Oleh: Muh. Qasim
Dalam perjalanan dan arus sejarah manusia telah sampai pada era modernitas yang seakan tidak bisa dibendung apalagi disisihkan dari sisi-sisi primordial kehidupan bermasyarakat. Lalu muncul percikan-percikan tanya apakah manusia masih menjadi subjek dari gerak laju modernitas atau mungkin manusia justru sudah kehilangan orientasi autentiknya dihadapan raksasa bengis yang disebut modernitas? Saya teringat dengan sebuah tayangan kartun imajiner yang mengisahkan tentang Doraemon dan Nobita, pada sentilan-sentilan kartun ini terlihat jelas bahwa Doraemon bisa memberikan segalanya pada Nobita, tetapi justru satu polemik yang merealitas kita temukan pada diri Nobita yang justru kehilangan orientasi dan upayanya dibalik kemampuan Doraemon memberikan segalanya.
Kisah imajiner Doraemon dan Nobita ini
mengandaikan realitas manusia di hadapan modernitas, manusia sebagai Nobita
akhirnya terpuaskan dan kehilangan autentisitas dirinya sebagai pemegang utuh
tujuan hidupnya sendiri sedang Doraemon sebagai modernitas mampu merespon segala
keinginan manusia yang pada faktanya membentuk manusia instan dan konsumtif
tanpa mempertimbangkan nilai guna. Lalu apakah kita akan menjadi Nobita yang di
objektivikasi oleh laju zaman?
Anthony Giddens mengaku bahwa modernitas adalah kebiasaan yang berisiko, artinya modernitas mampu mengurangi risiko menyeluruh tetapi pada ruang yang lain justru modernitas menjadi momok menakutkan bak panser raksasa yang menggilas siapa saja yang ada di hadapannya serta menghadirkan polemic baru pada kehidupan masyarakat. Pada perspektif yang lain, Jean Baudriliard bertutur bahwa era modernitas menghadirkan manusia dalam segelumit realitas palsu karena keterikatan manusia pada teknologi dan komunikasi sehingga kadangkala manusia hanya menikmati satu fiksi atau simbol yang menghantarkan suatu objek.
Pada proses inilah Jean Mendakunya sebagai simulakra dan simulasi, yang akhirnya menghantarkan manusia menjadi penikmat fiksi belaka dalam pusaran postmodernism. Namun pada era yang sifatnya probabilitas (kemungkinan) kita menemukan kompleksitas persoalan bermunculan mulai dari diskriminasi yang meluluhlantakan harkat dan martabat manusia, eksploitasi alam yang memaksa masyarakat pesisir dan pegunungan mencerabut akar kebudayaannya secara terpaksa karena di relokasi, petani yang kehabisan darah karena di hantam moncong senjata oleh aparatur state karena mempertahankan lahannya, pendidikan yang kehilangan spirit dan kemerdekaannya karena sekelumit kepentingan, Negara yang hamil tua justru ngidam mengurusi selangkangan sampai pada lanskap berpikir rakyatnya, pedagang kaki lima kehabisan suara melawan kekejaman rezim infrastruktur serta dirawat dan disebarkannya sikap apatis dihadapkan kemajuan teknologi. Lalu apa yang dimiliki manusia dalam melihat segala persoalan itu? Jawabnya kesadaran dan kemampuan intelegensi.
Kesadaran Sebagai
Fondasi Gerak Manusia
Masyarakat
bukanlah kombinasi fisik saja tetapi lebih dari itu masyarakat adalah struktur
yang terbangun dari kombinasi emosi, hasrat, kehendak dan budaya itu sendiri.
Dari penjabaran inilah terlihat bahwa antaran kesadaran individu dan masyarakat
itu tidak bisa dipisahkan. Kemudian kesadaran itu dari mana? Jika dilihat dari
kacamata materialisme tindakanlah yang mempengaruhi posibilitas kesadaran,
namun pemikir-pemikir islam justru melihat secara berbeda bahwa kesadaranlah
(baca:fitrah) yang mempengaruhi tindakan manusia. Namun, bukan perbedaan ini
yang menjadi persoalan. Justru pada serpihan yang lain terlihat bahwa kesadaran
hadir dalam diri setiap manusia. Kita mungkin bertanya jika kesadaran potensial
itu hadir dalam diri tiap manusia, lalu mengapa kesadaran itu kadangkala tidak
actual merespons segala problematika yang sifatnya dehumanisasi? Pada sisi ini
justru kesadaran mengalami stagnasi karena beberapa factor eksternal seperti
kepentingan yang menghadirkan nilai (value) yang cenderung pragmatis,
egosentris yang dominan, kecongkangan atas analisis yang menolak upaya dialektis
dan keterlibatan secara fisik dan pemikiran pada kekuasaan yang tiran.
Pada problem individu inilah tergugah satu ironi pekik yang melanda umat manusia yakni krisis kesadaran. Mengapa kesadaran tidak menghantarkan pribadi pada sebuah gerak akar rumput? Bukankah setiap agama menolak penindasan dan perampasan hak? Bukankah bapak founding father\sang orator ulung Bung karno sangat membenci pengisapan dan penindasan? Bukankah Muhammad SAW. Memulai spirit risalahnya dengan pembebasan dan memerdekakan? Lalu apa yang dipetik dari sejarah selain itu semua?. Dalam diri kita semangat rausyan fikr yang dimaksud oleh Ali Syariati, dalam pikiran kita adan poros intermiedite class yang di daku oleh Antoni Gramsci, dalam jiwa ini ada semangat membara pemuda yang dimaksud oleh bung karno. Maka sudah seyogianya fasilitas jalan yang pada masa Soharto disebut sebagai pusat kejahatan saat ini dijadikan sebagai pusat perjuangan rakyat untuk meruntuhkan dominasi kejahatan penguasa.
Kita memahami bahwa kebebasan adalah hasil bentukan manusia sendiri
dan tanpa embel-embel yang lain yang senantiasa merespon dan bertindak menyelamatkan
hak-hak kebebasan orang lain. Sekarang hanya ada dua pilihan kesadaran pribadi
actual menyelamatkan setiap manusia dari ketertindasan atau bahkan menjadi
neraka untuk orang lain seperti konsep e’utre yang dibangun oleh Jhon Paul
Sartre? Pilihan adalah kebebasan pribadi yang autentik dan memilihlah dengan
kesadaran dan rasionalitas.
Intelegensi
dan kemungkinan sosial
Intelegensi(kecerdasan) adalah kemampuan menggunakan pengetahuan yang ada untuk memecahkan masalah. Problematika atau kontradiksi antara dassolen dan dassein tentunya sangat membutuhkan basis epistemic untuk menganalisis dan memberikan solusi. Modernitas pada poros etisnya tak seharusnya menggerus kemampuan berpikir manusia untuk mengatasi berbagai problem sosial. Berbagai varian permasalahan sosial yang muncul sangat menggugah kemampuan intelegensi pribadi. Pada tempus inilah pengetahuan menjadi sumber yang bermuara pada perjuangan-perjuangan kerakyatan.
Sebab kita tidak ingin menjadi Descartes muda, Imam Al Gazali muda
dan Nietsche muda yang justru tenggelam
dalam konstruksi pengetahuannya sendiri. Namun pengetahuan seharusnya menjadi
resonansi dan spirit untuk melawan segala bentuk tirani dan despotisme.
Murtadah Muthari memposisikan pengetahuan pada sisi yang sangat sentral yakni
pengetahuanlah yang melahirkan pandangan dunia (teori) yang lalu melahirkan
berbagai macam ideology (praksis), dari prinsip ini kita beranggapan bahwa
tindak tanduk pribadi tidak terlepas dari basis pengetahuan seseorang.
Pribadi yang agung seyognyanya mampu memposisikan dirinya pada penderitaan orang lain (transposisional). Bukan justru menghadirkan pribadi yang congkang berbicara langit namun lupa realitas bumi, bukankah manusia adalah makhluk yang menyejarah menurut Hegel. Dengan upaya menyerah inilah setiap pribadi tidak seharusnya apatis pada segala problematik keumatan. Sebab sejarah tidak pernah terlepas dari darah dan keringat perjuangan akar rumput bukan dari kemampuan bersolek retoris dari panggung ke panggung dan bahkan lebih tegasnya bukan dari keterlibatan dan tenggelamnya seorang pribadi ulung pada relasi kuasa.
Setiap perjuangan memiliki metode logisnya
masing-masing hanya saja poros perjuangan yang terlalu jauh dan meninggalkan
akar rumput (rakyat) disinyalir sebagai kiat-kiat penghianatan. Sudah saatnya
pribadi terutama pemuda membangun kombinasi yang maha dahsyat untuk melawan
segala bentuk tirani dinegeri ini, yakni kesadaran actual dan basis
intelegensia(pengetahuan).
Tulisan Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis