Iklan

Liberalisasi dan Mahalnya Biaya Kuliah

Lapmi Ukkiri
01 June 2021
Last Updated 2021-06-01T07:29:29Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini



Oleh: Islahuddin Ibrahim


“Sebenarnya saya mau kuliah, melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Mamaku bilang, orang yang sudah kuliah dengan yang tidak, tentu sangat berbeda, apalagi kami yang tinggal di desa seperti ini akan lebih dihargai jika punya gelar pendidikan. Hanya saja, kemauan orang tua dan keinginanku untuk menggapai cita-cita harus gugur sebab mahalnya biaya kuliah” Narasi yang terdengar sangat emosional ini menjadi jawaban atas pertanyaan saya pribadi kepada salah satu adik kelas yang akan tamat sekolah menengah atas, tentang “dimana kamu mau kuliah”. Lantas terbesit pertanyaan dalam benak saya, mungkinkah anak-anak yang ingin mengecap pendidikan tinggi, menggapai cita-citanya. Merasakan hal demikian?, utamanya mereka yang tinggal jauh dari hiruk pikup perkotaan.


Menyikapi persoalan demikian, saya melihat bahwa keinginan anak-anak sangat tinggi untuk mengenyam pendidikan tinggi demi menggapai cita-cita dan keinginannya untuk hidup yang lebih baik yang juga ditopang oleh kesadaran masyarakat tentang pendidikan yang sekarang menjadi kebutuhan primer, hal ini dikarenakan lapangan pekerjaan yang ada mensyaratkan harus adanya gelar sarjana, persfektif ini secara sadar dan tidak sadar telah terbangun dalam lingkup masyarakat dan sering dijumpai. Akan tetapi, biaya kuliah yang mahal menjadi penghambat mereka untuk mewujudkan cita-citanya.


Pendidikan telah menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap rakyatnya melalui amanat UUD 1945, menyediakan pendidikan yang layak dan bisa dinikmati bagi seluruh warga merupakan tugas wajib negara yang harus ditunaikan. Amanat tersebut telah tercantum pada alinea ke-empat UUD 1945 “Pemerintah negara Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”, lebih lanjut lagi pada pasal 31 UUD 1945 ayat 1 juga tercantum bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Walau pemerintah telah menyediakan program kebijakan wajib belajar 12 tahun, yang digalakkan oleh era Presiden Joko Widodo, dimana pemerintah menjamin pendidikan warga negaranya selama 12 tahun. Akan tetapi, yang patut disadari bahwa pendidikan merupakan hak yang mendasar dan bersifat sepanjang hidup. Namun yang kerap disorot pada jenjang pendidikan hanyalah SD hingga SMA, khususnya pada kebijakan program wajib belajar 12 tahun, dan melupakan jenjang pendidikan perguruan tinggi. lantas, ada apa dengan pendidikan tinggi sehingga tidak pernah menjadi sorotan pemerintah untuk juga menerapkan pendidikan gratis.


Partisipasi terhadap pendidikan tinggi tentu terus meningkat seiring dengan pesatnya arus globalisasi dan kesadaran masyarakat akan perlunya mendapatkan pekerjaan yang layak, dan pendidikan tinggi menjadi salah satu syarat agar mendapatkan kehidupan yang layak sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, akan tetapi, nampak dikotomi kelas dalam partisipasi pendidikan tinggi. Di tahun 2019 Badan pusat statistik (BPS) telah merilis data tentang angka partisipasi terhadap pendidikan menurut masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan. Tercantum bahwa, terjadi kesenjangan APM (Angka Partisipasi Murni) antara perdesaan dan perkotaan semakin terlihat seiring dengan tingginya jenjang pendidikan. Kesenjangan paling tinggi terlihat pada jenjang pendidikan perguruan tinggi, yaitu persentase APM daerah perkotaan lebih tinggi dari perdesaan dengan perbedaan yang mencapai lebih dari 16 persen (25,30 persen berbanding 9,60 persen) untuk kelompok umur 19-24 tahun dan lebih dari 17 persen (Sumber: https://www.bps.go.id55).  Dijelaskan juga lebih lanjut menurut status ekonomi keluarga pada tahun 2019. Data Hasil olah Susenas tahun 2019 menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan pendidikan antar penduduk yang tinggal di rumah tangga dengan status ekonomi yang berbeda. Semakin tinggi status ekonomi rumah tangga, semakin tinggi APK pada setiap jenjang pendidikan. Kesenjangan tersebut juga semakin meningkat seiring meningkatnya jenjang pendidikan. Kesenjangan yang paling besar terlihat pada jenjang PT kelompok umur 19-24 tahun, pada Kuintil 1 (status ekonomi rumah tangga terendah) APK PT (Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi) hanya sebesar 9,58 persen, sedangkan pada Kuintil 5 (status ekonomi tertinggi) APK PT mencapai 51,28 persen. Hal ini dijelaskan dengan semakin meningkatnya kebutuhan finansial di bidang pendidikan seiring meningkatnya jenjang pendidikan tersebut (Sumber: BPS, Susenas Maret 2019).


Terlihat pada penjabaran diatas, nampak jelas bahwa partisipasi terhadap Perguruan Tinggi atau yang dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi lebih didominasi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dimana sebagian besar bahkan hampir seluruhnya memiliki strata sosial atas atau pendapatan yang tinggi, ketimbang mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang pendapatannya hanya cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ini mengisayratkan bahwa pendidikan khususnya perguruan tinggi hanya dapat dinikmati oleh mereka golongan menengah (the middle class) hingga golongan atas (the upper class). Sedangkan, keinginan mengecap manisnya perguruan tinggi besar, yang juga didukung oleh persfektif masyarakat bahwa pendidikan merupakan kendaraan menuju kesuksesan dan menggapai cita-cita. Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah mengapa biaya pendidikan tinggi semakin meningkat seiring perkembangan zaman?


Meningkatnya biaya pendidikan tinggi tentu tidak serta merta terjadi tanpa sebab. Begitupun realitas tentang tidak meratanya distribusi Pendidikan yang terjadi antara masyarakat pedesaan dan perkotaan, masyarakat golongan bawah dan golongan atas. Pengaruh perdagangan bebas di era globalisasi sekarang ini menjadi faktor meningkatnya biaya pendidikan tinggi serta kesenjangan yang terjadi. Perdagangan bebas yang berangkat dari paham liberalisme. Liberalisme sendiri adalah sebuah paham yang dicetuskan oleh John Locke sekaligus juga dijuluki sebagai bapak liberalisme dunia. Menurutnya liberalisme mencakup tiga dasar yakni life (Kehidupan),  liberty (kebebasan) dan property (kepemilikan). Menurut Locke negara harus melindungi kehidupan individu, melindungi barang yang dimiliki seorang individu dan wajib melindungi kebebasan yang dimiliki individu. Locke menambahkan bahwa selain melalui negara, cara lain melindungi kebebasan adalah dengan perdagangan bebas. Adapun perdagangan bebas menurut David Ricardo adalah sistem perdagangan dunia dimana setiap negara melakukan perdagangan tanpa ada halangan negara, adapun hubungan antara perdagangan bebas dengan unsur kebebasan karena perdagangan bebas akan melindungi kebebasan individu untuk bertransaksi dan tanpa campur tangan pemerintah.


Lantas apa kaitan antara Perdagangan bebas dengan biaya pendidikan yang semakin meningkat? Derasnya arus perdagangan bebas semakin tak terbendungkan, ditandai juga dengan hadirnya lembaga- lembaga perdagangan dunia  seperi, WTO (world trade organization) hingga GATS (General Agreement on Trade in Services) sebagai organisasi dengan tujuan agar negara-negara berkembang bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi. Hadirnya  WTO dan perjanjian GATS semakin memperlancar penyebaran dan praktik-praktik liberalisasi dengan cara mendorong negara-negara yang termasuk dalam WTO untuk melakukan liberalisasi hingga deregulasi dan ini merembes pada sektor pendidikan tinggi Indonesia.


Sebagai bentuk kesungguhan dan komitmen Indonesia menjadi anggota WTO diwujudkan dengan kesiapannya menandatangani perjanjian GATS, dan diwajibkan untuk meratifikasi keikutsertaanya, maka Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto. Selain sebagi bentuk legalitas akan keikutsertaannya undang-undang ini juga berfungsi meliberalkan beberapa sektor jasa dan ekonomi.


Perjanjian GATS sendiri adalah sebuah kesepakatan antar negara-negara anggota WTO dan memiliki kekuatan hukum yang mengatur kesepakatan perdagangan jasa internasional, perjanjian ini juga meliberalkan dan megatur 12 sektor jasa termasuk pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.


Dalam meliberalisasi pendidikan tinggi, pemerintah Indonesia tentu harus menggunakan dasar hukum perundang-undangan. Melalui kebijakan itu, pemerintah berupaya melakukan pereduksian subsidi, pemberian otonomi sendiri terhadap perguruan tinggi, dan melakukan pembebanan dana pendidikan tinggi kepada masyarakat.


Skema liberalisasi pendidikan ini lahir tentu bukan sebuah reaksi spontan dari perguruan-perguan tinggi Indonesia terhadap arus perdagangan bebas. Sebuah literatur menjalaskan bahwa skema ini diciptakan oleh lembaga-lembaga yang menjadi pilar neoliberalisme yaitu IMF, Bank Dunia, dan WTO dengan peranannya masing-masing. WTO berperan untuk mengubah konsepsi pendidikan yang tadinya barang publik (hak warga negara) menjadi barang privat berupa jasa yang diliberalisasikan. IMF berperan untuk mendorong negara agar menerapkan politik pengetatan anggaran (austerity) terutama mengurangi subsidi publik termasuk anggaran untuk pendidikan. Sedangkan Bank Dunia berperan untuk mendanai proyek-proyek bagi pemerintah dan perguruan tinggi untuk menjalankan skema liberalisasi seperti lahirnya sistem akreditasi, UU BHP, dan UU Dikti.


Pada tahun 1999 Indonesia mengalami Krisis Moneter akibat dari kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998. Untuk mengatasi dan mengembalikan kondisi ekonomi maka Indonesi di era Presiden B.J Habibie meminta bantuan pada IMF (International Monetary Fund) atau Dana Moneter Internasional. IMF pun mensyaratkan kepada Pemerintah Indonesia untuk segera meliberalisasi bidang jasa, salah satunya pendidikan. Disinilah awal mula liberalisasi jasa pendidikan, utamanya pendidikan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam undang-undang tersebut pemerintah di BAB XII mengatur persoalan Pembiayaan dan pada pasal 114 ayat 3 yang menghasilkan aturan bahwa sebagian pendanaan pendidikan tinggi dibebankan kepada masyarakat. Seperti: Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), biaya seleksi masuk perguruan tinggi, hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi, hasil penjualan produk dari penyelenggaraan pendidikan tinggi, sumbangan hibah, dan penerimaan dari masyarakat lainnya.


Alur kebijakan akan liberalisasi pendidikan tinggi masih terus berlanjut dengan juga Disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) yang diresmikan pada tanggal 23 Juli 2003. Beberapa pasal dalam undang-undang tersebut sangat terang-terangngan membebankan pendanaan kepada masyarakat yaitu pada pasal 24 ayat 3 yang berbunyi. “Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik”.


Ayat tersebut juga dipertegas pada pasal 46 ayat 1 yang berbunyi “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”.(Ibid)


Kemudian pada pasal 50 ayat 6 yang berbunyi “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya”


Dalam pasal tersebut mengatakan bahwa pendanaan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, namun yang menjadi ketimpangan pada pasal ini adalah tidak disebutkannya besaran pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan atau pemerintah, hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan sumber pendanaan. Semisal perguruan tinggi merasa bantuan yang diberikan oleh pemerintah kurang, maka dapat memungut pendanaan dari masyarakat semaksimal mungkin. Masyarakat dalam hal ini tentunya adalah mahasiswa ataupun orang tua wali peserta didik. Pasal ini semakin menguatkan posisi pemerintah yang seakan melepaskan tanggung jawabnya terkhusus mendanai perguruaan tinggi yang kemudiaan dibebankan kebeberapa pihak terutama masyarakat. Ditambah pemerintah memberi kebebasan terhadap perguruan tinggi untuk menentukan kebijakannya sendiri dan memiliki otonomi untuk mengelolah pendidikan di lembaga perguruan tinggi.


Otonomi perguruan tinggi semakin diditekan dengan dikeluarkannya UU No.9 tahun 2009 tentang BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada penghujung tahun 2008. Namun, sejak diberlakukannya, UU BHP mengundang hadirnya gelombang penolakan dari berbagai golongan masyarakat. Menurutnya, UU BHP merupakan “Pisau bermata dua”. Bisa merusak kedua sisi bila tidak dugunakan dengan benar dan bijak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan. Beberapa dari golongan masyarakat menghakimi kalau UU BHP hanyalah menciptakan garis pembatas yang secara tidak langsung melarang yang miskin untuk bisa menikmati bangku perguruan tinggi negeri, tentu hal ini juga bertentangan dengan janji negara pada pasal 4 ayat 1 UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bahwa pendidikan di negeri ini mesti diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan egaliter, dengan kata lain bahwa pendidikan harus di berikan kepada seluruh rakyat Indonesia, konsekuensinya adalah negara harus mengakomodasi pendidikan seluruh anak dimanapun dan jenis apapun.


Walau UU BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi upaya pemerintah terus dilakukan untuk melanggengkan hak otonom perguruan tinggi. Tentu upaya pemerintah meliberalisasi pendidikan tak akan pernah ada habisnya, oleh karena itu, pemerintah kembali membuat undang-undang, yakni UU no.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pada undang-undang tersebut, nampak secara gamblang negara melepaskan dirinya terhadap pembiayaan perguruan tinggi, memberikan kelonggaran terhadap pemerintah untuk mendanai perguruan tinggi dan membebankan pembiayaan pada masyarakat. Hal yang dipersoalkan pada UUPT ini tentang badan hukum pendidikan yang menyajikan otonomi. Pasal 65 diterangkan bahwa pemerintah memberikan hak istimewa pada PTN badan hukum, di antaranya hak mengelola dana, mengangkat dosen sendiri, mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi. Pasal 86, negara memberikan peluang terhadap dunia usaha dan industri untuk dapat mendanai perguruan tinggi melalui mofasilitas dan insentif. Pasal 88 tentang standar satuan biaya operasional yang sepenuhnya dibebankan oleh mahasiswa, serta pasal 89 menyatakan bahwa pendanaan perguruan tinggi negeri badan hukum merupakan subsidi dari pemerintah. Pasal tersebut secara terang-terangan menyatakan bahwa pemerintah mengatur manajemen pengelolaan pendidikan tinggi tetapi membebankan dan pendidikan kepada mahasiswa, masyarakat dan dunia usaha. Namun, jika dicermati lebih dalam, pemerintah sendiri diberi kelonggaran terkait pembiayaan pendidikan tinggi, di pasal 83 ayat 2  “Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Dengan frase “dapat” maka pembiayaan bersifat opsional bagi pemerintah. Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung jawab pembiayaan kepada masyarakat, UUPT berpotensi menciptakan pembatas bagi mereka yang tidak mampu untuk mengecap perguruan tinggi.


Terseretnya pendidikan dalam arus liberalisasi merubah nafas pendidikan itu sendiri yang secara garis besar adalah upaya untuk memanusiakan manusia, namun hari ini dengan kondisi pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang berorientasi kepada pasar, tentu pendidikan bukan lagi proses humanisasi melainkan dehumanisasi yang berimbas kepada kerugian terhadap manusia. Diberikannya Otonomi terhadap perguruan tinggi, dapat menciptakan potensi perguran tinggi berbuat sewenang-wenang. meningkatkan biaya kuliah setiap tahunnya, mematikan demokrasi dalam kampus, hingga kurikulum yang diatur sesuai kehendak pasar.  Perguran tinggi diberikan wewenang untuk menghapus dan membuat program studi sesuai dengan pasal 65 ayat 3 poin (g) UUPT no.12 tahun 2012. Alhasil, karena liberalisasi pendidikan semakin ditekan maka program studi yang tidak sesuai dengan kehendak pasar akan dihapuskan. Marwah pendidikan tinggi sebagai wadah pengembangan intelektual bertransformasi menjadi pabrik pencetak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pasar. Dampak lain dari liberalisasi pendidikan yakni tidak meratanya pendistribusian pendidikan khususnya perguruan tinggi, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan tinggi.


Menelaah liberalisasi pendidikan pada perguruan tinggi sepertinya cukup menjanjikan bagi masa depan perekonomian Indonesia, namun yang tak boleh luput bahwa pengaturan dan regulasi pendidikan tinggi merupakan “pisau bermata dua” yang sebenarnya telah menciptakan luka bagi masyarakat. Pendidikan harusnya menjadi alat untuk menuju kepada kesaran kritis serta dapat mengambil langkah yang berbasis keadilan dan kemanusiaan. Akan tetapi, hal demikian tak dapat tercapai bila pendidikan diarahkan kepada kebutuhan pasar. Pendidikan hari ini semakin menenggelamkan diri pada praktik-praktik yang meminggirkan hak kependidikan bagi masyarakat miskin.

 

Sumber:

https://www.bps.go.id55

BPS, Susenas Maret 2019

John Charvet dan Elisa Kaczynska-Nay, “what is liberalism?”, Cambridge University Press,2016,hal 2.

Ahmad, Panji Mulkillah, Memahami Skema Liberalisasi Pendidikan Tinggi Di Indonesia

undang undang no 20. Tahun 2003 tentang pendidikan nasional

UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

 

 

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl