Oleh: Abd. Raviq
Pasal 1 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan “semua orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 2 menyatakan “Setiap orang berhak
atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini
dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum
atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang
berasal, baik dari negaraa
yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang
berada di bawah batasan kedaulatan yang lain”.
Salah satu
universalitas kebebasan ekspresi diatur dalam Pasal 19 DUHAM, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan
menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan
tidak memandang batas-batas.”
Sangat
jelas bahwa semua orang berhak menyatakan pendapat tanpa perbedaan suku ras dan
kedudukan politik. Sikap mahasiswa UIN Alauddin Makasar (UINAM) membentuk
Aliansi Mahasiswa merupakan sikap yang tidak melenceng dari amanat UUD 1945
Pasal 28 tentang kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia
bersifat demokrasi.
Menanggapi pernyataan
Wakil Rektor III Prof. Darussalam Syamsuddin yang diberitakan oleh Washilah sebagai mahasiswa, saya
mengatakan bahwa itu adalah bentuk yang tidak taat pada nilai-nilai demokrasi
yang berlaku pada negara ini dan tidak menjalankan apa yang menjadi amanat dari
UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 13 ayat (1) Mahasiswa sebagai
anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki
kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk
menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional. Dan ayat (2) Mahasiswa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan
pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan,
dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi
ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.
Nah, mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut merupakan
mahasiswa yang tidak terlepas dari aspek dan analisis sebagai bentuk
pengembangan penalaran dalam mencari sebuah kebenaran terhadap permasalahan
yang ada di UINAM khususnya permasalahan terkait UKT.
Bukan
hanya itu, dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menjadi
konsideran dalam KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN
ISLAM DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA Nomor : Dj.I/253/2007. Pada Pasal pasal 24 ayat (1) Dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan
tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi
keilmuan. PP Nomor 60 Tahun 1999 Pasal
17 ayat (1) Kebebasan akademik termasuk kebebasan
mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki anggota
sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan
mandiri. Dan ayat (2)
Pimpinan perguruan tinggi mengupayakan dan menjamin agar setiap anggota sivitas
akademika dapat melaksanakan kebebasan akademik dalam rangka pelaksanaan tugas
dan fungsinya secara mandiri sesuai dengan aspirasi pribadi dan dilandasi oleh
norma dan kaidah keilmuan.
Yang
dimaksud sebagai civitas akademika adalah mahasiswa dan dosen (UU NO. 12 Tahun
2012 Tentang Pendidikan Tinggi). Jadi, sangat jelas bahwa mahasiswa mempunyai
kebebesan berpendapat dalam kampus baik tergabung dalam satu aliansi maupun
secara individu dan Pimpinan Perguruan Tinggi menjamin agar hak kebebasan
tersebut terpenuhi.
Jika,
WR III menolak debat yang dilayangkan oleh salah satu aliansi mahasiswa di UINAM,
dengan alasan bahwa “Tidak ada lembaga intra disebut aliansi” itu
berarti pimpinan kampus tidak menjamin kebebasan berpendapat dalam Perguruan
Tinggi. Aliansi merupakan gabungan beberapa kelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Toh, yang tergabung dalam aliansi tersebut adalah mahasiswa UINAM
sendiri bukan dari mahasiswa luar UINAM. Saya menduga bahwa sikap WR III UINAM
tersebut, hanyalah alibi dan takut menerima tantangan debat dari aliansi mahasiswa
tersebut, yang dilayangkan beberapa hari yang lalu. Jika memang kampus ingin
menjamin kebebasan mimbar maka sudah seharusnya Pimpinan Kampus harus menerima
tantangan debat itu.
Saya
sangat menyayangkan sikap pimpinan kampus yang tidak mau menerima tantangan
debat yang dilayangkan oleh Aliansi
Mahasiswa yang resah dengan permasalahan UKT yang ada di kampus, hanya karena
yang menantang debat bukan Lembaga Kemahasiswaan. Adanya tantangan debat untuk Pimpinan UINAM dikarenakan banyaknya
permasalahan yang ada di UINAM. Tuntutan dari Al-MAUN, seperti dalam akun Instagram
adalah persoalan Rekategorisasi UKT yang tidak optimal, UKT Semester Pandemi
dan UKT Semester 9 yang masih dibayar secara penuh.
(Tulisan Sepenuhnya Tanggung Jawab Penulis)