Oleh : Indra Nirman
Profil terkait asal usul Syekh Yusuf dalam berbagai naskah Lontara memiliki
banyak kontroversi opini dari berbagai kalangan, khususnya perbedaan pandangan
antara ilmuan dengan masyarakat, dalam hal ini masyarakat Gowa.
Menurut keterangan yang dijelaskan dalam Lontarak Riwaya’na Tuanta Salamaka versi Gowa menyatakan bahwa Syekh Yusuf
adalah anak Nabi I Lerek (Khaidir). Namun, menurut keterangan dalam Lontara Riwaya’na Tuanta Salamaka versi Tallo,
Syekh Yusuf adalah putra dari Sultan Alauddin dan istrinya putri Gallarang
Moncongloe.
Berbicara tentang Syekh Yusuf tidaklah lagi asing ditelinga kita. Beliau
adalah seorang ilmuwan, sufi, penulis dan komandan pertempuran abad ke-17. Namun,
tidak bisa dipungkiri bagi masyarakat Sulawesi Selatan khususnya, sosok seorang
Syekh Yusuf belum banyak diketahui secara detail. Kita hanya bisa mendengar
dari cerita–cerita rakyat yang berkembang karena pada dasarnya hampir separuh
umur beliau itu dihabiskan untuk memperdalam ilmu pengetahuan baik dibidang
politik maupun di bidang pengetahuan keagamaan.
Syekh Yusuf dikenal memiliki reputasi yang mendunia mengenai penyebaran
ajaran-ajaran penyucian jiwa dan batin. Ajaran tersebut menganggap bahwa
kehidupan di dunia ini bukanlah harus ditinggalkan melainkan hidup ini harus
dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Penyebaran ajaran tersebut tak hanya di tanah
Bugis, tetapi juga di perkumpulan masyarakat Islam Afrika Selatan yang berjuang
mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan paham adanya
perbedaan kulit dan etnis.
Syekh Yusuf semasa kecil dididik dan diajarkan hidup secara Islam karena
sejak agama Islam menjadi pegangan masyarakat di Tanah Bugis, sistem pendidikan
awal anak-anak mereka adalah melalui penyampaian ayat-ayat Al-Quran. Beliau pun
mulai dididik dan diajarkan bahasa Arab, fiqih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan
lainnya sejak dini.
Sebagai seorang putra keluarga bangsawan, beliau berkesempatan mengenyam
pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada salah satu ulama ternama.
Pada usia 15 tahun beliau belajar di Cikoang kepada salah seorang sufi ahli
tasawuf, mistik, guru agama dan da’i yang berkelana yaitu Jalaluddin Al Aidid.
Oleh karena kecemerlangan dan kecerdesan yang beliau miliki semasa mengikuti
pengajian, akhirnya beliau disarankan oleh gurunya untuk meneruskan dan
meningkatkan pelajarannya di Jazirah Arabiah.
Setelah fasih membaca Al-Quran, beliau kemudian dibawa oleh orang tuanya ke
pondok pesantren Bontoala yang di mana terdapat seorang ulama besar, mufti
Haramayn Makah dan Madinah yang bernama As-Syekh Sayyid Ba’Alwi Assegaf bin
Abdullah Al-Allamatuttahir Assegaf. Dia merupakan orang pertama yang membuka
pendidikan agama Islam di Bontoala pada tahun 1635 M.
Pada usia 18 tahun tanggal 22 September 1644 M, Syekh Yusuf memutuskan
berangkat dengan menumpangi kapal Melayu dengan tujuan menuntut dan memperdalam
ilmu-ilmu keislaman di Jazirah Arab terutama di Mekah dan Madinah. Pada masa
itu Mekah dan Madinah adalah pusat pendidikan Islam. Syekh Yusuf pada awalnya
meninggalkan Kerajaan Makassar hanya untuk memperdalam ilmu agama di berbagai
daerah yang ada di Nusantara. Beliau mempunyai banyak guru sehingga akhirnya
beliau memperoleh gelar Syekh. Beliau berangkat ke Mekkah pada 1649 melalui
Banten, lalu ke Aceh dan terus ke Timur Tengah.
Oleh karena jalur pelayaran maritim pada waktu itu mesti melalui laut Jawa
dan transit di Banten, dalam persinggahan kapal inilah ia kemudian berkenalan
dengan para ulama dan tokoh agama serta orang-orang besar di Banten. Di sini ia
bersahabat dengan pangeran Surya, anak dari sultan kerajaan Banten pada masa
itu. Selepas melakukan ibadah haji, beliau kemudian memperdalam ilmu agamanya
dengan berguru pada beberapa orang ulama besar di sana.
Kembali dari Mekkah 1664, terlebih dahulu ia singgah di Kerajaan Makassar.
Tetapi selama berada di Kerajaan Makassar, ia sangat kecewa melihat
perkembangan agama Islam yang melenceng jauh dari ajaran yang semestinya.
Beliau menyarankan kepada penguasa agar ajaran agama Islam ditegakkan dengan
benar, namun tidak dihiraukan. Karena kecewa, ia meninggalkan Kerajaan Makassar
untuk kedua kalinya menuju Banten, yang pada saat itu diperintah oleh Sultan
Ageng Tirtayasa. Ia memilih Banten ketika itu karena agama Islam di daerah ini
telah mengalami perkembangan begitu pesat.
Di Banten Syekh Yusuf aktif menyebarkan ajaran-ajaran yang diperolehnya hingga
diangkat menjadi mufti oleh orang Banten. Pada periode ini kesultanan Banten
menjadi pusat pendidikan agama Islam dan Syekh Yusuf memiliki murid di berbagai
daerah termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekhk Yusuf dalam pengajarannya
kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan
segala bentuknya. Syekh Yusuf menggambarkan bahwa perilaku yang buruk tergambar
dari apa yang diperoleh oleh hawa nafsu terhadap kemewahan yang semata-mata
bersifat sementara dalam kenikmatan dunia.
Di Banten Syekh Yusuf menjadi bagian dari sejarah dan legenda masyarakat
lokal termasuk cerita bahwa ia pernah berada di pihak Banten saat berperang
melawan VOC.
Sekitar tahun 1683, Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul—keduanya
adalah saudara sekaligus ipar Syekh
Yusuf—mengadakan perang gerilya di daerah Tangerang. Dari Tangerang terus ke daerah
Cimuncang, lalu kedaerah Jasinga, dan terus menyusuri sungai Cidurian. Kompeni
kemudian memerintahkan Van Happel untuk mengejar para gerilyawan itu. VOC pada
awalnya kesulitan menghadapi Syekh Yusuf namun mereka kemudian berhasil
menangkap istri dan Asma, putri Syekh Yusuf. Ini menjadikan Syekh Yusuf menjadi
lemah dan dijegal perlawanannya. Dengan membawa Asma, Van Happel yang
berpakaian Islam pergi ke Mandala menemui Syekh Yusuf. Melihat keadaan putrinya
dan bujuk halus Van Happel yang berpura-pura seagama dengannya, Syekh Yusuf
menyerah takluk. Syekh Yusuf pun ditangkap dan dibawa ke Cirebon kemudian
diasingkan ke Sri Langka.
Di Ceylon (Sri Langka) Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam. Walaupun
di pengasingan dia tetap memiliki ratusan murid yang umumnya berasal dari India
Selatan. Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Langka, Syekh Yusuf masih
dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Itu menandakan bahwa
perjuangannya masih terus berlanjut walau di pengasingan. Melalui komunikasi
itu, Belanda menganggap Syekh Yusuf sangat berbahaya. Syekh Yusuf harus kembali
dibuang dan diasingkan.
Akhirnya Syekh Yusuf diasingkan lebih jauh lagi pada tanggal 7 Juli 1693 ketika
usia beliau 68 tahun. Beliau diasingkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan
tepatnya Capt Town. Beliau diasingkan bersama keluarga dan pengikutnya sebanyak
49 orang. Ia tiba di tempat buangannya pada tanggal 2 April 1694. Di Tanjung
Harapan, wilayah tempat tinggalnya kemudian dinamakan Makassar. Beliau tidak
merenungi nasibnya di sini melainkan bangkit dengan cara menyebarkan agama
Islam.
Bukannya memudar, semangat juang dan dakwah Syekh Yusuf semakin membara. Di
Afrika Selatan, beliau aktif menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat
banyak orang datang berguru padanya sehingga hanya dalam waktu singkat muridnya
sudah banyak. Syekh Yusuf kemudian dianggap sebagai peletak dasar kehadiran
umat Islam di Afrika Selatan dan Ceylon. Beliau kemudian ditetapkan sebagai
putra terbaik Afrika oleh mantan presiden Nelson Mandela.
Meskipun Syekh Yusuf hanya kurang lebih enam tahun berada di Tanjung
Harapan untuk mengembangkan agama Islam, tetapi pengaruhnya hingga sekarang
masih dirasakan oleh masyarakat setempat. Beliau menjadi kebanggaan orang-orang
Afrika Selatan, bahkan Presiden Nelson Mandela pernah berkata ketika
penganugerahan gelar Pahlawan Nasional bahwa Syekh Yusuf adalah putra terbaik
Afrika dan kepemimpinannya tidak terlepas dari pengaruh sosok Syekh Yusuf.
Setelah perjuangannya yang hebat ini, Syekh Yusuf akhirnya meninggal dunia
di Cape Town Afrika Selatan pada 23 Mei 1699. Bekas kediamannya di Afrika pun
kini sering dikunjungi oleh umat muslim dari berbagai Negara. Di kalangan
masyarakat muslim Afrika Selatan, Syekh Yusuf dianggap berjasa dalam
menyebarkan agama Islam. Tak hanya itu, dia juga di anggap sebagai pendiri
Komunitas Muslim dan Budaya Melayu di Afrika Selatan.
Saat mendengar kabar meninggalnya Syekh Yusuf waktu itu, raja Gowa mengirim
utusannya ke Afrika Selatan agar bisa membawa pulang jasadnya ke Gowa dengan
alasan Syekh Yusuf berasal dari Gowa dan harus dikembalikan ke Gowa. Permintaan
yang sama dilakukan oleh pihak kerajaan Banten dengan alasan bahwa Syekh Yusuf
lama berjuang di Banten. Sedangkan Ceylon menginginkan juga jasad Syekh Yusuf
dengan alasan bahwa tempat pengungsian pertamanya berada di Ceylon dan istri
terakhirnya juga di sana. Permintaan itu menimbulkan perdebatan yang sengit
terkait jasad Syekh Yusuf.
Namun, pihak Afrika Selatan tetap bertahan dengan alasan Syekh Yusuf
meninggal dunia di Afrika Selatan. Singkat cerita, akhirnya orang Gowa
diberikan potongan rambutnya, orang Banten diberikan potongan kukunya dan orang
Ceylon (Sri Langka) diberikan sorban yang selalu digunakan Syekh Yusuf.
Pada tahun 1995 beliau mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional dan Pejuang
Kemerdekaan oleh presiden Soeharto. Syekh Yusuf—lahir tanggal 03 Juli 1628 di
Gowa Sulawesi Selatan dan wafat 23 Mei 1699 M di Cape Town, Afrika Selatan—adalah
seorang tokoh besar yang memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban Islam
di Nusantara.
Keluasan ilmu pengetahuan yang diperolehnya itu kebanyakan melalui kontak
pembelajaran dengan ulama-ulama semasa perjalanan ke Jazirah Arab. Perjalanan
itu telah membentuk pribadinya sebagai pemikir dan penulis muslim. Pemikirannya
yang diwariskan dibangsa ini adalah sebuah warisan emas bagi bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam.
Editor: Naufal Mahdi
--
Kila
Syahrir, Sejarah Gowa (1669-1799),
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional: Makassar, 2004.
Tika
Zainuddin Dkk, Makassar Tempo Doeloe,
Lembaga Kajian & Penulisan Sejarah Budaya: Sulawesi Selatan, 2013.
Kila
Syahrir, : Pahlawan
Nasional Dua Bangsa Lintas Benua, Balai Pelestarian Nilai Budaya: Makassar, 2018
Mustari Mustafa, Agama
dan Bayang-bayang Etis Syekh Yusuf al-Makassari, PT. LkiS Printing
Cemerlang: Yogyakarta, 2011.
Mattulada, Menyusuri
Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, Bhakti Baru: Makassar, 1982.