Beberapa atau
kebanyakan dari kita tentu memiliki hobi nonton film. Selain menghabiskan waktu
di atas tempat tidur akibat gejala mager (malas gerak), yah berada pada fase I don’t feel like doing anything,
rasanya paket ber-mager ceria kurang komplit tanpa ditemani beberapa wejangan
film. Pada umumnya hal demikian digandrungi pula kebanyakan kaum mager yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Selain serial drama
korea yang menghadirkan polemik halu
dan ke-uwu-an tingkat tinggi di
kalangan generasi kekinian, beberapa film India pun turut ambil andil. Film
India selain populer dengan adegan action
dan percintaan yang biasanya membuat baper kalangan ciwi-ciwi, fenomena adegan “ciuman yang tak pernah sampai” juga
merupakan ciri khas tersendiri dari beberapa serial film India yang tak ayal
berakhir dengan cie-cie.
Kenapa
harus film Korea dan India? Bagaimana dengan film Indonesia?
Pertama, sebenarnya
saya tidak sedang membahas film Korea melainkan film India. Akan tetapi,
sedikit menyoal ekspresi para drakor lovers
yang kadang membuat saya jengkel. Seperti saya bilang di awal polemik halu dan uwu yang bagi saya adalah perkara yang sangat menjengkelkan. Dan
mayoritas yang turut berkontribusi dalam melanggengkan ekspresi tersebut adalah
para drakor lovers yang didominasi
oleh kalangan ciwi-ciwi.
Saya tidak katakan
bahwa pelaku utamanya adalah ciwi-ciwi.
Banyak pula penonton drakor dari kalangan cowo-cowo
yang tidak kalah halu dan uwu dan itu sungguh menjengkelkan. Saya
pikir room inilah yang sangat cocok untuk mengekspresikan kejengkelan saya
terhadap para drakor lovers khususnya
yang berada di lingkungan saya.
Di sini saya bebas
sedangkan di dunia nyata terdapat banyak pertimbangan yang membendung saya
untuk mengekspresikan kejengkelan. Salah duanya adalah ketakutan demi sebatang
rokok. Takutnya jika saya menunjukkan kejengkelan saya di depan para drakor lovers, yang notabenenya adalah teman
dekat saya adalah mereka tega membiarkan saya sendirian ngos-ngosan di pojokan Dilike (baca: warung ngopi di bilangan Makassar-Gowa) dalam kondisi tak merokok dan
sedang kehabisan persediaan bulanan.
Tapi semoga setelah
membaca ini, mereka tidak berubah pikiran. Hehehe.
Kedua, pertanyaan tentang kenapa harus film India yang saya bahas di sini akan
saya jawab di poin terakhir. Kenapa tidak bahas film Indonesia secara saya
lahir di Indonesia dan idealnya kan
harusnya membangga-banggakan film produk negeri sendiri? Saya tidak punya cukup
jawaban untuk itu dan tentu harus berhati-hati menjawab pertanyaan ini.
Indonesia beberapa tarikh akhir-akhir ini tampil dengan wajah yang terlalu
‘sensitif’.
Meskipun baik film Korea,
India maupun Indonesia kesan dan corak halu
turut hadir sepanjang alur cerita akan tetapi di antara ketiganya, film India
acapkali menyajikan kesan yang berbeda. Semangat kritik sosial, pemimpin ideal
dan polemik masyarakat seringkali kita temukan di film-film India. Berikut
deretan film India versi penulis yang menggambarkan fakta di balik adegan khas
“ciuman yang tak pernah sampai” ala film India, terdapat jiwa sosial yang
meronta-ronta:
I. Bajrangi Bhaijaan (2015)
Bajrangi Bhaijaan adalah sebuah film drama komedi
india tahun 2015 yang disutradarai oleh Kabir Khan.
Penulis skenario V. Vijayendra Prasad, film ini diproduksi oleh Salman Khan dan
Rockline Venkatesh. Film ini menghadirkan Salman Khan, Harshaali Malhotra,
Kareena Kapoor dan Nawazuddin Siddiqui sebagai pemeran utama. Film ini telah
dirilis di seluruh dunia pada 17 Juli 2015 saat akhir pekan Idul Fitri.
Bajrangi Bhaijaan telah
menjadi hit terbesar Salman Khan sampai saat ini, memecahkan rekor box office
di India dan luar negeri. Film ini menjadi film India tercepat untuk memperoleh
pendapatan hingga satu miliar rupee pada pasar domestik dan saat ini film kedua
terlaris di India dan film Bollywood terlaris kedua di pasar internasional
(Sumber: wikipedia).
Di balik perjuangan
Bajrangi untuk membawa pulang Munni, si gadis mungil yang bisu, ke orang tuanya
terdapat banyak tantangan yang ia harus hadapi. Mulai dari menginjakkan kaki
pertama kalinya di rumah suci kaum muslim (masjid) sampai harus berhadapan
dengan konflik antar negara. Apa yang dilakukan Bajrangi menunjukkan wujud
kepedulian manusia terhadap sesamanya tanpa memandang agama, suku atau apapun
itu.
Tokoh Bajrangi dalam
film secara tersirat menyapa dan menitipkan pesan kepada kita semua khususnya
para pemimpin. Bagaimana ego agama ditanggalkan demi persoalan kemanusiaan dan
kerelaan menderita demi sebuah tanggung jawab sosial dalam hal ini jiwa alami
seorang manusia yang peduli dan menyayangi sesamanya. Tokoh Bajrangi kian
menekankan bahwa setiap manusia adalah pemimpin akan tetapi tak semuanya
memahami nilai dari seorang pemimpin.
II.
Bharat
Ane Nenu (2018)
Film ini mengisahkan sebuah kota di India yang marak dengan kasus korupsi
dan pelanggaran hukum. Bharat sebagai tokoh utama mendapat kesempatan menjadi
Ketua Menteri (CM). Sepanjang cerita, Bharat menunjukkan prilaku dan sikap
seorang pemimpin ideal. Mulai dari memperbanyak aktivitas di luar kantor
seperti mengunjungi dan berbaur dengan masyarakat sekitar hingga memecat
beberapa anggota parlemen yang selama ini menyalahgunakan jabatan.
Singkat cerita, Bharat tumbuh menjadi pemimpin yang dirindukan dan
disukai oleh masyarakat arus bawah yang ia pimpin. Akan tetapi, sangat tidak
diinginkan kehadirannya oleh beberapa pihak khususnya rival politiknya dan
orang-orang yang selama ini hanya numpang piring makanan di pemerintahan. Bagi
mereka, kehadiran Bharat merupakan sebuah ancaman sehingga dengan segenap
kekuatan, mereka berusaha untuk menyingkirkan Bharat.
“Kebenaran akan selalu tegak”, kalimat tersebut tampaknya menjadi
kekuatan tersendiri bagi Bharat di kursi kepemimpinannya. Semakin orang lain
berusaha menjatuhkannya maka semakin kuat pula lah ia bertahan.
Di akhir film, dalam pidatonya Bharat menitipkan sebuah pesan bagaimana
seorang pemimpin layak dikatakan pemimpin. “Kualitas seorang pemimpin adalah
mampu memimpin dan mengorganisir orang-orang yang tidak butuh pemimpin bukan
sebaliknya”. Refleksi pesan dalam film tersebut tentu bukan hanya dialamatkan
kepada pemimpin India saja melainkan kepada seluruh pemimpin di seluruh dunia
termasuk Indonesia.
III.
Satyameva
Jayate (2018)
Film garapan sutradara Milap Milan Zaveri ini sudah pernah saya ulas
sebelumnya dari perspektif pendidikan tinggi. Film ini sedikit memiliki kesamaan alur cerita
dengan Bharat Ane Nenu (2018) dari segi penokohan dan polemik dalam film.
Satyameva Jayate (2018) dengan latar dinamika kehidupan aparat kepolisian
mencoba memberikan perspektif baru tentang dunia kepolisian.
Film ini mengisahkan seorang polisi ideal yang patuh pada semboyan
nasional India, Satyameva Jayate atau “Hanya Kebenaran Yang Berjaya” namun
harus bernasib kurang beruntung. Ia dituduh oleh koleganya di kepolisian
sebagai koruptor padahal sepanjang hidupnya di kepolisian ia sama sekali tidak
pernah melakukan tindakan demikian.
Ia menampik tudingan tersebut dan untuk lebih membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindakan seperti yang dialamatkan padanya, ia rela membakar diri di
hadapan bendera India di halaman rumahnya dan di depan para masyarakat. Secara
tersirat, apa yang dilakukan sang polisi tersebut memberikan pelajaran besar
kepada kita semua bahwa kejujuran dalam memimpin merupakan hal yang paling
utama dan tak bisa diukur dengan angka.
Meskipun ketiga film di atas berasal dari negara India akan tetapi
terdapat banyak hal yang patut dijadikan pelajaran khususnya untuk para
pemimpin negara tanpa terkecuali di Indonesia. Sebenarnya, kita tidak sedang
krisis kepemimpinan dari segi narasi akan tetapi dari segi aksi dengan berat
hati kita harus akui.
Hal demikian tentu terekam dengan bijak melalui fenomena keseharian kita
yang sibuk menata wajah negeri ke depannya namun luput memperbaiki make up anak bangsa yang masih sangat blepotan. Jika seandainya negeri ini
adalah manusia kekinian maka tentu ia akan ikut mempopulerkan lagu Rossa yang
dijadikan soundtrack FTV di salah satu stasiun tivi, “ku menangis membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku.......”
*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Konel.id
*Salah satu esai dalam buku Bangku Depan: Kumpulan Suara Terbungkam di Ruang Kuliah