masukkan script iklan disini
Oleh: Yuni Wahyuningsih
Essai Terbaik II Pada Kohati Fest yang diadakan oleh Kohati Komisariat Adab dan Humaniora Cabang Gowa Raya
Feminisme masih terus menjadi perdebatan di masyarakat sejak awal kemuculannya hingga hari ini. Kendati telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, tidak sedikit penolakan yang datang dari kelompok-kelompok fundamentalis serta kelompok-kelompok konservatif yang anti terhadap feminisme. Alasan penolakan mereka pun sangat beragama, ungkapan “budaya sesat” sebab menurut mereka bertentangan dengan ajaran agama, penolakan feminisme sebagai ideologi yang diadopsi dari barat atau pelabelan yang muncul sebagai gerakan “anti laki-laki” dan bahkan dicap sebagai sekumpulan “perempuan yang malas mengurus rumah”. Kekeliruan terus terjadi sebab seringkali kita sebenarnya tidak mengetahui suatu ideologi, tetapi dengan sombong dan mudahnya kita melontarkan stigma negatif yang tidak berhubungan.
Bell Hooks dalam esai “Politik Feminis: Tempat Kita Berpijak“ menjelaskan pengertian feminisme secara lugas, di kalimat pertama ia langsung menyebutkan bahwa feminisme adalah gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis dan penindasan. Sedari kecil, secara tidak sadar baik perempuan, laki-laki, maupun gender non maskulin lainnya telah dibesarkan dengan pola pikir yang seksis, hingga muncul kepercayaan bahwa salah satu jenis kelamin lebih unggul atau lebih berharga dari jenis kelamin lain. Pola pikir seperti inilah yang mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi dilanggengkan dalam masyarakat kita. Chimamanda Ngozi Adicihie dalam bukunya “Semua Orang Harus Jadi Feminis” mengatakan bahwa gender dan feminisme bukanlah sebuah topik percakapan yang mudah untuk dilakukan. Hal itu akan membuat sebagian orang merasa tidak nyaman. Sebab, selama berabad-abad dunia membagi manusia menjadi dua kelompok dan kemudian menganaktirikan dan menindas salah satunya. Dan kita harus mengakui hal itu.
Alih-alih hanya untuk mewujudkan kesetaraan gender, feminsime lebih dari itu, feminisme tidak hadir hanya untuk mengakhiri patriarki, feminsime adalah gerakan yang sekaligus hadir untuk mengakhiri seksisme. Maka ketika kita bertanya masihkah feminsime relevan? dengan tegas ingin saya katakan bahwa kita masih membutuhkan feminsime, hingga suatu saat semua manusia yang ada di muka bumi ini mampu memperlakukan manusia lainnya selayaknya dan sebenar-benarnya manusia—tanpa ketimpangan, tanpa diskriminasi, tanpa penindasan.
Feminisme dilahirkan oleh orang-orang yang mempunyai kesadaran, dimana patriarki adalah dominasi yang terus terjadi, dan seksisme turut diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat melihat berita-berita yang hadir serupa teror dan bencana di laman media sosial. Kekerasan terhadap perempuan menjadi hal yang sangat memprihatinkan, peningkatan kasus juga terus terjadi. Jika kita melihat Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021, pada tahun 2020 jumlah kekerasan tertinggi terjadi di dalam ranah personal dengan jumlah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mencapai 6.480 kasus. Data ini sekaligus menunjukkan bahwa perempuan telah dibunuh sejak dalam rumah sendiri. 6.480 bukanlah angka yang sedikit, belum lagi jika kita melihat kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah sosial atau komunitas, hingga kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Kekerasan terus terjadi namun, regulasi dan hukum yang jelas serta spesifik belum ada untuk menangani kasus kekerasan yang dialami oleh para korban. Kita berharap banyak dengan adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), namun hingga kini peraturan tersebut juga tidak kunjung disahkan, bahkan menuai banyak tentangan dari berbagai pihak. Dari berbagai kasus yang ada, kita tahu bahwa perempuan tidak mendapatkan ruang aman sejak dalam rumah sendiri, hukum yang ada bahkan negara tidak menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan.
Sekalipun negara belum menunjukkan keberpihakannya terhadap perempuan korban kekerasan—perempuan korban dominasi patriarki, kita dengan kesadaran feminis yang kita miliki masih mampu untuk bersolidaritas, berempati dan memberi dukungan positif terhadap siapapun yang menjadi korban maupun penyintas kekerasan. Sekali lagi kita harus mengakui bahwa ada masalah dengan gender, banyak ketidakadilan telah terjadi, kita harus memperbaikinya, kita harus bertindak lebih baik.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip Bell Hooks dalam bukunya Feminisme Untuk Semua Orang, “Datanglah mendekat. Saksikan bagaimana feminisme datang menyentuh dan mengubah hidup anda dan seluruh kehidupan kita. Mendekatlah, supaya tahu secara langsung apa arti gerakan feminis. Mendekatlah dan anda akan melihat: feminisme adalah untuk semua orang”.
Tulisan Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis