Pancasila Kitab Gender; Antara Diskriminasi atau Alat Reproduksi Untuk Peradaban



Oleh : Nuraida Hirata


Setelah 23 tahun Orde Baru tumbang dan Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila (P4) tidak ada lagi pancasila masih tertanam di kurikulum pendidikan dan dihayati setiap upacara pancasila sebagai dasar Negara yang seharusnya mampu mengayomi setiap lapisan masyarakat sepertinya diragukan oleh beberapa kalangan, salah satunya datang dari kalangan perempuan.

Merefleksi kembali sejarah, perempuan pernah ikut andil dan berkontribusi melahirkan Pancasila saat proses persiapan kemerdekaan Indonesia. Mengenal Raden Ayu Maria Ulfah Santoso dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo adalah dua tokoh perempuan yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Raden Ayu Maria Ulfa malah pernah ditunjuk sebagai Menteri Sosial. Dalam Kongres Perempuan Indonesia kali pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta, perempuan juga dipandang ikut berpartisipasi mewujudkan kemerdekaan yang dilandasi cita-cita dan semangat persatuan dan kesatuan. Pertanyaan paling mendasar, apakah pancasila telah berhasil memberikan suatu perlindungan terhadap kaum perempuan?

Melihat fenomena kekerasan pada perempuan, sempitnya ruang bagi perempuan dalam rana publik serta kebijakan hukum yang justru menyulitkan perempuan. Salah satu kasus datang dari Audry, siswa SMP yang 2 tahun lalu sempat menjadi perbincangan khalayak ramai akibat kekerasan yang dialaminya, bermula dari aksi saling sindir yang kemudian berakhir dengan pengeroyokan secara keji.

Para pelaku membenturkan kepala korban ke aspal, menendang perut korban berkali-kali, mencekik, hingga menyiram dengan air secara bergantian. Sadisnya, wajah korban juga ditendang dengan sandal gunung hingga mengalami pendarahan di hidung, kepala benjol, dan berbagai luka dalam lainnya. Seolah belum puas, salah satu pelaku bahkan melakukan penyerangan seksual kepada Audrey. (Krisna Octavianus Dwiputra 10/04/19).

Kasus di atas seolah telah memberikan suatu gambaran bagaimana hukum tidak memihak terhadap kaum perempuan. Bahkan,  baru-baru ini Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak mencatat, sejak 1 januari hingga 16 maret 2021 terdapat 426 kasus Kekerasan Seksual dari total 1.008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Hal ini menggambarkan bahwa bentuk hukum yang ada di Indonesia sama sekali kurang memperhatikan bagaimana bentuk kekerasan yang terjadi terhadap kaum perempuan. Ketika system semacam ini masih terus berlanjut akan memberikan suatu bentuk penambahan angka kekerasan bagi kaum perempuan terutamanya.

Jika menganalisis lebih jauh lagi bahwa poin-poin yang termaktub dalam dasar Pancasila secara nyata menghargai perempuan. Setiap sila tidak terlepas dari pemaknaan bagaimana peran sebenarnya  perempuan misalnya, (1) sila pertama, ketuhanan yang  Maha Esa memuat tentang toleransi hidup di antara umat beragama dan sikap saling hormat menghormati. Sikap tersebut tidak akan tercapai apabila fungsi publik dan  domestik perempuan tidak terpenuhi. (2) Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti mengakui persamaan hak dan kewajiban setiap asas manusia tanpa membedakan agama, suku, keturunan, kepercayaan, jenis kelamin, warna kulit dan lain sebagainya.

Rasa kemanusiaan jelas menolak kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan, pencabulan, pemerkosaan dan semua bentuk kekerasan terhadap perempuan baik itu berbentuk fisik, verbal, seksual dan ekonomi. (3) Sila ketiga, Persatuan Indonesia. Butirnya menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan bangsa dan Negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Selain itu, mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.

Maraknya isu keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme, terutama bom panci oleh  Dian Novi tempo hari, juga menyadarkan kita betapa sosok perempuan sangat urgen dalam konteks persatuan. Apalagi, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak. Tentu makin berbahaya jika perempuan mengajarkan anak-anaknya dengan paham radikalisme dan fanatisme buta. Itu artinya memecah belah persatuan bangsa. (4) Sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Salah satu butirnya, memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.

Patut disyukuri Indonesia memiliki aturan kuota 30 persen perwakilan perempuan di parlemen. Meskipun, Pemilu Legislatif 2014 kemarin belum juga tercapai, karena hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota. (5) Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Amat jelas perempuan dan laki-laki harus mendapat manfaat keadilan dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll. Angka kematian ibu melahirkan, buta huruf, upah pekerja perempuan, dan seterusnya, menjadi cita-cita panjang dalam penerapan Pancasila.

Pengklarifikasian perempuan seharusnya tidak terjadi mengingat peran dan fungsi laki-laki dan perempuan itu sama. Menurut para ilmuwan seperti Plato, mengatakan bahwa perempuan ditinjau dari segi kekuatan fisik maupun spiritual, mental perempuan lebih lemah dari laki-laki, tetapi perbedaan tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan dalam bakatnya. (Murthada Muthahari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera, 1995), 1070).

Sedangkan gambaran tentang perempuan menurut pandangan yang didasarkan pada kajian medis, psikologis, dan sosial, terbagi atas dua faktor, yaitu faktor fisik dan psikis. Secara biologis dari segi fisik, perempuan mempunyai perbedaan dengan laki-laki, suaranya lebih halus, perkembangan tubuh perempuan terjadi lebih dini, kekuatan perempuan tidak sekuat laki-laki dan sebagainya. Perempuan mempunyai sikap pembawaan yang kalem, perasaan perempuan lebih cepat menangis dan bahkan pingsan apabila menghadapi persoalan yang berat.(Murthada Muthahari, Hak-Hak Wanita dalam Islam, 108-110). 

Sementara Kartini Kartono mengatakan bahwa perbedaan fisiologis yang dialami oleh perempuan sejak lahir pada umumnya kemudian akan diperkuat oleh struktur kebudayaan yang ada, khususnya oleh adat-istiadat, sistem sosial-ekonomi dan pengaruh-pengaruh pendidikan. (Kartini Kartono, Psikologi Wanita, Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, (Bandung:Mandar Maju, 1989), 4). Pengaruh kultural dan pedagogis tersebut diarahkan pada perkembangan pribadi perempuan menurut satu pola hidup dan satu ide tertentu.

Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat dan kemampuan perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat umum atas tradisi menurut kriteria-kriteria, feminis tertentu. Dalam konsep gendernya dikatakan, bahwa perbedaan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki maupun wanita merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian kelas antara perempuan dan laki-laki seharusnya tidak terjadi mengingat setiap makhluk hidup memiliki kebebasan melakukan apapun yang dianggapnya benar. Maka menganggap diri paling kuat dan hebat hanyalah omong kosong belaka.