklusif. Sikap keberagamaan yang eksklusif ini yaitu lebih cenderung pada sikap menanggap diri dan agamanya yang paling benar, superior, dan sempurna.

Sikap tersebut tidaklah hadir begitu saja tanpa sebuah alasan yang jelas, melainkan sikap eksklusif tersebut dinukil dari dalil yang kuat, yaitu Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam yang pertama. "Sesungguhnya agama yang (yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam…" (QS. Ali-Imran/3:19). Dengan pemahaman ayat secara tekstual inilah yang melahirkan sikap eksklusif nantinya meluas dan merembes menjadi pemahaman Islam yang fanatik, fundamental, dan radikal dalam polesan bahasa jihad.

Sementara sikap keberagamaan yang inklusif adalah sikap terbuka terhadap segala sesuatu. Inklusifi merupakan suatu paham yang menganggap bahwa kebenaran itu tidak hanya dimiliki satu kelompok dan golongan tertentu saja, melainkan kebenaran ada juga dalam kelompok, golongan dan agama lain.

Dalam pemahaman inklusif ini dinicayakan adanya suatu konsep kesamaan atau sama substansi-nilai didalamnya. Dalam arti lain bahwa kebenaran bukan hanya ada pada satu golongan, kelompok, atau dimonopoli oleh kelompok tertentu, melainkan sudah menjadi payung besar agama-agama yang benar.

Dalam hal ini lebih menyederhanakan dan menegaskan bahwa inklusif adalah “sikap keterbukaan” sebagaimana ditegaskan pleh Nurcholish Madjid dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid jilid II. Untuk melihat titik kesamaan dari agama- agama Milla Ibrahim (dari Ibrahim) atau agama samawi melihat kebenaran. Nurcholish Madjid juga menerangkan bahwa kerangka konsep inklusif ini diterapkan untuk memahami pesan-pesan Ilahi. Pesan Ilahi yang dimaksud disini adalah kitab-kitab suci yang diantarannya "injil, Taurat, zabur, dan Al-Qur'an".

Pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk kitab ini adalah bersifat universal dan itu merupakan satu kesatuansemua agama samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yaitu Yahudi (Nabi Musa AS), Kristen (Nabi Isa AS), dan Islam (Nabi Muhammad SAW). Dalam pesan tersebut, Tuhan menegaskan untuk terus berpegang teguh pada agama, karna pada hakikat dasarnya semua agama sama dan satu, kesemuanya akan bertemu pada satu titik temu (konvergensi agama-agama) atau dalam Al-Qur’an menggunakan istilah "Kalimah Sawa'"(QS. Ali-Imran/3:64).

Penulis menyadari bahwa pluralisme tidak bisa dielakan baik di dunia luar, khususnya di Indonesia, dan tantangan dari pluralisme agama adalah konflik. Mengapa konflik, karna pada dasarnya setiap agama, kelompok atau etnis selalu mengklaim kebenaran, sehingga menganggap kelompok lain tidak benar.

Misalnya, dari umat agama Kristen menganggap bahwa tidak ada keselamatan yang ada diluar dari ajaran Kristen dengan mengutip dari Nabi Isa AS; "Tidak ada keselamatan kecuali yang datang kepadaku". Begitupun dari umat Islam menganggap bahwa ajaran Islam yang paling benar yang mengutip sebuah ayat Al- Qur’an; "Sesungguhnya agama (yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam" (QS. Ali-Imran/3:19). Dari sikap pengklaiman, eksklusivisme seperti inilah yang melahirkan sikap kekerasan dalam agama dan konflik antar umat beragama.

Menyadari bahwa tantangan pluralisme adalah konflik, maka sebagai sebuah solusi alternatif untuk menghilangkan konflik inter agama dan antar agama lain dalam menjaga kerukunannya ialah bersikap Islamis yang inklusif, atau beragama dengan sikap yang inklusif.

Islam sebagai agama keselamatan harus mampu memberikan keselamatan kepada sesama umat Islam bahkan kepada mereka yang bukan muslim, dan ini adalah sejalan dengan watak Islam yang inklusif. Bahkan sebuah hadis menganjurkan untuk memberikan keselamatan kepada orang lain dari kejahatannya sebagai bentuk dari keimanannya.

Rasulullah bersabda: "Demi Allah, tidak sempurna imannya, Demi Allah tidak sempurna imannya, Demi Allah tidak sempurna imannya”. Rasulullah ditanya "Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah? Beliau menjawab "Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatanya." (HR. Al-Bukhari).

Dalam sejarah panjang agama-agama dunia, lebih khususnya agama turunan dari Nabi Ibrahim AS, selalu diwarnai dengan yang namanya konflik, kesemuanya terjadi demi menjaga kemurnian agama atau mengharap ridha Ilahi. Kesemuanya terjadi atas sikap eksklusif dari setiap umat beragama, padahal ketika kita membuka diri atau bersikap inklusif, pasti tidak akan bersikap jahat untuk mendapatkan kebaikan, melainkan bersikap baik atas kejahatan orang lain sebagaimana perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW terhadap masyarakat Arab jahiliah.

Sebagai agama pelanjut dari agama-agama sebelumnya, maka Islam adalah agama terbuka melihat kebenaran bukan hanya ada pada tubuh Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW, melaikan Islam adalah sebagai payung besar agama-agama, dalam artian kesemua agama mengajarkan Islam yaitu kepasrahan atau penyerahan diri secara totalitas dihadapan Tuhan.

Sikap keterbukaan seperti ini bukan berarti menyamakan semua agama sebagai satu alternatif untuk menghindari konflik antar dan inter agama, melainkan mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua agama sama dan satu, kesemuanya mengajarkan kepasrahan sebagaimana yang diungkapkan juga Nurcholish Madjid dalam buku Teologi Inklusif.

Menyadarkan bahwa nilai daripada semua agama adalah bersikap pasrah, mengharapkan keselamatan dan menyelamatkan, bukan pada sebaliknya yang membuat kerusakan untuk membela sebuah agama, membela Tuhan, sehingga memutuskan hubungan horizontal untuk mengokohkan hubungan vertikal.

Dalam konsep keimanan, fiqh, dan syariat Islam, yang memang harus kita imani bahwa hanya Islam yang diajakan Nabi Muhammad SAW utuh nilai-nilai dan ajaranya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang diajarkan pada umat dan agama sebelumnya juga benar, hanya saja banyak nilai yang berubah kemudian menyebabkan beberapa ajaran menjadi tidak utuh.

Sebagai agama yang toleran, bentuk keberimanan kita terhadap Ilahi menegaskan bahwa Islam adalah agama sepanjang masa, agama yang berposisi tengah dari dua agama besar yaitu Yahudi dan Kristen, dalam hal ini mengenai hukum makanan. Dalam agama Yahudi semua serba haram, sementara dalam agama Kristen semua serba halal.

Sedangkan kedatangan Islam adalah mengambil posisi tengah dari dua hukum dan syariat tersebut, bukan berarti tidak benar hanya saja hukum dan syariatnya tidak cocok untuk digunakan pada masa sekarang ini. Sementara disisi lain dalam menghadapi konflik permusuhan antar umat beragama, umat Islam harus bersikap inklusif membangun suasana dialog antar umat beragama.

Sudah saatnyalah umat beragama beranjak pada era dialog dan meninggalkan sikap monolog sehingga bisa melihat titik kesamaan dan perbedaan dari semua agama samawi. Sebagai agama inklusif, kerukunan umat beragama merupakan akibat yang niscaya atas keberimanannya. Juga menegaskan sikap keterbukaan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah utusan yang pertama dikalangan para utusan Allah (QS. 46: 9). Dan juga Nabi Muhammad adalah rasul, yang mana sebelumnya telah ada rasul-rasul lain (QS. 3: 144), oleh sebab itu Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa semua agama para rasul adalah sama dan satu, sekalipun masing-masing memiliki syariat yang berbeda.

Wallahu ‘alam bi as-Sawwal.