Iklan

Deretan Film India Dengan Semangat Sosial Yang Meronta-ronta

Askar Nur
23 June 2021
Last Updated 2021-06-23T15:36:20Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
https://www.instagram.com/p/CFCE5zYpJsH/?utm_medium=copy_link
Ilustrasi: konel.id


Beberapa atau kebanyakan dari kita tentu memiliki hobi nonton film. Selain menghabiskan waktu di atas tempat tidur akibat gejala mager (malas gerak), yah berada pada fase I don’t feel like doing anything, rasanya paket ber-mager ceria kurang komplit tanpa ditemani beberapa wejangan film. Pada umumnya hal demikian digandrungi pula kebanyakan kaum mager yang tersebar di seluruh Indonesia.


Selain serial drama korea yang menghadirkan polemik halu dan ke-uwu-an tingkat tinggi di kalangan generasi kekinian, beberapa film India pun turut ambil andil. Film India selain populer dengan adegan action dan percintaan yang biasanya membuat baper kalangan ciwi-ciwi, fenomena adegan “ciuman yang tak pernah sampai” juga merupakan ciri khas tersendiri dari beberapa serial film India yang tak ayal berakhir dengan cie-cie.


Kenapa harus film Korea dan India? Bagaimana dengan film Indonesia?


Pertama, sebenarnya saya tidak sedang membahas film Korea melainkan film India. Akan tetapi, sedikit menyoal ekspresi para drakor lovers yang kadang membuat saya jengkel. Seperti saya bilang di awal polemik halu dan uwu yang bagi saya adalah perkara yang sangat menjengkelkan. Dan mayoritas yang turut berkontribusi dalam melanggengkan ekspresi tersebut adalah para drakor lovers yang didominasi oleh kalangan ciwi-ciwi.


Saya tidak katakan bahwa pelaku utamanya adalah ciwi-ciwi. Banyak pula penonton drakor dari kalangan cowo-cowo yang tidak kalah halu dan uwu dan itu sungguh menjengkelkan. Saya pikir room inilah yang sangat cocok untuk mengekspresikan kejengkelan saya terhadap para drakor lovers khususnya yang berada di lingkungan saya.


Di sini saya bebas sedangkan di dunia nyata terdapat banyak pertimbangan yang membendung saya untuk mengekspresikan kejengkelan. Salah duanya adalah ketakutan demi sebatang rokok. Takutnya jika saya menunjukkan kejengkelan saya di depan para drakor lovers, yang notabenenya adalah teman dekat saya adalah mereka tega membiarkan saya sendirian ngos-ngosan di pojokan Dilike (baca: warung ngopi di bilangan Makassar-Gowa) dalam kondisi tak merokok dan sedang kehabisan persediaan bulanan.


Tapi semoga setelah membaca ini, mereka tidak berubah pikiran. Hehehe. Kedua, pertanyaan tentang kenapa harus film India yang saya bahas di sini akan saya jawab di poin terakhir. Kenapa tidak bahas film Indonesia secara saya lahir di Indonesia dan idealnya kan harusnya membangga-banggakan film produk negeri sendiri? Saya tidak punya cukup jawaban untuk itu dan tentu harus berhati-hati menjawab pertanyaan ini. Indonesia beberapa tarikh akhir-akhir ini tampil dengan wajah yang terlalu ‘sensitif’.


Meskipun baik film Korea, India maupun Indonesia kesan dan corak halu turut hadir sepanjang alur cerita akan tetapi di antara ketiganya, film India acapkali menyajikan kesan yang berbeda. Semangat kritik sosial, pemimpin ideal dan polemik masyarakat seringkali kita temukan di film-film India. Berikut deretan film India versi penulis yang menggambarkan fakta di balik adegan khas “ciuman yang tak pernah sampai” ala film India, terdapat jiwa sosial yang meronta-ronta:


       I.            Bajrangi Bhaijaan (2015)


Bajrangi Bhaijaan adalah sebuah film drama komedi india tahun 2015 yang disutradarai oleh Kabir Khan. Penulis skenario V. Vijayendra Prasad, film ini diproduksi oleh Salman Khan dan Rockline Venkatesh. Film ini menghadirkan Salman Khan, Harshaali Malhotra, Kareena Kapoor dan Nawazuddin Siddiqui sebagai pemeran utama. Film ini telah dirilis di seluruh dunia pada 17 Juli 2015 saat akhir pekan Idul Fitri.


Bajrangi Bhaijaan telah menjadi hit terbesar Salman Khan sampai saat ini, memecahkan rekor box office di India dan luar negeri. Film ini menjadi film India tercepat untuk memperoleh pendapatan hingga satu miliar rupee pada pasar domestik dan saat ini film kedua terlaris di India dan film Bollywood terlaris kedua di pasar internasional (Sumber: wikipedia).


Di balik perjuangan Bajrangi untuk membawa pulang Munni, si gadis mungil yang bisu, ke orang tuanya terdapat banyak tantangan yang ia harus hadapi. Mulai dari menginjakkan kaki pertama kalinya di rumah suci kaum muslim (masjid) sampai harus berhadapan dengan konflik antar negara. Apa yang dilakukan Bajrangi menunjukkan wujud kepedulian manusia terhadap sesamanya tanpa memandang agama, suku atau apapun itu.


Tokoh Bajrangi dalam film secara tersirat menyapa dan menitipkan pesan kepada kita semua khususnya para pemimpin. Bagaimana ego agama ditanggalkan demi persoalan kemanusiaan dan kerelaan menderita demi sebuah tanggung jawab sosial dalam hal ini jiwa alami seorang manusia yang peduli dan menyayangi sesamanya. Tokoh Bajrangi kian menekankan bahwa setiap manusia adalah pemimpin akan tetapi tak semuanya memahami nilai dari seorang pemimpin.


    II.            Bharat Ane Nenu (2018)


Film ini mengisahkan sebuah kota di India yang marak dengan kasus korupsi dan pelanggaran hukum. Bharat sebagai tokoh utama mendapat kesempatan menjadi Ketua Menteri (CM). Sepanjang cerita, Bharat menunjukkan prilaku dan sikap seorang pemimpin ideal. Mulai dari memperbanyak aktivitas di luar kantor seperti mengunjungi dan berbaur dengan masyarakat sekitar hingga memecat beberapa anggota parlemen yang selama ini menyalahgunakan jabatan.


Singkat cerita, Bharat tumbuh menjadi pemimpin yang dirindukan dan disukai oleh masyarakat arus bawah yang ia pimpin. Akan tetapi, sangat tidak diinginkan kehadirannya oleh beberapa pihak khususnya rival politiknya dan orang-orang yang selama ini hanya numpang piring makanan di pemerintahan. Bagi mereka, kehadiran Bharat merupakan sebuah ancaman sehingga dengan segenap kekuatan, mereka berusaha untuk menyingkirkan Bharat.


“Kebenaran akan selalu tegak”, kalimat tersebut tampaknya menjadi kekuatan tersendiri bagi Bharat di kursi kepemimpinannya. Semakin orang lain berusaha menjatuhkannya maka semakin kuat pula lah ia bertahan.


Di akhir film, dalam pidatonya Bharat menitipkan sebuah pesan bagaimana seorang pemimpin layak dikatakan pemimpin. “Kualitas seorang pemimpin adalah mampu memimpin dan mengorganisir orang-orang yang tidak butuh pemimpin bukan sebaliknya”. Refleksi pesan dalam film tersebut tentu bukan hanya dialamatkan kepada pemimpin India saja melainkan kepada seluruh pemimpin di seluruh dunia termasuk Indonesia.


 III.            Satyameva Jayate (2018)


Film garapan sutradara ‎Milap Milan Zaveri ini sudah pernah saya ulas sebelumnya dari perspektif pendidikan tinggi. Film ini sedikit memiliki kesamaan alur cerita dengan Bharat Ane Nenu (2018) dari segi penokohan dan polemik dalam film. Satyameva Jayate (2018) dengan latar dinamika kehidupan aparat kepolisian mencoba memberikan perspektif baru tentang dunia kepolisian.


Film ini mengisahkan seorang polisi ideal yang patuh pada semboyan nasional India, Satyameva Jayate atau “Hanya Kebenaran Yang Berjaya” namun harus bernasib kurang beruntung. Ia dituduh oleh koleganya di kepolisian sebagai koruptor padahal sepanjang hidupnya di kepolisian ia sama sekali tidak pernah melakukan tindakan demikian.


Ia menampik tudingan tersebut dan untuk lebih membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakan seperti yang dialamatkan padanya, ia rela membakar diri di hadapan bendera India di halaman rumahnya dan di depan para masyarakat. Secara tersirat, apa yang dilakukan sang polisi tersebut memberikan pelajaran besar kepada kita semua bahwa kejujuran dalam memimpin merupakan hal yang paling utama dan tak bisa diukur dengan angka.


Meskipun ketiga film di atas berasal dari negara India akan tetapi terdapat banyak hal yang patut dijadikan pelajaran khususnya untuk para pemimpin negara tanpa terkecuali di Indonesia. Sebenarnya, kita tidak sedang krisis kepemimpinan dari segi narasi akan tetapi dari segi aksi dengan berat hati kita harus akui.


Hal demikian tentu terekam dengan bijak melalui fenomena keseharian kita yang sibuk menata wajah negeri ke depannya namun luput memperbaiki make up anak bangsa yang masih sangat blepotan. Jika seandainya negeri ini adalah manusia kekinian maka tentu ia akan ikut mempopulerkan lagu Rossa yang dijadikan soundtrack FTV di salah satu stasiun tivi, “ku menangis membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku.......”


*Tulisan ini sebelumnya dimuat di Konel.id

*Salah satu esai dalam buku Bangku Depan: Kumpulan Suara Terbungkam di Ruang Kuliah

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl