Ranggong Daeng Romo Hulu Balang Sejati

Ranggong Daeng Romo. 
Gambar dari google

27 Februari 1947 saat subuh menjelang pagi tentara Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) menyerang pos penjagaan Laskar Pemberontakan Rakyat Sulawesi (LAPRIS). Tanpa persiapan dan perlengkapan senjata yang cukup, Ranggong Daeng Romo bersama dengan pasukannya melawan tentara (KNIL). 


Tentara LAPRIS berhasil dipojokkan oleh KNIL. Dengan sebilah badik dan sepucuk pistol Ranggong Daeng Romo melakukan perlawanan terhadap tentara musuh. Ranggong Daeng Romo tertembak tepat di paha kirinya. Meski terpojok, Ranggong Daeng Romo tetap berjuang dengan gagah berani hingga nafas terakhirnya. Ia menutup lembar perjuangan di Usia 32 tahun.


Ranggong Daeng Romo lahir di Bone-Bone, Polongbangkeng, Takalar pada tahun 1915. Ia Putra dari Mangulabbe Daeng Jimo, Gallarang Moncongkomba. Ranggong Daeng Romo lahir di masa ketika gelora pemberontakan rakyat terhadap penjajah sedang memanas. 


Sebagai pemuda Polongbangkeng, sejak kecil Ranggong Daeng Romo telah dididik oleh ibunda dengan mental keberanian lewat syair tentang keberanian dan kebesaran orang-orang terdahulu. Jari pabunduk pattuturang tau rewa, ungkapan ini mempunyai arti, engkau adalah keturunan prajurit keturunan orang-orang pemberani. Potongan syair ini dilantunkan oleh ibu di Polongbangkeng kepada anaknya sebelum tidur untuk mendidik mentalitas rewa (pemberani) anak.


Selain pendidikan keluarga, sejak kecil ia telah mendapat pendidikan formal yang cukup. Pendidikan pertama yang ia dapatkan adalah pendidikan agama di pesantren, lalu melanjutkan pendidikan di Inlandsche School (Sekolah Rakyat) di Makassar . 


Setelah lulus ia melanjutkan pendidikan di HIS. Namun karna ia tidak menyukai sekolah tersebut, ia kemudian pindah ke sekolah partikelir, Taman Siswa. Di sekolah tersebut Ranggong Daeng Romo banyak menerima pendidikan sejarah dan agama. Di sana jiwa nasionalismenya ditempa. Sejak berdirinya, Taman Siswa konsisten menggunakan pendidikan sebagai jalan untuk memerdekakan kaum pribumi.


Suatu ketika Taman Siswa diserang oleh sekelompok siswa dari sekolah negeri milik pemerintah kolonial. Akibatnya, sekolah tersebut rusak. Karna tak terima, Ranggong Daeng Romo beserta teman-temannya melakukan serangan balasan. Baginya melawan kejahatan adalah sebuah kewajiban. Setiap kejahatan harus dilawan demi kehormatan, kebenaran, kepercayaan, dan agama yang diyakininya. 


Akibat penyerangan ke sekolah Belanda tersebut, ayah Ranggong Daeng Romo terpaksa harus berurusan dengan badan intelijen pemerintahan Hindia Belanda yang bertugas untuk mengawasi pergerakan dari dalam maupun dari luar yang dapat membahayakan atau melemahkan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.


Setelah lulus dari Taman Siswa, Ranggong Daeng Romo pulang ke kampung halaman dan mendampingi pekerjaan ayahnya sebagai kepala pemerintahan. Ia dikenal dermawan, pandai bersosialisasi, dan senang melindungi masyarakat dari kekejaman kolonial.


Setelah menginjak usia 18 tahun, pada tahun 1933 ia menikah dengan Bungatubu Daeng Lino—anak dari gallarang Bonto Kadatto, Tarasi Daeng Lino.


Setelah menikah hingga tahun 1942, ia membantu mertuanya untuk menjalankan pemerintahan. Setelah dirasa cukup pengalaman, ia menerima tanggung jawab sebagai kepala distrik bawahan Bonto Kadatto di kampung Canrego.


Tahun 1942 kekuasaan Kolonial jatuh ke tangan Jepang. Hal ini dimanfaatkan Ranggong Daeng Romo. Ia masuk ke Nani Jo Kuhitsu Kabasiki Kaisha, sebuah perusahaan perdagangan beras milik jepang. Strategi ini dipakai untuk membantu rakyat, khususnya menjaga stabilitas harga beras. 


Pekerjaan ini pula yang mengantarkan ia untuk berkenalan dengan perwira-perwira militer jepang. Dengan begitu ia dapat mengetahui perkembangan politik dan situasi yang terjadi pada saat itu. Berkat itu pula, ia berkesempatan untuk mempelajari buku-buku pengetahuan modern seperti ekonomi, politik, dan sosial budaya.


Pada tahun 1944, ia berhenti dari pekerjaan tersebut karena penguasa militer jepang makin semena-mena dalam memeras rakyat. Harga pangan makin tinggi dan terjadi kelangkaan bahan pokok. Pada akhirnya rakyat semakin tidak diuntungkan. 


Dengan Seinendan Melawan Jepang


Akibat peperangan melawan sekutu, posisi kekuasaan militer jepang makin melemah. Menyadari hal tersebut, Jepang berusaha mencari dukungan politik dan Militer dari rakyat. Jalan tersebut ditempuh dengan mendirikan Seinendan (Korps Pemuda). Organisasi ini dibentuk untuk memenuhi cadangan tentara Jepang apabila suatu waktu terjadi perang—minimal mereka mampu mempertahankan daerah-daerah lokal yang masuk dalam kekuasaan militer Jepang.


Di Polongbangkeng, Ranggong Daeng Romo ditunjuk sebagai pimpinan distrik bawahan Bonto Kadatto. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Ranggong Daeng Romo. Diam-diam ia menggalang kekuatan untuk melawan penjajahan. Melalui Seinendan, ia mendidik dan menempa jiwa nasionalisme kawan-kawannya.



Perjuangan terus berlanjut. Setelah menggalang kekuatan, secara terang-terangan Ranggong Daeng Romo bersama dengan pasukannya melawan militer Jepang. Ia memerintahkan pasukannya untuk menyelidiki sekaligus merampas senjata militer Jepang yang masuk ke kampung-kampung.


Jepang berhasil dipukul mundur. Namun, itu semua akibat agresi militer Belanda—dengan segala upaya kembali ingin berkuasa.


Gerakan Muda Bajeng: Upaya Mempertahankan Kedaulatan


Menyikapi kekalahan Jepang dan usaha Belanda untuk berkuasa di tanah air, Pajonga Daeng Alle, yang saat itu merupakan pemimpin Polongbangkeng memerintahkan kepada sejumlah tokoh-tokoh berpengaruh untuk menggalang simpati masyarakat, selain itu untuk menyampaikan berita kekalahan Jepang, dan Belanda akan kembali untuk menjajah.


Pada bulan Oktober 1945, sekembalinya dari konferensi raja-raja Sulawesi selatan di Yogyakarta, Ia memutuskan untuk mendukung kedaulatan Indonesia di Sulawesi di bawah pemerintahan gubernur Sam Ratulangi. Di bulan yang sama, dibentuk pula organisasi bernama  Gerakan Muda Bajeng sebagai upaya untuk menjaga kemerdekaan.


Pemerintahan darurat setempat pun didirikan, Pajonga Daeng Alle sebagai pemimpin pemerintahan wilayah Polongbangkeng. Penetapan pembagian wilayah dan penetapan pemimpin diselenggarakan. Ranggong Daeng Romo diangkat sebagai kepala wilayah Ko’mara.


Pada 5 Desember 1945, Ranggong Daeng Romo menjabat sebagai Komandan Barisan Penerjang Gerakan Muda Bajeng di distriknya. Di masa kepemimpinannya sebagai Komandan pada tanggal 26 Desember 1945, terjadi pertempuran dengan pihak KNIL saat perjalanan menuju Makassar, tepatnya di Balang Baru. Dalam pertempuran tersebut musuh berhasil dipukul mundur. Dua unit truk milik musuh berhasil dihancurkan.


Akibat pertempuran tersebut, terjadi serangan balasan oleh KNIL pada 7 Januari 1946. Pertempuran sengit antara KNIL dan pasukan Gerakan Muda Bajeng yang dipimpin oleh Makkaraeng Daeng Manjarungi terjadi di Batunipa, Polongbangkeng. Mereka berhasil menahan serangan KNIL, tetapi dua orang pasukan gugur dalam pertempuran tersebut.


Pertempuran selanjutnya dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo dengan melakukan penyerangan ke lokasi-lokasi pertahanan Belanda. Serangan pertama terjadi di Pappa, lalu keesokan harinya di Bonto Cinde. Esoknya, Ranggong Daeng Romo menyerang dan memukul mundur tentara Belanda yang berusaha untuk membuat kubu pertahanan di Palleko.


Laskar Lipan Bajeng


Tekanan dari pihak musuh semakin masif, beberapa tokoh gerakan berhasil ditawan oleh belanda. Beberapa di antaranya memihak pada musuh dan sebagiannya lagi meninggalkan Polongbangkeng. Bagi Ranggong Daeng Romo sudah saatnya membentuk kelaskaran baru. 


Akhirnya, pada 2 April 1946 dibentuk Lipan Bajeng sebagai transformasi dari Gerakan Muda Bajeng. Markas Lipan Bajeng berkedudukan di Polongbangkeng. Secara filosofis, bagi masyarakat setempat, Lipan bermakna kepahlawanan dan simbol persatuan. Simbol tersebut terdapat di bendera kerajaan Bajeng.


Melalui Lipan Bajeng perlawanan terhadap musuh terus digelorakan. Lima hari setelah terbentuknya kubu pertahanan di Parang Siallaka, datanglah serangan Belanda.


Gagal dalam serangan tersebut, tentara Belanda kembali melakukan serangan pada 11 April 1946. Namun, di bawah pimpinan Tuan Nguse, musuh berhasil dipukul mundur. Tak hanya itu, mereka berhasil merebut sepucuk Moser. Gagal berkali-kali tak membuat niat Belanda urung untuk menguasai daerah tersebut. Justru mereka semakin gencar melakukan serangan.


Untuk meredam hal tersebut, Ranggong daeng Romo melakukan serangan balasan di Pa’lilang. Dalam aksinya, pasukan dibagi menjadi lima kelompok membentuk tapal kuda. Setelah memasuki daerah yang dikuasai musuh, satu kelompok bertugas untuk memancing pergerakan musuh, dan kelompok lainnya bertugas untuk menyerang dari berbagai arah.


Dalam penyerangan ini, pasukan Lipan Bajeng berhasil menewaskan tiga orang tentara Belanda serta merebut persenjataan mereka. Namun, dua orang pasukan Lipan Bajeng gugur saat konfrontasi terjadi. 


Pemberontakan LAPRIS


Penyerangan Belanda pecah dimana-mana. Menanggapi hal tersebut beberapa pemimpin kelaskaran melakukan pertemuan untuk membuat wadah perjuangan yang lebih besar. Dari pertemuan tersebut terbentuklah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada tanggal 17 Juli 1946, dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo.


Setelah terbentuknya kelaskaran ini, penyerangan terhadap tentara Belanda lebih efektif dan efisien.


1 Oktober 1946 Ranggong Daeng Romo memimpin rapat LAPRIS. Rapat tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting.


Satu, ketua umum dan pembantu-pembantunya bertugas untuk mengatur pemerintahan sipil. Dua, pemimpin pasukan harus melakukan latihan umum pada tanggal 4 November sampai 4 Oktober di Manjalling, Ko’mara. Tiga, mengadakan gerakan serentak untuk: mengadakan pembakaran dengan secara besar-besaran pada tempat-tempat vital kepentingan musuh; mengidentifikasi kaki tangan musuh; merampas senjata musuh dan kaki tangannya; memutuskan jaring-jaring lalu-lintas dengan cara menebang pohon-pohon di sepanjang jalan; merobohkan tiang-tiang telefon dan merusakkan jembatan-jembatan penghubung antar daerah.


Di bawah komandonya, LAPRIS melakukan sabotase terhadap Belanda. Hingga akhir hayat, perlawanan terhadap penjajah terus diperjuangkan.


54 tahun setelah wafat, Ranggong Daeng Romo dianugerahi sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/2001.


Referensi :

1. Wanua Tangke dan Usman Nukma. Ranggong daeng Romo Pahlawan Dari Takalar. Makassar: Pustaka Refleksi

2. Mukhlis Dkk. Monumen Perjuangan Di Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. 1987

3. Taufik Ahmad. Bandit dan Pejuang: Sejarah Sosial Politik Masyarakat Polongbangkeng (1905-1960-an). WALASUJI Volume 5, No. 2, Desember 2014: 381—392


Penulis : Rahmad Adri

Editor: Naufal Mahdi