Oleh: Irmawati
Berbicara mengenai Perempuan saya menyebutnya sebagai
amunisi kehidupan, simbolis rahim peradaban dan perihal keindahan lainnya ia
juga merupakan sumber kebaikan yang banyak.
Namun tak dapat di pungkiri ada saja isu-isu seputar polemik
perempuan, baik ketimpangan gender, diskriminasi dan segala bentuk risalah yang
diakibatkan oleh sistem kapitalisme dan patriarkat.
Untuk mengetahui lebih jauh problem di atas saya akan
mengaitkan dengan filsafat, dimana ketika kita berbicara perihal ketidakadilan
maka filsafat adalah jawaban atas semuanya, Sebab berfilsafat akan mengantarkan
kita pada kebijaksanaan. Yakni Kebijaksanaan yang membawa pada sikap yang
egaliter, inklusif, apriori, dan relativitas dalam berfikir.
Olehnya sangat urgen jika kita mengaji lebih jauh seputar
filsafat perempuan dalam Islam. Mengurai bagaimanakah sebenarnya eksistensi
perempuan dalam kehidupan sosial, termarginalkan kah atau menjadi spesies yang
inferior.
Namun sebelum itu saya akan mendudukkan dulu ideologi para
filsuf Yunani pada abad pertengahan terkait pandangan mereka terhadap perempuan
itu sendiri.
Dalam filsafat sendiri, kita bisa menjumpai gagasan para
filsuf yang berbau misoginis . Gagasan ini didasarkan oleh pandangan para
filsuf yang berangkat dari pengalaman mereka lalu digeneralisasikan menjadi
pengetahuan dan pengalaman kemanusiaan.
Posisi perempuan dalam filsafat yang cenderung dianggap
sepele dan dipinggirkan dari sejarah panjang pergumulan filsafat dunia
mengantarkan perempuan pada posisi termarginalkan dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Banyak Filsuf yang secara implisit memosisikan perempuan
misoginis dalam filsafat, di antaranya:
Pertama, Aristoteles menyebutkan bahwa perempuan sederajat
dengan budak atau hamba sahaya.
Kedua, Plato sendiri menempatkan kehormatan laki-laki pada
kemampuannya memerintah, katanya laki-laki lebih gagah perkasa sementara
kehormatan perempuan terletak pada kemampuannya melakukan pekerjaan
sederhana/hina dengan terdiam tanpa bicara ibarat patung dan keberadaannya
tidak dianggap dikalangan laki-laki.
Ketiga, Rene Descartes dalam diftongnya "Saya berfikir
maka saya ada" yang mana kata ada subjek (laki-laki) artinya hanya
laki-laki yang rasional sedang perempuan irasional.
Keempat, Hegel mengatakan bahwa perempuan tidak dapat berpikir universal. Oleh karena demikian, ia (perempuan) tidak bisa memimpin sebuah negara, sebab perempuan hanya cocok pada pekerjaan domestik yakni sumur, kasur dan dapur.
Sementara filsuf yang secara eksplisit memposisikan
perempuan misoginis dalam filsafat, di antaranya adalah Immanuel Kant dan
Socrates bahwa hanya laki-laki yang memiliki jiwa sedang perempuan tidak. ia
cenderung menggunakan perasaan.
Padahal jika ditinjau lebih jauh pada aspek perasaan, saya
tidak mengklaim laki-laki tidak memiliki hati tepi dalam buku Islam dan
kosmologi perempuan sendiri disebutkan bahwa perempuan memiliki 9 hati 1 akal
dan laki-laki memiliki 9 akal dan satu hati yang mana fungsi dari masing-masing
keduanya adalah saling mengimbangi akal tunduk pada hati dengan penyucian jiwa
(tazkiyah nafs).
Jadi kalau kita lihat dari sisi tersebut ternyata hati di sini
tingkatannya tinggi dibandingkan akal dan eksistensi perempuan sangat terkait
dengan laki-laki yang perlu dibangun sebenarnya adalah keseimbangan bukan
dominasi pun hegemoni.
Tak hanya itu, ada beberapa dogma yang tak jarang kita temui,
bahwa secara struktur penciptaan ada yang mengatakan perempuan diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki, menurut saya ini hanya doktrin semata yang tidak
memiliki landasan ilmiah untuk mendiskreditkan posisi perempuan dalam
kemanusiaan.
Dalam perspektif Islam sendiri, Murtada Mutahari mengatakan
bahwa posisi perempuan dan laki-laki itu setara, ia sama-sama memiliki potensi
yang membedakan keduanya hanyalah "Ketakwaannya".
Islam menentang bentuk diskriminasi suatu kaum sebagai mana
dalam buku Murtada Mutahari "Filsafat Perempuan dalam Islam" bahwa
perempuan memiliki kemerdekaan sosialnya bisa kita lihat pada Fatimah as Zahra
putri Rasulullah, dimana ia secara adil memberikan hak untuk memilih dengan
siapa menikah.
Islam memberikan penuh kemerdekaan terhadap hak laki-laki
dan perempuan dalam menjalani hidup tidak ada yang dimarginal atau
tersubordinasikan. Segalanya dihargai dan dihormati.
Pada dasarnya, kita satu "manusia" yang membedakan
hanyalah biologi dan fungsinya.
Oleh karena itu ,apapun yang menjadi tantangan kita hari
ini, terkuntum oleh sistem atau budaya yang tidak adil bagi kita Sudah saatnya
kita sebagai perempuan mempunyai jalan pikiran sendiri, apa yang menjadi
halangan atau kemajuannya kita sebagai seorang perempuan adalah bergantung dari
diri kita sendiri.
Tulisan Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis