Oleh: Islahuddin Ibrahim
“Sebenarnya saya mau kuliah, melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi. Mamaku bilang, orang yang sudah kuliah dengan
yang tidak, tentu sangat berbeda, apalagi kami yang tinggal di desa seperti ini
akan lebih dihargai jika punya gelar pendidikan. Hanya saja, kemauan orang tua
dan keinginanku untuk menggapai cita-cita harus gugur sebab mahalnya biaya
kuliah” Narasi yang terdengar sangat emosional ini menjadi
jawaban atas pertanyaan saya pribadi kepada salah satu adik kelas yang akan
tamat sekolah menengah atas, tentang “dimana
kamu mau kuliah”. Lantas terbesit pertanyaan dalam benak saya, mungkinkah anak-anak
yang ingin mengecap pendidikan tinggi, menggapai cita-citanya. Merasakan hal
demikian?, utamanya mereka yang tinggal jauh dari hiruk pikup perkotaan.
Menyikapi
persoalan demikian, saya melihat bahwa keinginan anak-anak sangat tinggi untuk
mengenyam pendidikan tinggi demi menggapai cita-cita dan keinginannya untuk
hidup yang lebih baik yang juga ditopang oleh kesadaran masyarakat tentang
pendidikan yang sekarang menjadi kebutuhan primer, hal ini dikarenakan lapangan
pekerjaan yang ada mensyaratkan harus adanya gelar sarjana, persfektif ini
secara sadar dan tidak sadar telah terbangun dalam lingkup masyarakat dan
sering dijumpai. Akan tetapi, biaya kuliah yang mahal menjadi penghambat mereka
untuk mewujudkan cita-citanya.
Pendidikan
telah menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara terhadap rakyatnya melalui
amanat UUD 1945, menyediakan pendidikan yang layak dan bisa dinikmati bagi
seluruh warga merupakan tugas wajib negara yang harus ditunaikan. Amanat
tersebut telah tercantum pada alinea ke-empat UUD 1945 “Pemerintah negara
Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”, lebih lanjut lagi pada
pasal 31 UUD 1945 ayat 1 juga tercantum bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran”. Walau pemerintah telah menyediakan program kebijakan
wajib belajar 12 tahun, yang digalakkan oleh era Presiden Joko Widodo, dimana
pemerintah menjamin pendidikan warga negaranya selama 12 tahun. Akan tetapi,
yang patut disadari bahwa pendidikan merupakan hak yang mendasar dan bersifat
sepanjang hidup. Namun yang kerap disorot pada jenjang pendidikan hanyalah SD
hingga SMA, khususnya pada kebijakan program wajib belajar 12 tahun, dan
melupakan jenjang pendidikan perguruan tinggi. lantas, ada apa dengan pendidikan
tinggi sehingga tidak pernah menjadi sorotan pemerintah untuk juga menerapkan pendidikan
gratis.
Partisipasi
terhadap pendidikan tinggi tentu terus meningkat seiring dengan pesatnya arus
globalisasi dan kesadaran masyarakat akan perlunya mendapatkan pekerjaan yang
layak, dan pendidikan tinggi menjadi salah satu syarat agar mendapatkan
kehidupan yang layak sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, akan
tetapi, nampak dikotomi kelas dalam partisipasi pendidikan tinggi. Di tahun
2019 Badan pusat statistik (BPS) telah merilis data tentang angka partisipasi
terhadap pendidikan menurut masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan
perkotaan. Tercantum bahwa, terjadi kesenjangan APM (Angka Partisipasi Murni)
antara perdesaan dan perkotaan semakin terlihat seiring dengan tingginya
jenjang pendidikan. Kesenjangan paling tinggi terlihat pada jenjang pendidikan
perguruan tinggi, yaitu persentase APM daerah perkotaan lebih tinggi dari
perdesaan dengan perbedaan yang mencapai lebih dari 16 persen (25,30 persen
berbanding 9,60 persen) untuk kelompok umur 19-24 tahun dan lebih dari 17
persen (Sumber: https://www.bps.go.id55). Dijelaskan juga lebih lanjut menurut status
ekonomi keluarga pada tahun 2019. Data Hasil olah Susenas tahun 2019
menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan pendidikan antar penduduk yang
tinggal di rumah tangga dengan status ekonomi yang berbeda. Semakin tinggi
status ekonomi rumah tangga, semakin tinggi APK pada setiap jenjang pendidikan.
Kesenjangan tersebut juga semakin meningkat seiring meningkatnya jenjang
pendidikan. Kesenjangan yang paling besar terlihat pada jenjang PT kelompok
umur 19-24 tahun, pada Kuintil 1 (status ekonomi rumah tangga terendah) APK PT (Angka
Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi) hanya sebesar 9,58 persen, sedangkan pada
Kuintil 5 (status ekonomi tertinggi) APK PT mencapai 51,28 persen. Hal ini
dijelaskan dengan semakin meningkatnya kebutuhan finansial di bidang pendidikan
seiring meningkatnya jenjang pendidikan tersebut (Sumber: BPS, Susenas Maret
2019).
Terlihat
pada penjabaran diatas, nampak jelas bahwa partisipasi terhadap Perguruan
Tinggi atau yang dapat menikmati pendidikan di perguruan tinggi lebih
didominasi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dimana sebagian
besar bahkan hampir seluruhnya memiliki strata sosial atas atau pendapatan yang
tinggi, ketimbang mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang pendapatannya
hanya cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ini mengisayratkan bahwa
pendidikan khususnya perguruan tinggi hanya dapat dinikmati oleh mereka
golongan menengah (the middle class) hingga
golongan atas (the upper class).
Sedangkan, keinginan mengecap manisnya perguruan tinggi besar, yang juga
didukung oleh persfektif masyarakat bahwa pendidikan merupakan kendaraan menuju
kesuksesan dan menggapai cita-cita. Yang
sekarang menjadi pertanyaan adalah mengapa biaya pendidikan tinggi semakin
meningkat seiring perkembangan zaman?
Meningkatnya
biaya pendidikan tinggi tentu tidak serta merta terjadi tanpa sebab. Begitupun realitas
tentang tidak meratanya distribusi Pendidikan yang terjadi antara masyarakat
pedesaan dan perkotaan, masyarakat golongan bawah dan golongan atas. Pengaruh perdagangan
bebas di era globalisasi sekarang ini menjadi faktor meningkatnya biaya
pendidikan tinggi serta kesenjangan yang terjadi. Perdagangan bebas yang berangkat
dari paham liberalisme. Liberalisme sendiri adalah sebuah paham yang dicetuskan
oleh John Locke sekaligus juga dijuluki sebagai bapak liberalisme dunia.
Menurutnya liberalisme mencakup tiga dasar yakni life (Kehidupan), liberty (kebebasan) dan property (kepemilikan). Menurut Locke negara harus melindungi
kehidupan individu, melindungi barang yang dimiliki seorang individu dan wajib
melindungi kebebasan yang dimiliki individu. Locke menambahkan bahwa selain
melalui negara, cara lain melindungi kebebasan adalah dengan perdagangan bebas.
Adapun perdagangan bebas menurut David Ricardo adalah sistem perdagangan dunia
dimana setiap negara melakukan perdagangan tanpa ada halangan negara, adapun
hubungan antara perdagangan bebas dengan unsur kebebasan karena perdagangan
bebas akan melindungi kebebasan individu untuk bertransaksi dan tanpa campur
tangan pemerintah.
Lantas
apa kaitan antara Perdagangan bebas dengan biaya pendidikan yang semakin
meningkat? Derasnya arus perdagangan bebas semakin tak terbendungkan, ditandai
juga dengan hadirnya lembaga- lembaga perdagangan dunia seperi, WTO (world trade organization) hingga GATS (General Agreement on Trade in Services) sebagai organisasi dengan
tujuan agar negara-negara berkembang bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi. Hadirnya WTO dan perjanjian GATS semakin memperlancar
penyebaran dan praktik-praktik liberalisasi dengan cara mendorong negara-negara
yang termasuk dalam WTO untuk melakukan liberalisasi hingga deregulasi dan ini
merembes pada sektor pendidikan tinggi Indonesia.
Sebagai
bentuk kesungguhan dan komitmen Indonesia menjadi anggota WTO diwujudkan dengan
kesiapannya menandatangani perjanjian GATS, dan diwajibkan untuk meratifikasi
keikutsertaanya, maka Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization yang ditandatangani oleh Presiden
Soeharto. Selain sebagi bentuk legalitas akan keikutsertaannya undang-undang
ini juga berfungsi meliberalkan beberapa sektor jasa dan ekonomi.
Perjanjian
GATS sendiri adalah sebuah kesepakatan antar negara-negara anggota WTO dan
memiliki kekuatan hukum yang mengatur kesepakatan perdagangan jasa
internasional, perjanjian ini juga meliberalkan dan megatur 12 sektor jasa
termasuk pendidikan, khususnya pendidikan tinggi.
Dalam
meliberalisasi pendidikan tinggi, pemerintah Indonesia tentu harus menggunakan
dasar hukum perundang-undangan. Melalui kebijakan itu, pemerintah berupaya
melakukan pereduksian subsidi, pemberian otonomi sendiri terhadap perguruan
tinggi, dan melakukan pembebanan dana pendidikan tinggi kepada masyarakat.
Skema
liberalisasi pendidikan ini lahir tentu bukan sebuah reaksi spontan dari
perguruan-perguan tinggi Indonesia terhadap arus perdagangan bebas. Sebuah
literatur menjalaskan bahwa skema ini diciptakan oleh lembaga-lembaga yang
menjadi pilar neoliberalisme yaitu IMF, Bank Dunia, dan WTO dengan peranannya
masing-masing. WTO berperan untuk mengubah konsepsi pendidikan yang tadinya
barang publik (hak warga negara) menjadi barang privat berupa jasa yang
diliberalisasikan. IMF berperan untuk mendorong negara agar menerapkan politik
pengetatan anggaran (austerity) terutama mengurangi subsidi publik
termasuk anggaran untuk pendidikan. Sedangkan Bank Dunia berperan untuk
mendanai proyek-proyek bagi pemerintah dan perguruan tinggi untuk menjalankan
skema liberalisasi seperti lahirnya sistem akreditasi, UU BHP, dan UU Dikti.
Pada
tahun 1999 Indonesia mengalami Krisis Moneter akibat dari kerusuhan yang
terjadi pada tahun 1998. Untuk mengatasi dan mengembalikan kondisi ekonomi maka
Indonesi di era Presiden B.J Habibie meminta bantuan pada IMF (International Monetary Fund) atau Dana
Moneter Internasional. IMF pun mensyaratkan kepada Pemerintah Indonesia untuk
segera meliberalisasi bidang jasa, salah satunya pendidikan. Disinilah awal
mula liberalisasi jasa pendidikan, utamanya pendidikan tinggi. Oleh karena itu,
pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1999 tentang
Pendidikan Tinggi. Dalam undang-undang tersebut pemerintah di BAB XII mengatur
persoalan Pembiayaan dan pada pasal 114 ayat 3 yang menghasilkan aturan bahwa
sebagian pendanaan pendidikan tinggi dibebankan kepada masyarakat. Seperti:
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), biaya seleksi masuk perguruan tinggi,
hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi, hasil
penjualan produk dari penyelenggaraan pendidikan tinggi, sumbangan hibah, dan
penerimaan dari masyarakat lainnya.
Alur
kebijakan akan liberalisasi pendidikan tinggi masih terus berlanjut dengan juga
Disahkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
yang diresmikan pada tanggal 23 Juli 2003. Beberapa pasal dalam undang-undang
tersebut sangat terang-terangngan membebankan pendanaan kepada masyarakat yaitu
pada pasal 24 ayat 3 yang berbunyi. “Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber
dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip
akuntabilitas publik”.
Ayat
tersebut juga dipertegas pada pasal 46 ayat 1 yang berbunyi “Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat”.(Ibid)
Kemudian
pada pasal 50 ayat 6 yang berbunyi “Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya”
Dalam
pasal tersebut mengatakan bahwa pendanaan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah dan masyarakat, namun yang menjadi ketimpangan pada pasal ini
adalah tidak disebutkannya besaran pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan
atau pemerintah, hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan sumber pendanaan.
Semisal perguruan tinggi merasa bantuan yang diberikan oleh pemerintah kurang,
maka dapat memungut pendanaan dari masyarakat semaksimal mungkin. Masyarakat
dalam hal ini tentunya adalah mahasiswa ataupun orang tua wali peserta didik.
Pasal ini semakin menguatkan posisi pemerintah yang seakan melepaskan tanggung
jawabnya terkhusus mendanai perguruaan tinggi yang kemudiaan dibebankan
kebeberapa pihak terutama masyarakat. Ditambah pemerintah memberi kebebasan
terhadap perguruan tinggi untuk menentukan kebijakannya sendiri dan memiliki
otonomi untuk mengelolah pendidikan di lembaga perguruan tinggi.
Otonomi
perguruan tinggi semakin diditekan dengan dikeluarkannya UU No.9 tahun 2009
tentang BHP (Badan Hukum Pendidikan) pada penghujung tahun 2008. Namun, sejak
diberlakukannya, UU BHP mengundang hadirnya gelombang penolakan dari berbagai
golongan masyarakat. Menurutnya, UU BHP merupakan “Pisau bermata dua”. Bisa
merusak kedua sisi bila tidak dugunakan dengan benar dan bijak sesuai dengan
prinsip kemanusiaan dan keadilan. Beberapa dari golongan masyarakat menghakimi
kalau UU BHP hanyalah menciptakan garis pembatas yang secara tidak langsung
melarang yang miskin untuk bisa menikmati bangku perguruan tinggi negeri, tentu
hal ini juga bertentangan dengan janji negara pada pasal 4 ayat 1 UU No.20
tahun 2003 tentang SISDIKNAS, bahwa pendidikan di negeri ini mesti
diselenggarakan dengan prinsip demokratis dan egaliter, dengan kata lain bahwa
pendidikan harus di berikan kepada seluruh rakyat Indonesia, konsekuensinya
adalah negara harus mengakomodasi pendidikan seluruh anak dimanapun dan jenis
apapun.
Walau
UU BHP telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, akan tetapi upaya pemerintah terus
dilakukan untuk melanggengkan hak otonom perguruan tinggi. Tentu upaya
pemerintah meliberalisasi pendidikan tak akan pernah ada habisnya, oleh karena
itu, pemerintah kembali membuat undang-undang, yakni UU no.12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi. Pada undang-undang tersebut, nampak secara gamblang
negara melepaskan dirinya terhadap pembiayaan perguruan tinggi, memberikan
kelonggaran terhadap pemerintah untuk mendanai perguruan tinggi dan membebankan
pembiayaan pada masyarakat. Hal yang dipersoalkan pada UUPT ini tentang badan
hukum pendidikan yang menyajikan otonomi. Pasal 65 diterangkan bahwa pemerintah
memberikan hak istimewa pada PTN badan hukum, di antaranya hak mengelola dana,
mengangkat dosen sendiri, mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi.
Pasal 86, negara memberikan peluang terhadap dunia usaha dan industri untuk
dapat mendanai perguruan tinggi melalui mofasilitas dan insentif. Pasal 88
tentang standar satuan biaya operasional yang sepenuhnya dibebankan oleh
mahasiswa, serta pasal 89 menyatakan bahwa pendanaan perguruan tinggi negeri
badan hukum merupakan subsidi dari pemerintah. Pasal tersebut secara
terang-terangan menyatakan bahwa pemerintah mengatur manajemen pengelolaan
pendidikan tinggi tetapi membebankan dan pendidikan kepada mahasiswa,
masyarakat dan dunia usaha. Namun, jika dicermati lebih dalam, pemerintah
sendiri diberi kelonggaran terkait pembiayaan pendidikan tinggi, di pasal 83
ayat 2 “Pemerintah Daerah dapat memberikan dukungan dana
Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah”. Dengan frase “dapat” maka pembiayaan bersifat opsional bagi
pemerintah. Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah
pembebanan tanggung jawab pembiayaan kepada masyarakat, UUPT berpotensi
menciptakan pembatas bagi mereka yang tidak mampu untuk mengecap perguruan
tinggi.
Terseretnya
pendidikan dalam arus liberalisasi merubah nafas pendidikan itu sendiri yang
secara garis besar adalah upaya untuk memanusiakan manusia, namun hari ini
dengan kondisi pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang berorientasi kepada
pasar, tentu pendidikan bukan lagi proses humanisasi melainkan dehumanisasi
yang berimbas kepada kerugian terhadap manusia. Diberikannya Otonomi terhadap
perguruan tinggi, dapat menciptakan potensi perguran tinggi berbuat sewenang-wenang.
meningkatkan biaya kuliah setiap tahunnya, mematikan demokrasi dalam kampus,
hingga kurikulum yang diatur sesuai kehendak pasar. Perguran tinggi diberikan wewenang untuk
menghapus dan membuat program studi sesuai dengan pasal 65 ayat 3 poin (g) UUPT
no.12 tahun 2012. Alhasil, karena liberalisasi pendidikan semakin ditekan maka
program studi yang tidak sesuai dengan kehendak pasar akan dihapuskan. Marwah
pendidikan tinggi sebagai wadah pengembangan intelektual bertransformasi
menjadi pabrik pencetak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pasar. Dampak lain
dari liberalisasi pendidikan yakni tidak meratanya pendistribusian pendidikan
khususnya perguruan tinggi, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang
berpenghasilan tinggi.
Menelaah liberalisasi pendidikan pada perguruan tinggi sepertinya cukup menjanjikan bagi masa depan perekonomian Indonesia, namun yang tak boleh luput bahwa pengaturan dan regulasi pendidikan tinggi merupakan “pisau bermata dua” yang sebenarnya telah menciptakan luka bagi masyarakat. Pendidikan harusnya menjadi alat untuk menuju kepada kesaran kritis serta dapat mengambil langkah yang berbasis keadilan dan kemanusiaan. Akan tetapi, hal demikian tak dapat tercapai bila pendidikan diarahkan kepada kebutuhan pasar. Pendidikan hari ini semakin menenggelamkan diri pada praktik-praktik yang meminggirkan hak kependidikan bagi masyarakat miskin.
Sumber:
BPS,
Susenas Maret 2019
John
Charvet dan Elisa Kaczynska-Nay, “what is
liberalism?”, Cambridge University Press,2016,hal 2.
Ahmad,
Panji Mulkillah, Memahami Skema
Liberalisasi Pendidikan Tinggi Di Indonesia
undang
undang no 20. Tahun 2003 tentang pendidikan nasional
UU
No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi