masukkan script iklan disini
Seorang anak ketakutan melihat kedua orang tuanya bertengkar (Boto-Botoang Tallasa).
Dok. Himposter Isbi Sulsel
Rangkai kegiatan tersebut diantaranya, teater, teater pantomim, sastra puisi, dan tari kontemporer.
Himposter mensiasati Hari Teater Sedunia (Hatedu) dengan mementaskan dua naskah teater, yakni Boto-Botoang Tallasa dan Sipakintaki.
Mementaskan naskah berjudul Sipakintaki, Himposter berkolaborasi dengan Alumni ISBI. Lakon yang menceritakan seorang transpuan yang tak kunjung bertemu jodoh dan akhirnya menikah dengan seorang perempuan yang ditinggal menjanda sebab majir.
Naskah tersebut berusaha menyampaikan prinsip dan nilai-nilai kebudayaan suku Bugis, yaitu sipakatau (sifat memanusiakan-manusia), siapakainge (saling mengingatkan sesama manusia), dan sipakalebbi (saling memuliakan atau menghargai sesama manusia).
Alumni ISBI, Muh Darwis yang mementaskan naskah tersebut mengatakan bahwa pementasan itu juga merupakan keresahan terhadap masyarakat yang memandang sebelah mata transpuan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) sekaligus kritikan bagi khalayak yang mendiskreditkan gender transpuan.
"Kalau dibilang kritikan, saya tujukan pada masyarakat-masyarakat sekitar yang selalu menganggap transpuan/waria itu rendah."
Sedangkan naskah Boto-Botoang Tallasa, melakonkan tragedi seorang anak (Adil) yang tidak merasakan kasih sayang serta pendidikan dalam rumah tangga dengan baik karena kedua orang tuanya sibuk menekuni urusannya masing-masing.
Bapak (Dullah) bekerja sebagai perwakilan rakyat sedangkan Mama Adil (Dina) sebagai sosialita. Mereka berdua menjalani rutinitas tersebut dengan watak congkak yang disertai ambisi berlebihan sehingga melupakan bahwa anak yang mereka punya satu-satunya ternyata terlantar.
Ketua Himposter, Salim mengatakan bahwa Boto-Botoang Tallasa merupakan kritik terhadap pemerintah, keluarga yang menelantarkan anaknya setelah dilahirkan, serta pesan yang juga berusaha disampaikan kepada khalayak.
"Bapaknya itu yang sebagai wakil rakyat sekedar janji-janji ji yang sampai ke masyarakat. Mamanya juga kalau aksi sosial, mau ji pamer kesombongan."
Di bagian akhir naskah, Boto-Botoang Tallasa (teka-teki hidup) tersaji dengan nuansa surealisme. Tiga lampu yang menyorot sisi belakang panggung menyimbol segitiga, kotak, dan bulat yang di adopsi dari penyimbolan squid game.
Dalam keadaan bermimpi, Adil kemudian mengajukan beberapa teka-teki kepada kedua orang tuanya. Jika salah menjawab, mereka akan mati lalu hidup kembali untuk menjawab teka-teki selanjutnya. Dan siklusnya terus begitu hingga akhir alur lakon.
"Assilullungi natassi lante (berkerumun tapi tidak bersentuhan)," teka-teka yang di ajukan Adil itu membuat orang tuanya memohon agar permainan pertanyaan segera di akhiri. Karena tak menjawab, Mamanya kemudian tersungkur mati ke lantai setelah Bapaknya mati lebih dulu. Naskah Boto-Botoang Tallasa berakhir bersambut tepuk tangan penonton.
Adapun tim produksi dari Naskah Boto-Botoang Tallasa. Aryanti Sultan sebagai Penulis Naskah, Salimongg sebagai Sutradara, Agung Fadil, Utri Fadillah, dan Salimong sebagai Aktor.
Sedangkan naskah Sipakintaki yang berkolaborasi dengan Alumni Isbi, Penulis Naskahnya adalah Muh Darwis, Alifullah sebagai Sutradara, Nur Amaliah Indahyani, Sasmita Dwi Fadiah, dan Muh Darwis sebagai Aktor.
Selain Himposter dan Alumni ISBI, Balla Teater asal Pinrang juga diundang untuk berpartisipasi dan menyuguhkan karyanya dalam perayaan Hartedu ini.
"Salah satu teman dari Himposter mengajak mereka [Balla Teater] untuk menyuguhkan sebuah karya," kata Salim selaku Ketua Umun Himposter.
Ashabul Kahfi, sebagai Alumni ISBI mengatakan bahwa kami memperingati Hartedu ini sebagai hari yang penuh perenungan. "Pertunjukan tadi merepresentasikan kenyataan dan kegelisahan yang kita alami selama pandemi."
"Selama pandemi, banyak KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang terjadi, kasus kekerasan seksual, dan kasus lain yang belum tertangani. Pementasan inilah yang sekiranya membuat kita merenung akan hal itu," lanjut Kahfi.
Salah satu penulis naskah Boto-Botoang Tallasa, Ariyanti Sultan mempertegas bahwa teater bukan hanya estetika dan bentuk. Tapi juga sebagai medium kritik. Melalui naskahnya yang dipentaskan Himposter, Ariyanti mengkritik pemerintahan yang manipulatif.
"Boto-botoang tallasa itu banyak menyampaikan kritik terhadap pemerintah atas kebohongannya. Dengan kepura-puraannya," tuturnya.
Ariyanti juga berpesan serta berharap agar kancah perteateran di Indonesia khususnya di Makassar lebih berkembang lagi.
"Ada teater saja, indonesia masih ketakutan, apalagi teater tidak ada," pungkas Dosen Isbi Sulsel tersebut.
Reporter: Ziyad Rizqi