Oleh: Alfian Jimran
Pendidikan Humanis
adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk pengembangan potensi-potensi
peserta didik sebagai manusia seutuhnya yang dilakukan secara manusiawi
(memanusiakan manusia) sehingga peserta didik dapat berkembang baik menuju ke arah
kesempurnaan. Pendidikan untuk manusia, begitulah gagasan ideal pendidikan
lahir dengan kemuliaannya. Namun, tidak boleh secepat itu dalam menafsirkan
mekanisme suatu pendidikan sebab sebelum menilai konsepnya, dibutuhkan penerapan
untuk dapat menilainya, mulai dari efektivitas pemberlakuannya, hingga
implementasi filosofisnya. Penelitian hingga proses objektifikasi menjadi
langkah yang sepatutnya dikerjakan. Itu adalah awal yang baik dalam menampakkan
wajah pendidikan kita. Pendidikan dalam asasnya amatlah sangat fundamental. Karena
dengan pendidikan mampu menjadi tolok ukur atas segala putusan dalam
perkembangan potensi kognisi, moralitas, hingga keterampilan manusia menjawab
segala persoalan yang tengah dihadapinya.
Menyoal perihal pendidikan,
hal ini pernah dijabarkan Ki Hadjar Dewantara pada saat menjadi Menteri Pendidikan
pada tanggal 19 Agustus 1945 hingga 14 November
1945. Dia menjadikan pendidikan sebagai semangat dasar kebangkitan nasional
dalam perjalanan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Ki Hadjar mengorientasikan spirit perjuangan itu agar akses terhadap pendidikan
dapat dirasakan semua masyarakat Indonesia yang tidak mampu dari segi finansial.
Alhasil, beliau mendirikan sekolah untuk pribumi sebagai resistensi beliau
dalam perjuangannya melawan aturan yang telah di klasifikasikan pemerintah Hindia.
Setelah kepulangannya
dari pengasingan Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman siswa pada tahun 1922, mengadaptasi
konsep rasionalitas barat yang mengedepankan kerja akal sehat dengan
mengkorelasikannya dengan nilai-nilai luhur dan kehalusan di tanah Jawa. Ki Hadjar layaknya
Mahatma Gandi beliau melawan belanda bukan dengan kebencian dan kekerasan, tetapi
membangunnya lewat penerapan kurikulum yang membebaskan manusia dari belenggu
penjajah. Karena pedagogi ala pemerintah Hindia belanda cenderung menyuguhkan
doktrinasi kepasifan, dan hanya kaum-kaum priayilah yang bisa sekolah. Apa yang
dilakukan pemerintah belanda saat itu adalah upaya untuk melawan gerakan
pendidikan pribumi.
Merefleksikan hal
tersebut menjadikan kita percaya bahwa dahulu ada sesosok yang memberikan kita
gambaran spirit perjuangan khususnya dibidang pendidikan. Tak kalah pentingnya,
semangat itu mulai tumbuh seiring berjalannya waktu. Dalam proyeksi ke depan, sampailah
kita pada hari ini di mana perjuangan itu tak ada hentinya dan masih
berlangsung hingga hari ini.
Paradigma Sistem Pendidikan
Indonesia
Pendidikan merupakan
lokomotif yang penting dalam menggerakkan kehidupan manusia. Baik buruknya
sumber daya manusia suatu negara tergantung dari pendidikan yang diperolehnya.
Maka proses pendidikan harus jelas dan terarah. Menelisik corak paradigma pendidikan
di Indonesia adalah menggunakan paradigma liberal dan beraliran filsafat
perenial serta esensialisme yang menisbahkan adanya keterpisahan antara manusia
dan dunia sehingga beraliran anti perubahan dan mempertahankan kemapanan. Peserta
didik ditempatkan sebagai objek yang dipaksa untuk menerima puluhan bahkan
ratusan teori yang tidak relevan sama sekali dengan kebutuhan akan realitas. Hal
ini disebut dengan Banking Concept of
Education. Konsep pendidikan bank adalah teori yang menempatkan peserta
didik sebagai objek yang harus menerima berbagai macam teori yang justru tidak relevan
dengan realitas. Realisasinya justru mengakibatkan proses pengalienasian
manusia. Di dalam kelas misalnya, peserta didik ibarat sebuah tabungan yang
diisi dengan berbagai macam teori/konsep dan pendidik adalah penabung. Pendidikan
hanyalah objek yang mencatat, menghafal, dan menerima konsep yang diberikan
penabung/pendidik. Manusia tidak hidup bersama dengan dunianya. Inilah konsep
yang sangat feodalis di zaman modern.
Fenomena peserta didik
atau mahasiswa yang dijadikan objek dalam perguruan tinggi, tepatnya dalam
ruang perkuliahan, merupakan kisah monumental yang sampai hari ini
masih dilakoni dengan begitu apik oleh tenaga pendidik (dosen). Tentunya
kisah monumental itu harus diakhiri karena model pendidikan seperti ini hanya
melahirkan pribadi yang kehilangan jati diri bukan pribadi yang sadar akan
orientasinya. Orientasi yang dimaksud di sini adalah pribadi yang berkembang
dengan bahasa pikirannya. Sebagai contoh, seseorang yang tidak hanya sanggup
menjalani kehidupannya, melainkan mengerti dan mampu mengubah realitas
kehidupan yang tidak ramah pada dirinya dan orang lain.
Pendidikan sebagai
arena bagi manusia untuk mengembangkan karakternya secara sadar dengan berkaca
pada kodratnya yang tidak hanya berada-dalam-dunia namun berada-bersama-dengan-dunia.
Dalam artian sederhananya, pendidikan memiliki peran penting terhadap manusia
yang bernaung di bawahnya—peserta didik dan tenaga pendidik—untuk menumbuhkan kesadaran
bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral. Tanggung jawab tersebut adalah
menciptakan dunia dalam realitas yang memberikan ruang kepada setiap manusia
untuk memperoleh haknya tanpa adanya pola diskriminasi dan saling menindas.
Mereka yang pernah
mengenyam dunia pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk membangun tatanan
dunia yang adil terhadap masyarakat umum, dan berdiri tegak menghadapi segala
permasalahan yang menjadi benalu dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
model Pendidikan khususnya pendidikan tinggi diharuskan menjadi ruang
penyadaran manusia agar di kemudian hari para individu yang pernah merasakan
bangku pendidikan mampu menerjemahkan zaman dan menyelami realitas sosial yang berperikemanusiaan.
Maka perlu kiranya pembelajaran dalam ruang perkuliahan tidak monoton pada
perkara duniawi yang bersampul untung-rugi,
melainkan menghadirkan
pembelajaran yang tidak terlepas
daripada kenyataan sosial
sehingga melahirkan manusia yang
tidak anti kehidupan sosial.
Implikasinya di Lingkup
Perguruan Tinggi
Hanya sedikit
undang-undang yang digunakan Indonesia dalam menjalankan sistem pendidikan. Inilah
logika sederhana kebejatan pemerintahan kita dalam melancarkan kepentingannya.
Saya ingin memulainya dengan UU PT dan UU BHP sebagai dasar dalam pelaksanaan
aturan secara esensial. Aturan tersebut mempunyai tujuan yang sama atas pendidikan,
yakni mempunyai semangat otonomi sebagai manifestasi liberalisasi,
komersialisasi, dan privatisasi terhadap penerapannya dalam lingkup kampus.
Segalanya berawal pada
bulan November 1998 dengan dukungan Bappenas dan Bank Dunia. Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) yang kala itu masih mengurusi pendidikan dasar (dikdas), pendidikan
menengah (dikmen), dan pendidikan tinggi (dikti), membentuk lima kelompok kerja
(pokja). Masing-masing bertugas menyusun kerangka reformasi pendidikan, rencana
pengembangan pendidikan dasar, serta pengembangan pendidikan berbasis komunitas
dan kemitraan antara pendidikan negeri dan swasta. Prakarsa ini konon muncul
menanggapi terbitnya laporan Bank Dunia berjudul Educationin Indonesia: From
Crisis to Recovery pada bulan September 1998 (Jalal &Supriadi, 2001).
Kendati demikian
perihal dukungan yang diinstruksikan World Bank dengan tujuan Educationin
Indonesia: From Crisis to Recovery mampu mengakomodir segala kebutuhan
dalam menjalankan asas tunggal yang dituhankan dalam pendidikan, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah yang saya pahami selama saya ikut campur
dalam persoalan ini meski sekedar ikut-ikut saja. Lewat gagasan ideal tersebut,
saya dapat menyimpulkan bahwasanya nilai lebih (surplus) atas pendidikan
memiliki orientasi yang cukup mulia dalam menjalankan perannya sebagai institusi
pengembangan dalam melancarkan tugas mulia tersebut.
Pasca 1998 yang
ditandai dengan term reformasi perguruan tinggi (high education reform), saya
mendapati hal timpang. Ini pernah dikemukakan luas dan cukup elaboratif dalam
tulisan Askar Nur dalam bukunya
yang berjudul; Bangku Depan, pada sub pembahasan Pendidikan untuk sosial
dan humaniora. Askar Nur berpendapat bahwa pendidikan di era ini diinstruksikan
oleh pemerintah agar menyesuaikan diri dengan kondisi kontemporer yang tengah
dihadapi oleh seluruh negara di dunia. Akhirnya tidak mengherankan negara
berlomba-lomba memusatkan konsentrasinya pada penunjangan akreditasi baik
kampus, maupun dalam prodi itu sendiri. Ini mereduksi amanat UUD 1945 (versi
amandemen) pasal 31 ayat 3 yang menyebutkan “pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dan pertanyaan
yang hadir dalam tulisan tersebut mempertanyakan tujuan pendidikan seperti yang
termaktub dalam amanat UUD tersebut. Sampai di mana implementasi kebijakan pendidikan
kita sampai hari ini apakah telah berjalan dengan bijak?
Respon Gerakan
Mahasiwa; Meninjau Konsep dan Realisasinya di Kampus Peradaban
Untuk mengatasi krisis,
Bank Dunia menyarankan empat strategi kunci reformasi pendidikan tinggi kepada
pemerintah khususnya di negara-negara berkembang. Pertama, diferensiasi
institusi dan memperluas partisipasi pihak swasta, yaitu pembukaan
lembaga-lembaga pendidikan tinggi non-universitas meliputi politeknik; lembaga pendidikan
profesi dan tehnik dengan program singkat; akademi komunitas; pendidikan jarak
jauh; dan program pendidikan terbuka; serta pemberian kesempatan yang luas
kepada pihak swasta untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi sebagai salah satu
cara menyiasati pembengkakan biaya akibat meningkatnya jumlah calon mahasiswa;
meningkatkan keragaman program pendidikan; dan memperluas partisipasi
masyarakat (HE, 1994: 5).
Pendekatan ini dapat
ditinjau bagaimana solusi yang ditawarkan Bank Dunia sangat mengisyaratkan
privatisasi, komersialisasi dan liberalisasi terhadap pendidikan. Hal ini
sangat tampak di mana konsep pendidikan kita hadir sebagai magnum opus perjuangan
dalam memanusiakan manusia. Namun, faktanya sangat bertentangan dengan semangat
dasarnya hadir di Indonesia pasca 1998.
Tak jauh berbeda, apa
yang terjadi lazimnya di lingkungan pendidikan kita yang tak lagi sehat ini terjadi
pula di kampus peradaban sebagai representasi maupun semboyan kampus tercinta
kami, yakni UIN Alauddin Makassar. Memperlihatkan dalam dirinya sekelumit
implikasi sistem pendidikan, solusi yang disodorkan lembaga-lembaga dunia mulai
awal tahun 2000-an hingga hari ini masih terjadi dan nyata di lingkungan UIN
Alauddin Makassar, yakni: misalnya kebijakan UKT yang tidak memenuhi syarat
objektif penetapan kategorinya. UKT semester 9 ke atas, kenaikan tarif kantin pace-mace
dari 6jt melonjak secara signifikan menjadi 15 juta per-ruangan, membuat pace
mace tergelincir dari ruang
produksinya dalam memberikan tarif yang sesuai kantong mahasiswa. Namun, kini
segalanya berubah entah bagaimana menamai hal tersebut dan masih banyak lagi
kasus lainnya yang belum sempat saya sebutkan satu persatu.
Lewat fenomena
kebijakan tersebut yang terjadi di UIN Alauddin Makassar terjadi momok
berbahaya dan lahan basah dalam mereproduksi konsep privatisasi pendidikan,
komersialisasi, maupun liberalisasi. Dengan banyaknya ketimpangan tersebut, tak
jarang mahasiswa menjadi satu-satunya yang dekat dan rentan terkena prosesi
ajang pemenuhan agenda ekonomi dan politik percaturan lembaga dunia.
Mahasiswa dengan peran
superiornya yang dilekatkan padanya sepatutnya berada di garda terdepan dalam
menumpas hal tersebut. Perjuangan demi perjuangan coba dilakukan sebagai respons
terhadap kebijakan UKT yang diatur dalam UU PT No. 12/2012, di UIN Alauddin
Makassar. Menjadi perdebatan pula di kalangan mahasiswa tentang fakta afirmasi
data yang coba dilampirkan demi melegitimasi tuntutan. Akhirnya, mahasiswa memperoleh
kemenangan kecil yang berhasil di raihnya lewat surat keputusan (SK) rektor no.
751 yang menandakan bahwa rekategorisasi atau peninjauan ulang UKT dapat di
ajukan kembali oleh mahasiswa hingga pemotongan UKT sebanyak 20% berhasil
diraihnya.
Namun, syarat demi
syarat dilakukan pimpinan, dalam hal ini birokrasi, senantiasa berupaya untuk
tidak memberi kemulusan terhadap mahasiswa yang tidak mampu secara finansial. Pasalnya,
pemotongan dan rekategorisasi yang diajukan tidak optimal atau sederhananya
mahasiswa yang mengusul rekategori dan pemotongan tersebut tak semua lulus
verifikasi berkas untuk dilakukan rekategori. Dengan adanya fenomena tersebut
kampus menampilkan sebuah watak konservatif yang sangat mempersulit
mahasiswanya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan sebagai dasar untuk
memperumit hal ini. Meskipun kemenangan telah diraih, mereka (birokrasi kampus)
tetap tak mau dengan mudah menyikapi dengan mekanisme sederhana. Dan ini
lagi-lagi untuk membuat jarak seolah seperti itulah kerumitan administrasi
kampus dalam menjaga kekuasaannya dan mekanisme sistemnya. Hal ini pernah
dinyatakan oleh K. Bertens:
Kuasa itu ada di
mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi
secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah
sebuah strategi. Strategi ini berlangsung dimana-mana dan di sana terdapat
sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar,
melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam
dan memungkinkan semuanya terjadi (K. Bertens, 2001:319).
Lembaga pendidikan
formal (dalam konteks ini kampus) juga menjadi bagian dari sistem sosial yang
terlibat dalam pembentukan disiplin terhadap individu-individu. Di samping itu,
lembaga pendidikan yang idealnya menjadi ajang pembelajaran untuk menanamkan
nilai-nilai kesadaran mahasiswa menjadi makhluk sosial dan politik juga sering kali
menjadi mesin penguasa untuk menanamkan ideologi para penguasa, sehingga
kekuasaannya tidak terganggu.
Maka, terbentuklah resistensi
gerakan mahasiswa dari pandangan organisasi intra kampus terhadap situasi pendidikan
khususnya kampus peradaban. Ada beberapa tindakan resistensi yang dilakukan
oleh organisasi intra kampus (Dema-U, Dema-F, Sema-U, Sema-F hingga HMJ
sejajaran) untuk menyikapi isu-isu yang kemudian mereka angkat. Pembentukan
ruang konsolidasi antar organisasi dimulai dengan melakukan diskusi situasi
kampus. Diskusi dilakukan untuk membangun sebuah konsensus terhadap kebijakan-kebijakan
kampus yang dianggap tidak memihak mahasiswa. Kegiatan diskusi dilakukan di dalam
kampus dengan melibatkan semua organisasi eksternal kampus maupun organisasi
internal kampus. Semua organisasi berhak menyampaikan analisanya terhadap objek
pembahasan hingga muncul perbedaan pandangan maupun kesamaan pandangan. Dari
kesamaan pandangan itulah kemudian menjadi embrio membentuk suatu aliansi.
Aliansi antar organisasi dilakukan membentuk wadah komunikasi untuk melakukan
pembahasan tindak lanjut dalam menyikapi isu-isu yang kemudian diangkat.
Dengan demikian, dalam
analisisnya, Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bukan melahirkan kepatuhan,
melainkan justru melahirkan resistensi. Tidak ada kuasa yang bebas dari
oposisi, di mana ada kuasa di situlah resistensi akan lahir (K. Bertens.
2001:324).