Kamis 17 April 2025

Iklan

Kisah Mark Boyle dan Kenaikan Sewa Kantin di Kampus Peradaban

Askar Nur
08 February 2022
Last Updated 2022-02-07T16:49:46Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Memilih hidup berjarak dengan uang pada tarikh kehidupan modern dewasa ini apalagi di sebuah negara berkembang tentu menjadi lelucon yang menggelitik namun di sisi lain terdapat keunikan luar biasa.


Seperti yang dikisahkan oleh Erni Aladjai dalam esainya “Gaya Hidup tanpa Uang” [1], kisah beberapa orang di negara Barat yang menjalani kesehariannya tanpa uang. Bagi mereka, kemiskinan yang disebabkan oleh uang merupakan fenomena yang lucu. Letak kelucuannya adalah saat seseorang memutuskan untuk hidup dengan bergelimangan harta kekayaan sehingga selalu menginginkan sesuatu yang lebih maka saat itu pulalah ia memutuskan hidup dalam kemiskinan yang sebenarnya.


Mark Boyle dalam novel The Moneyless Man menghadirkan di hadapan kita semua, sebuah kondisi kehidupan berjalan dengan tenteram tanpa kehadiran selembar benda mati yang tanpanya banyak orang tak merasakan hidup atau bahkan karenanya seseorang belajar mematikan hidup orang lain hanya untuk memperoleh kehidupannya sendiri [2]. Ibaratnya perang, kita berperang agar terhindar dari rasa sakit namun menciptakan rasa sakit pada orang lain. Baik uang maupun perang, keduanya adalah tameng kemunafikan.


“Kenapa kau ingin hidup tanpa uang, bukankah lebih baik jika kau mencari uang sebanyak-banyaknya dan menyumbangkannya di negara-negara yang sedang berkembang?”, pertanyaan seorang pembawa acara program TV ternama di Irlandia kepada Mark. 

Mark kemudian menjawab dengan raut muka santai, 

“Mencari uang dari dan mendukung hanya akan membuat kita mendukung mereka berada di sistem yang membuat mereka tetap miskin. Selama ini negara-negara Barat memberikan suntikan bantuan, tapi bantuan yang mengikat. Ini seperti pinjaman Bank Dunia dan IMF. Bagi saya, bantuan seperti itu menggelikan, sama seperti Shell atau Esso memberi Greenpeace atau Friends of the Earth dana sebesar 10 ribu pound untuk memperbaiki kembali kehancuran yang mereka sebabkan.”

 

Cerita yang hampir sama juga terjadi di tanah air, logika investasi antara Indonesia dan Cina. Indonesia mengekspor bahan mentah ke Cina. Kemudian Cina mengekspor kembali ke Indonesia bahan mentah yang telah diolah. Bahasa opera komiknya, kita hanya berikan terigu, bawang, wortel dan ubi ke Cina. Kemudian pihak Cina mengembalikannya ke kita dalam bentuk gorengan dan jalangkote’.


Antara Indonesia dan Cina adalah dua menjadi satu dan tak terpisahkan. Alhasil, Pulau Natuna Utara menjadi sasaran empuk [3]. Indonesia tak mampu mengusir Cina karena mereka berdua adalah sepasang kekasih investasi, begitupun Cina tak ingin berhenti mengganggu Natuna karena ia yakin bahwa Indonesia tak mungkin setega itu kepada kekasihnya yang telah menghidupinya selama ini.


Kisah tentang uang nampaknya tak akan berakhir dan telah mewujud sebagai keharusan ultim dari masa ke masa. Tanpa uang dalam kehidupan saat ini, manusia tak akan menjadi “siapa” apatah lagi “apa”. Jalan hidup tanpa uang merupakan kemustahilan untuk saat ini utamanya di negara berkembang seperti Indonesia.


Tak ada Mark Boyle dan kawan-kawannya di Indonesia begitupula sosok George Milton dan Lennie Small yang diceritakan oleh John Steinbeck dalam Of Mice and Men. Dua sahabat yang hanya menginginkan sepetak tanah dan dapat hidup damai sampai hari tua. Bagi mereka, uang hanya akan menyengsarakan dan melahirkan kesengsaraan bagi orang lain sekaligus hidup akan dipenuhi kerakusan dan keadilan mustahil hadir [4].


Perkara demikian memang benar adanya. Keadilan dan kemanusiaan akan takluk dihadapan uang. Fenomena tersebut acapkali kita saksikan bersama di sekeliling kita, seperti kasus penggusuran dan kasus lainnya. Dengan mudah, seseorang akan diusir dari tempat yang didiaminya selama ini berkat kamuflase pembenaran dan yang melakukan pengusiran muaranya pada persoalan keuntungan yang merujuk pada nama nominal.


Hampir dapat dipastikan bahwa setiap lini kehidupan saat ini – baik ekonomi, politik maupun pendidikan – hanya memiliki satu orientasi, yakni keuntungan dan setiap hal yang dinilai merugikan maka terusirlah yang harus dituai.


Sebagai contoh, arena pendidikan khususnya pendidikan tinggi memiliki proyeksi yang seakan-akan keluar dari nilai pendidikan itu sendiri sebagai ruang humanisasi dan lebih mengutamakan orientasi industri. Hal demikian terbukti dengan hadirnya serangkaian lembaga-lembaga bisnis di dalam kampus yang lebih menyita perhatian segenap perangkat kampus dibanding memikirkan solusi atas degradasi intelektual dan menumpulnya nalar kritis yang dihadapi mahasiswa.


Sebaliknya, di tengah kedangkalan nalar kritis mahasiswa yang seharusnya menjadi perhatian para perangkat inti kampus namun kenyataannya, kondisi tersebut justru disambut baik dan nampaknya semakin mendukung ruang-ruang pembungkaman daya kritis terjadi.


Kampus sedari awal sebagai ranah pengolahan potensi dan budaya berpikir kritis telah mengalami perubahan yang drastis dan menjadi ranah pendisiplinan melalui relasi kuasa yang ditanamkan dalam tubuh (dalam Foucault) yang kemudian diperjelas oleh Sara Upstone dalam Spatial Politics bahwa kontrol terhadap tubuh bukan hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui aturan-aturan yang sifatnya lebih halus seperti melalui pendidikan dan praktik-praktif administrative [5].


Seperti pelarangan aktivitas malam di kampus, pelarangan berorganisasi bagi mahasiswa baru dan aturan-aturan lainnya. Yang kesemuanya adalah praktik pendisiplinan untuk melahirkan tubuh yang patuh dan tertib. Pendisiplinan tubuh merupakan titik awal kematian nalar sehingga apa yang dikatakan Plato sebagai tubuh Chora, yakni tubuh yang dinamis atau tubuh asli, mustahil lahir dalam diri manusia pada corak kampus seperti saat ini.


Kampus dengan corak pendisiplinan bukan hanya berlaku pada mahasiswa melainkan bagi mereka yang mengelola kampus pun. Pendakuan “atas nama sistem” merupakan ciri khas pendisiplinan yang dialami para perangkat penting kampus sehingga alienasi atau keterasingan mutlak adanya. Dan “atas nama sistem” pula lah, kolonial lahir di era pascakolonial. Kendati masa kolonial, saat negara penjajah hadir untuk menjajah, telah hilang puluhan tahun silam di negeri ini namun tubuh-tubuh kolonial yang mengharuskan kepatuhan masih tetap mewarnai.


Delik sistem yang harus dipatuhi seakan mengubah skema kelahirannya sendiri sebagai sebuah pola untuk manusia. Sistem hadir untuk manusia, bukan manusia lahir karena sistem. Jika sebuah sistem tidak diinginkan oleh manusia dan proses kemanusiaan maka sebuah keharusan sistem tersebut diubah.


Akan tetapi, kondisi saat ini justru sebaliknya yang terjadi. Sistem menjelma menjadi perkara yang harus diikuti manusia meskipun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Konstruksi dunia dan sistem yang modern bergerak atas dasar profit-oriented. Segalanya bergerak cepat dan tak sungkan-sungkan menggilas sesuatu yang mengganggu kecepatannya, walaupun itu adalah prinsip dan nilai kemanusiaan.


Lakon demikian dapat disaksikan di sekeliling kita, misalnya di perguruan tinggi masing-masing. Pertunjukan profit-oriented melalui study-oriented menjadi sajian penting di atas panggung pendidikan saat ini dan semua pemain beserta penonton harus menikmatinya walaupun dalam kondisi terpaksa. Hal demikian didukung massif pula oleh beberapa panggung lainnya, seperti panggung pengembangan bisnis dan unit-unit usaha lainnya.


Semua panggung yang tercipta tentu memiliki orientasi yang sama, yakni tentang keuntungan di atas segalanya sehingga untuk terlibat di dalam arena pertunjukan, setiap orang diharuskan membeli tiket dengan biaya yang mampu mendukung misi dari pertunjukan tersebut. Dan jika tak mampu membeli tiket maka pintu masuk tak mampu dibuka.


Sama halnya dengan polemik kenaikan tarif sewa kantin di salah satu kampus Islam negeri di Makassar yang bermula pada tahun 2020 lalu, nyaring terdengar dan dilengkapi dengan wacana.

 

“jika tak mampu membayar, silahkan cari tempat penjualan yang lebih murah”

 

Angka kenaikan dari Rp 6.600.000/tahun ke Rp 15.000.000/tahun tentu mengundang segenap pertanyaan dan merupakan hal yang mengejutkan di sisi para penyewa kantin dalam hal ini mace/pace kantin.


Kenaikan sewa yang sangat drastis tersebut tentunya mengundang beberapa pertanyaan. Salah duanya adalah mengenai latar belakang dan dasar pijakan daripada kenaikan sewa yang terbilang lebih dari 2x lipat dari sebelumnya sementara itu, tarif sewa di beberapa kampus baik umum maupun PTKIN belum ada yang menyentuh angka tersebut, seperti Unhas, UMI, UIN Jakarta dan lain sebagainya.


Meskipun Pusat Pengembangan Bisnis (P2B) sebagai lembaga di bawah naungan UIN Alauddin terjalin hubungan kerja (mitra) dengan pihak cafetaria, akan tetapi prosedural pengelolaan perguruan tinggi yang berprinsip transparansi sesuai yang termaktub dalam UU No. 12 tahun 2012 pasal 63 harus tetap dijalankan sekaligus prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan karena pada dasarnya kampus merupakan arena yang menjunjung tinggi kedua prinsip pengelolaan tersebut.


Tentunya penentuan tarif sewa kantin harus tetap memprioritaskan prinsip pengelolaan perguruan tinggi begitupula dengan persoalan tarif yang ditentukan harus tetap mempertimbangkan aspek pendapatan dan pengeluaran setiap tahunnya sehingga kenaikan tarif berada pada wilayah yang sewajarnya.


Kenaikan tarif Rp. 15.000.000/ tahun tentu tidak sesuai dengan aspek-aspek yang dipertimbangkan dan persoalan keaktifan masa penjualan yang hanya berkisar 7 bulan/tahun yang mengikuti keaktifan perkuliahan tentu juga mempengaruhi pendapatan karena mayoritas pengguna kantin adalah mahasiswa.


Genealogi Pusat Pengembangan Bisnis di Kampus


Garis kelahiran lembaga-lembaga pengembangan di kampus hakikatnya tidak terlepas dari kampus itu sendiri. Seperti halnya Pusat Pengembangan Bisnis di kampus peradaban yang menjadi lembaga peningkatan pelayanan dan pengelolaan aset serta unit-unit usaha Badan Layanan Umum sesuai yang tertuang dalam PMA No. 25 tahun 2013 dan Keputusan Rektor No. Un.06.2/Kp.07.6/229/2013.


Sesuai Peraturan Ortaker, P2B berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknik (UPT) yang mengelola beberapa unit usaha, salah satunya adalah unit usaha Kantin. Dikutip dari unit.uin-alauddin.ac.id, unit usaha kantin dijadikan sebagai penggerak laju ekonomi mikro di kampus sekaligus memberikan ruang kepada masyarakat setempat untuk mengembangkan unit usaha kecil menengah sehingga hubungan antara kampus dan masyarakat setempat terjalin secara harmonis.


Selain sebagai ranah pengembangan khazanah intelektual dan penciptaan manusia yang berkepribadian manusia, kampus juga memiliki peran untuk mensejahterakan masyarakat di sekelilingnya baik dari segi perekonomian maupun pengedukasian. Maka melalui P2B pada unit usaha kantin, kampus memiliki peluang besar dalam memberdayakan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Samata-Gowa.


Pemberdayaan masyarakat Samata melalui unit usaha kantin oleh kampus kiranya terealisasikan dengan baik sejauh ini. Terbukti hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas penyewa kantin saat ini adalah masyarakat Samata dan kebanyakan pula dari mereka menjadikan hasil penjualan di kantin sebagai sumber utama mata pencaharian.


Kiranya sampai saat ini, kehadiran kampus peradaban di tengah-tengah kehidupan masyarakat Samata telah sangat berkontribusi dengan menciptakan lapangan kerja sekaligus menyumbangkan energi positif bagi dunia pendidikan sebagai ruang memanusiakan manusia.

masukkan script iklan disini

Betapa tidak, menurut beberapa pengakuan penyewa kantin bahwa berkat hasil penjualannya, anak-anak mereka yang sedari awal putus sekolah mampu melanjutkan kembali hingga ke jenjang lebih tinggi meskipun di samping itu, mereka harus mengatur keuangan dengan baik. Di satu sisi, untuk biaya pendidikan anak mereka dan di lain sisi untuk tarif sewa kantin tiap tahunnya. Lantas apa yang terjadi jika tarif sewa dinaikkan?


Kenaikan Sewa dan Nasib Penyewa


Awal Januari 2020 merupakan mimpi buruk bagi para penyewa kantin, yang sering kita sapa Pace/Mace kantin. Pasalnya, selain harus menyiapkan biaya untuk melanjutkan penyewaan kantin yang menyita pikiran dan tenaga, mereka juga diperhadapkan dengan kabar mengejutkan mengenai kenaikan tarif sewa yang di luar dari harapan dan kemampuan finansial rata-rata dari mereka. Angka Rp. 15.000.000/tahun tentu bukanlah angka yang ideal bagi mereka yang berpenghasilan di bawah rata-rata dan berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.


Sebagai mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi ke bawah, terhadap apa yang dirasakan pace/mace kantin tentu dirasakan pula. Sebuah kondisi dimana atas nama nominal, nilai-nilai kemanusiaan tercerabut dan keadilan semakin terjepit.


Lu Xun, seorang penulis asal Cina, mendakukan bahwa harapan adalah seperti jalan di daerah pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan setapak namun saat banyak orang berjalan di atasnya, jalan itu tercipta. Seperti halnya kenaikan tarif sewa kantin bukanlah nasib ataupun takdir. Kalaupun demikian, kita masih dapat melawannya dengan niat dan usaha hingga jalan tercipta. Sebuah jalan menuju manusia yang masih menghidupkan manusia lain dalam dirinya.


Melirik mekanisme pengelolaan perguruan tinggi yang akuntabilitas, transparansi serta berprinsip demokratis tentu sangat disayangkan jika fenomena kenaikan tarif sewa kantin berjalan di luar dari mekanisme yang seharusnya.


Kendati lembaga pengembangan bisnis hadir sebagai bentuk peningkatan pelayanan dan pengelolaan aset serta unit-unit usaha Badan Layanan Umum di kampus, namun lembaga tersebut tetap berada di bawah naungan kampus maka tentunya prosedural dan mekanisme kerja tetap pula berkiblat pada apa yang diterapkan oleh perguruan tinggi.


Di sisi lain, kehadiran pusat pengembangan bisnis pada unit usaha kantin juga memiliki semangat untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitaran kampus. “Unit usaha kantin diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi pengembangan unit usaha kecil menengah yang digerakkan oleh masyarakat setempat, sehingga interaksi antara civitas akademika dan masyarakat dapat berjalan secara harmonis” (dikutip dari unit.uin-alauddin.ac.id).


Pernyataan yang dialamatkan kepada mace/pace kantin, yang kurang lebih seperti ini “kalau tidak mampu membayar sewa, masih banyak kok orang dari luar yang ingin masuk menyewa di sini”, tentu sesuatu di luar dari dugaan mereka dan sedikit melenceng dari semangat awal dari kehadiran lembaga pengelola ini.


Secara umum, kita ketahui bahwa mayoritas penyewa kantin tersebut adalah masyarakat asli sekitar kampus dan menjadi penjual di kantin dapat dikatakan sebagai mata pencaharian utama bagi mereka. Selain daripada ketidakmampuan finansial menghadapi kenaikan tarif sewa yang drastis, mereka juga harus menanggung beban psikologis dimana satu-satunya tumpuan harapan dalam membiayai pendidikan anak-anaknya dan melanjutkan kehidupan adalah dengan menjual di kantin.


Namun jika benar kenaikan tarif menyentuh angka Rp 15.000.000/tahun, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan berhenti menjual dan jika itu terjadi maka hal demikian merupakan kegagalan tersendiri bagi kampus dalam mensejahterakan masyarakat sekelilingnya sekaligus turut membenarkan apa yang dikatakan dan ditakutkan Mark Boyle dalam bukunya mengenai alasan memilih hidup tanpa uang karena baginya, uang akan melahirkan perilaku dehumanisasi dalam diri manusia.


Akan tetapi, mace/pace kantin harus tetap berharap setidaknya pada konsep skriptualisme bahwa sebaik-baiknya seorang manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Sebaliknya, seburuk-buruknya manusia adalah ia yang dimanfaatkan oleh manusia lain dan sistem tidak manusiawi yang dikendalikan oleh manusia pula.


Selebihnya, bagaimana dengan nasib mereka saat ini di tengah berita simpang siur tentang pandemi yang belum usai, mereka harus kehilangan mata pencaharian dikarenakan akses kampus masih terbatas dan kalaupun pandemi telah usai, bisakah mereka kembali untuk berjualan dan membayar nominal sewa yang tidak sedikit?




Referensi:

[1]

"https://www.academia.edu/37937654/Uang_Makanan_Dan_Kemiskinan_Esai," [Online].

[2]

"https://www.theguardian.com/environment/2015/sep/15/living-without-money-what-i-learned," [Online].

[3]

"https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/sejarah-konflik-natuna-dan-upaya-indonesia," [Online].

[4]

"http://digilib.uinsby.ac.id/26267/," [Online].

[5]

"https://academic.oup.com/res/article-abstract/61/249/328/1559666," [Online].

iklan
  • Mahasiswa Kawal Kasus Skorsing, Gelar Aksi di Depan PTUN Makassar
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl