Memilih hidup berjarak dengan uang pada tarikh kehidupan modern dewasa ini apalagi di sebuah negara berkembang tentu menjadi lelucon yang menggelitik namun di sisi lain terdapat keunikan luar biasa.
Seperti yang
dikisahkan oleh Erni Aladjai dalam esainya “Gaya Hidup tanpa Uang”
Mark Boyle dalam
novel The Moneyless Man menghadirkan
di hadapan kita semua, sebuah kondisi kehidupan berjalan dengan tenteram tanpa
kehadiran selembar benda mati yang tanpanya banyak orang tak merasakan hidup
atau bahkan karenanya seseorang belajar mematikan hidup orang lain hanya untuk
memperoleh kehidupannya sendiri
[2].
Ibaratnya perang, kita berperang agar terhindar dari rasa sakit namun menciptakan
rasa sakit pada orang lain.
Baik uang maupun perang, keduanya adalah tameng kemunafikan.
“Kenapa kau ingin hidup tanpa uang, bukankah lebih baik jika kau mencari uang sebanyak-banyaknya dan menyumbangkannya di negara-negara yang sedang berkembang?”, pertanyaan seorang pembawa acara program TV ternama di Irlandia kepada Mark.
Mark kemudian menjawab dengan raut muka santai,
“Mencari uang dari dan mendukung hanya akan membuat kita mendukung mereka berada di sistem yang membuat mereka tetap miskin. Selama ini negara-negara Barat memberikan suntikan bantuan, tapi bantuan yang mengikat. Ini seperti pinjaman Bank Dunia dan IMF. Bagi saya, bantuan seperti itu menggelikan, sama seperti Shell atau Esso memberi Greenpeace atau Friends of the Earth dana sebesar 10 ribu pound untuk memperbaiki kembali kehancuran yang mereka sebabkan.”
Cerita yang
hampir sama juga terjadi di tanah air, logika investasi antara Indonesia dan
Cina. Indonesia mengekspor bahan mentah ke Cina. Kemudian Cina mengekspor
kembali ke Indonesia bahan mentah yang telah diolah. Bahasa opera komiknya,
kita hanya berikan terigu, bawang, wortel dan ubi ke Cina. Kemudian pihak Cina
mengembalikannya ke kita dalam bentuk gorengan dan jalangkote’.
Antara Indonesia
dan Cina adalah dua menjadi satu dan tak terpisahkan. Alhasil, Pulau Natuna
Utara menjadi sasaran empuk
[3].
Indonesia tak mampu mengusir Cina karena mereka berdua adalah sepasang kekasih
investasi, begitupun Cina tak ingin berhenti mengganggu Natuna karena ia yakin
bahwa Indonesia tak mungkin setega itu kepada kekasihnya yang telah
menghidupinya selama ini.
Kisah tentang
uang nampaknya tak akan berakhir dan telah mewujud sebagai keharusan ultim dari
masa ke masa. Tanpa uang dalam kehidupan saat ini, manusia tak akan menjadi
“siapa” apatah lagi “apa”. Jalan hidup tanpa uang merupakan kemustahilan untuk
saat ini utamanya di negara berkembang seperti Indonesia.
Tak ada Mark
Boyle dan kawan-kawannya di Indonesia begitupula sosok George Milton dan Lennie
Small yang diceritakan oleh John Steinbeck dalam Of Mice and Men. Dua sahabat yang hanya menginginkan sepetak tanah
dan dapat hidup damai sampai hari tua. Bagi mereka, uang hanya akan
menyengsarakan dan melahirkan kesengsaraan bagi orang lain sekaligus hidup akan
dipenuhi kerakusan dan keadilan mustahil hadir [4].
Perkara demikian
memang benar adanya. Keadilan dan kemanusiaan akan takluk dihadapan uang. Fenomena
tersebut acapkali kita saksikan bersama di sekeliling kita, seperti kasus
penggusuran dan kasus lainnya. Dengan mudah, seseorang akan diusir dari tempat
yang didiaminya selama ini berkat kamuflase pembenaran dan yang melakukan
pengusiran muaranya pada persoalan keuntungan yang merujuk pada nama nominal.
Hampir dapat
dipastikan bahwa setiap lini kehidupan saat ini – baik ekonomi, politik maupun
pendidikan – hanya memiliki satu orientasi, yakni keuntungan dan setiap hal
yang dinilai merugikan maka terusirlah yang harus dituai.
Sebagai contoh,
arena pendidikan khususnya pendidikan tinggi memiliki proyeksi yang seakan-akan
keluar dari nilai pendidikan itu sendiri sebagai ruang humanisasi dan lebih
mengutamakan orientasi industri. Hal demikian terbukti dengan hadirnya
serangkaian lembaga-lembaga bisnis di dalam kampus yang lebih menyita perhatian
segenap perangkat kampus dibanding
memikirkan solusi atas degradasi intelektual dan menumpulnya nalar kritis yang
dihadapi mahasiswa.
Sebaliknya, di
tengah kedangkalan nalar kritis mahasiswa yang seharusnya menjadi perhatian
para perangkat inti kampus namun kenyataannya, kondisi tersebut justru disambut
baik dan nampaknya semakin mendukung ruang-ruang pembungkaman daya kritis
terjadi.
Kampus sedari
awal sebagai ranah pengolahan potensi dan budaya berpikir kritis telah
mengalami perubahan yang drastis dan menjadi ranah pendisiplinan melalui relasi
kuasa yang ditanamkan dalam tubuh (dalam Foucault) yang kemudian diperjelas
oleh Sara Upstone dalam Spatial Politics
bahwa kontrol terhadap tubuh bukan hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui
aturan-aturan yang sifatnya lebih halus seperti melalui pendidikan dan
praktik-praktif administrative
[5].
Seperti
pelarangan aktivitas malam di kampus, pelarangan berorganisasi bagi mahasiswa
baru dan aturan-aturan lainnya. Yang kesemuanya adalah praktik pendisiplinan
untuk melahirkan tubuh yang patuh dan tertib. Pendisiplinan tubuh merupakan titik
awal kematian nalar sehingga apa yang dikatakan Plato sebagai tubuh Chora, yakni tubuh yang dinamis atau
tubuh asli, mustahil lahir dalam diri manusia pada corak kampus seperti saat
ini.
Kampus dengan
corak pendisiplinan bukan hanya berlaku pada mahasiswa melainkan bagi mereka
yang mengelola kampus pun. Pendakuan “atas nama sistem” merupakan ciri khas
pendisiplinan yang dialami para perangkat penting kampus sehingga alienasi atau
keterasingan mutlak adanya. Dan “atas nama sistem” pula lah, kolonial lahir di
era pascakolonial. Kendati masa kolonial, saat negara penjajah hadir untuk
menjajah, telah hilang puluhan tahun silam di negeri ini namun tubuh-tubuh
kolonial yang mengharuskan kepatuhan masih tetap mewarnai.
Delik sistem
yang harus dipatuhi seakan mengubah skema kelahirannya sendiri sebagai sebuah
pola untuk manusia. Sistem hadir untuk manusia, bukan manusia lahir karena
sistem. Jika sebuah sistem tidak diinginkan oleh manusia dan proses kemanusiaan
maka sebuah keharusan sistem tersebut diubah.
Akan tetapi,
kondisi saat ini justru sebaliknya yang terjadi. Sistem menjelma menjadi
perkara yang harus diikuti manusia meskipun tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan. Konstruksi dunia dan sistem yang modern bergerak atas dasar profit-oriented. Segalanya bergerak
cepat dan tak sungkan-sungkan menggilas sesuatu yang mengganggu kecepatannya, walaupun itu adalah
prinsip dan nilai kemanusiaan.
Lakon demikian
dapat disaksikan di sekeliling kita, misalnya di perguruan tinggi masing-masing.
Pertunjukan profit-oriented melalui study-oriented menjadi sajian penting di
atas panggung pendidikan saat ini dan semua pemain beserta penonton harus
menikmatinya walaupun dalam kondisi terpaksa. Hal demikian didukung massif pula
oleh beberapa panggung lainnya, seperti panggung pengembangan bisnis dan
unit-unit usaha lainnya.
Semua panggung
yang tercipta tentu memiliki orientasi yang sama, yakni tentang keuntungan di
atas segalanya sehingga untuk terlibat di dalam arena pertunjukan, setiap orang
diharuskan membeli tiket dengan biaya yang mampu mendukung misi dari
pertunjukan tersebut. Dan jika tak mampu membeli tiket maka pintu masuk tak
mampu dibuka.
Sama halnya dengan polemik kenaikan tarif sewa kantin di salah satu kampus Islam negeri di Makassar yang bermula pada tahun 2020 lalu, nyaring terdengar dan dilengkapi dengan wacana.
“jika tak mampu membayar, silahkan cari tempat penjualan yang lebih murah”.
Angka kenaikan dari Rp
6.600.000/tahun ke Rp 15.000.000/tahun tentu mengundang segenap pertanyaan dan
merupakan hal yang mengejutkan di sisi para penyewa kantin dalam hal ini mace/pace kantin.
Kenaikan
sewa yang sangat drastis tersebut tentunya mengundang beberapa pertanyaan.
Salah duanya adalah mengenai latar belakang dan dasar pijakan daripada kenaikan
sewa yang terbilang lebih dari 2x lipat dari sebelumnya sementara itu, tarif
sewa di beberapa kampus baik umum maupun PTKIN belum ada yang menyentuh angka
tersebut, seperti Unhas, UMI, UIN Jakarta dan lain sebagainya.
Meskipun Pusat
Pengembangan Bisnis (P2B) sebagai lembaga di bawah naungan UIN Alauddin
terjalin hubungan kerja (mitra) dengan pihak cafetaria, akan tetapi prosedural
pengelolaan perguruan tinggi yang berprinsip transparansi sesuai yang termaktub
dalam UU No. 12 tahun 2012 pasal 63 harus tetap dijalankan sekaligus prinsip
demokrasi dalam pengambilan keputusan karena pada dasarnya kampus merupakan
arena yang menjunjung tinggi kedua prinsip pengelolaan tersebut.
Tentunya
penentuan tarif sewa kantin harus tetap memprioritaskan prinsip pengelolaan
perguruan tinggi begitupula dengan persoalan tarif yang ditentukan harus tetap
mempertimbangkan aspek pendapatan dan pengeluaran setiap tahunnya sehingga
kenaikan tarif berada pada wilayah yang sewajarnya.
Kenaikan
tarif Rp. 15.000.000/ tahun tentu tidak sesuai dengan aspek-aspek yang
dipertimbangkan dan persoalan keaktifan masa penjualan yang hanya berkisar 7
bulan/tahun yang mengikuti keaktifan perkuliahan tentu juga mempengaruhi
pendapatan karena mayoritas pengguna kantin adalah mahasiswa.
Genealogi Pusat Pengembangan Bisnis di Kampus
Garis kelahiran
lembaga-lembaga pengembangan di kampus hakikatnya tidak terlepas dari kampus
itu sendiri. Seperti halnya Pusat Pengembangan Bisnis di kampus peradaban yang
menjadi lembaga peningkatan pelayanan dan pengelolaan aset serta unit-unit
usaha Badan Layanan Umum sesuai yang tertuang dalam PMA No. 25 tahun 2013 dan
Keputusan Rektor No. Un.06.2/Kp.07.6/229/2013.
Sesuai Peraturan
Ortaker, P2B berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknik (UPT) yang mengelola
beberapa unit usaha, salah satunya adalah unit usaha Kantin. Dikutip dari
unit.uin-alauddin.ac.id, unit usaha kantin dijadikan sebagai penggerak laju
ekonomi mikro di kampus sekaligus memberikan ruang kepada masyarakat setempat
untuk mengembangkan unit usaha kecil menengah sehingga hubungan antara kampus
dan masyarakat setempat terjalin secara harmonis.
Selain sebagai
ranah pengembangan khazanah intelektual dan penciptaan manusia yang
berkepribadian manusia, kampus juga memiliki peran untuk mensejahterakan
masyarakat di sekelilingnya baik dari segi perekonomian maupun pengedukasian.
Maka melalui P2B pada unit usaha kantin, kampus memiliki peluang besar dalam
memberdayakan dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Samata-Gowa.
Pemberdayaan
masyarakat Samata melalui unit usaha kantin oleh kampus kiranya terealisasikan
dengan baik sejauh ini. Terbukti hampir dapat dipastikan bahwa mayoritas
penyewa kantin saat ini adalah masyarakat Samata dan kebanyakan pula dari
mereka menjadikan hasil penjualan di kantin sebagai sumber utama mata
pencaharian.
Kiranya sampai
saat ini, kehadiran kampus peradaban di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Samata telah sangat berkontribusi dengan menciptakan lapangan kerja sekaligus
menyumbangkan energi positif bagi dunia pendidikan sebagai ruang memanusiakan
manusia.
Betapa tidak,
menurut beberapa pengakuan penyewa kantin bahwa berkat hasil penjualannya,
anak-anak mereka yang sedari awal putus sekolah mampu melanjutkan kembali
hingga ke jenjang lebih tinggi meskipun di samping itu, mereka harus mengatur
keuangan dengan baik. Di satu sisi, untuk biaya pendidikan anak mereka dan di
lain sisi untuk tarif sewa kantin tiap tahunnya. Lantas apa yang terjadi jika
tarif sewa dinaikkan?
Kenaikan Sewa dan Nasib Penyewa
Awal Januari
2020 merupakan mimpi buruk bagi
para penyewa kantin, yang sering kita sapa Pace/Mace
kantin. Pasalnya, selain harus menyiapkan biaya untuk melanjutkan penyewaan
kantin yang menyita pikiran dan tenaga, mereka juga diperhadapkan dengan kabar
mengejutkan mengenai kenaikan tarif sewa yang di luar dari harapan dan
kemampuan finansial rata-rata dari mereka. Angka Rp.
15.000.000/tahun tentu bukanlah angka yang ideal bagi mereka yang berpenghasilan
di bawah rata-rata dan berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Sebagai
mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi ke bawah, terhadap apa yang
dirasakan pace/mace kantin tentu dirasakan
pula. Sebuah kondisi dimana atas nama nominal, nilai-nilai kemanusiaan
tercerabut dan keadilan semakin terjepit.
Lu Xun, seorang
penulis asal Cina, mendakukan bahwa harapan adalah seperti jalan di daerah
pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan setapak namun saat banyak orang
berjalan di atasnya, jalan itu tercipta. Seperti halnya kenaikan tarif sewa
kantin bukanlah nasib ataupun takdir. Kalaupun demikian, kita masih dapat
melawannya dengan niat dan usaha hingga jalan tercipta. Sebuah jalan menuju manusia
yang masih menghidupkan manusia lain dalam dirinya.
Melirik
mekanisme pengelolaan perguruan tinggi yang akuntabilitas, transparansi serta
berprinsip demokratis tentu sangat disayangkan jika fenomena kenaikan tarif
sewa kantin berjalan di luar dari mekanisme yang seharusnya.
Kendati lembaga
pengembangan bisnis hadir sebagai bentuk peningkatan pelayanan dan pengelolaan
aset serta unit-unit usaha Badan Layanan Umum di kampus, namun lembaga tersebut
tetap berada di bawah naungan kampus maka tentunya prosedural dan mekanisme
kerja tetap pula berkiblat pada apa yang diterapkan oleh perguruan tinggi.
Di sisi lain,
kehadiran pusat pengembangan bisnis pada unit usaha kantin juga memiliki
semangat untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat yang tinggal di
sekitaran kampus. “Unit usaha kantin
diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi pengembangan unit usaha kecil
menengah yang digerakkan oleh masyarakat setempat, sehingga interaksi antara
civitas akademika dan masyarakat dapat berjalan secara harmonis” (dikutip
dari unit.uin-alauddin.ac.id).
Pernyataan yang
dialamatkan kepada mace/pace kantin,
yang kurang lebih seperti ini “kalau
tidak mampu membayar sewa, masih banyak kok orang dari luar yang ingin masuk
menyewa di sini”, tentu sesuatu di luar dari dugaan mereka dan sedikit
melenceng dari semangat awal dari kehadiran lembaga pengelola ini.
Secara umum,
kita ketahui bahwa mayoritas penyewa kantin tersebut adalah masyarakat asli
sekitar kampus dan menjadi penjual di kantin dapat dikatakan sebagai mata
pencaharian utama bagi mereka. Selain daripada ketidakmampuan finansial
menghadapi kenaikan tarif sewa yang drastis, mereka juga harus menanggung beban
psikologis dimana satu-satunya tumpuan harapan dalam membiayai pendidikan
anak-anaknya dan melanjutkan kehidupan adalah dengan menjual di kantin.
Namun jika benar
kenaikan tarif menyentuh angka Rp 15.000.000/tahun, hampir dapat dipastikan
bahwa mereka akan berhenti menjual dan jika itu terjadi maka hal demikian
merupakan kegagalan tersendiri bagi kampus dalam mensejahterakan masyarakat
sekelilingnya sekaligus turut membenarkan apa yang dikatakan dan ditakutkan
Mark Boyle dalam bukunya mengenai alasan memilih hidup tanpa uang karena
baginya, uang akan melahirkan perilaku dehumanisasi dalam diri manusia.
Akan tetapi, mace/pace kantin harus tetap berharap
setidaknya pada konsep skriptualisme bahwa sebaik-baiknya seorang manusia
adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Sebaliknya, seburuk-buruknya
manusia adalah ia yang dimanfaatkan oleh manusia lain dan sistem tidak
manusiawi yang dikendalikan oleh manusia pula.
[1] |
"https://www.academia.edu/37937654/Uang_Makanan_Dan_Kemiskinan_Esai,"
[Online]. |
[2] |
"https://www.theguardian.com/environment/2015/sep/15/living-without-money-what-i-learned,"
[Online]. |
[3] |
"https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/04/180000169/sejarah-konflik-natuna-dan-upaya-indonesia,"
[Online]. |
[4] |
"http://digilib.uinsby.ac.id/26267/,"
[Online]. |
[5] |
"https://academic.oup.com/res/article-abstract/61/249/328/1559666,"
[Online]. |