Iklan

The Voyage To Marege (Pencari Teripang dari Makassar di Australia)

Lapmi Ukkiri
28 May 2021
Last Updated 2021-05-28T02:39:21Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

 

 

Oleh: Indra Nirman


Pendahuluan

Industri modern pertama Australia adalah teripang. Usaha ini pertama kali dilakukan oleh para Muslim berkulit cokelat di sebuah perairan yang masih merupakan salah satu daerah paling terisolasi di dunia. Semua sumber menyebutkan bahwa Makassar merupakan tempat asal semua dari perahu perahu yang datang ke pesisir Northern Territory, Australia.Hasil rampungan survey mengenai Teluk Carpentaria dan tengah mengitari Tanjung Wilberforce, ujung paling utara Arnhem Land, saat bertemu dengan enam perahu layar dari Makassar, Sulawesi Selatan.


Mereka merupakan bagian dari sebuah armada yang setiap tahun melakukan pelayaran jauh dari tempat tinggal mereka yang berada ditengah tengah wilayah yang saat ini bernama Indonesia. Untuk mengumpulkan teripang dari sepanjang perairan Australia, Teripang yang telah dikeringkan merupakan barang dagangan yang laris di seluruh daratan utara Asia.


Teripang digunakan sebagai bahan makanan yang sangat mahal di Tiongkok (Matthew Flinders,1803). Ukuran, stabilitas, dan kecanggihan industri ini dapat dikatakan menakjubkan. Industri teripang dimulai sekitar tahun 1700 M dan tetap bertahan hingga tahun tahun pertama pada abad ke-20.


Pada hampir sepanjang abad ke-19 dan kemungkinan juga pada seratus tahun sebelumnya, sekitar seribu pelaut melakukan pelayaran yang jauh setiap tahunnya meski banyak di antara mereka yang berwatak kasar dan selalu siap siaga sebagaimana dituntut oleh tantangan kerja.


Para pencari teripang Makassar yang bekerja di sepanjang perairan Northern Territory yang mereka kenal dengan nama Marege’ sebenarnya mengetahui adanya aktivitas yang sama yang dilakukan di Pantai Kimberley, Australia Barat. Tentu saja, wilayah yang mereka namakan “Kayu Jawa” itu mungkin telah pula dikunjungi oleh beberapa dari orang orang tersebut pada tahun yang lain.


Walau demikian, sejarah industri teripang yang ada Australia Barat berbeda dengan yang ada di Northern Territory, sehingga penggunaan istilah ‘orang Makassar’ di bagian Barat Australia mungkin akan menimbulkan kebingungan.



 

Permulaan Industri dan Konteks Industri


Satu di antara faktor yang sangat penting dalam sejarah kepulauan Asia Tenggara adalah adanya permintaan dari pasar yang berlokasi sangat jauh akan hasil alam yang hanya ada atau paling banyak ditemukan di wilayah tersebut. Berbagai macam kekayaan alam yang sejak lama di incar oleh para orang kaya dan berkuasa di beberapa kerajaan besar di daratan Asia maupun oleh orang orang Eropa barat yang berada jauh di seberang sana. Permintaan orang Tiongkok akan teripang hanya satu dari sekian banyak aspek dari perdagangan kuno dan beragam ini.


Teripang merupakan nama yang paling sering digunakan untuk menyebut sejumlah spesies dari kelas holuthuroidea yang dapat dimakan. Istilah teripang berasal dari bahasa melayu (sekarang bahasa Indonesia) yang sejak lama diserap kedalam bahasa Inggris menjadi trepang, dan berbagai macam penamaan terhadap jenis hewan ini yang tergantung pada Negara yang mengkonsumsinya.


Walau terdapat banyak ditemukan disemua laut di dunia, sebagian diantaranya ditemukan dipesisir pantai pasang surut dan pantrai karang, serta sebagian lainnya terdapat di dasar lautan dalam. Pada tahun1903, orang Makassar memperlihatkan kepada Matthew jenis teripang hitam yang disebut teripang batu dan beberapa banyak lagi jenis jenis teripang yang ditemukan diperairan lautan.


Walau ada beberapa referensi yang menyebutkan tentang pengumpulan dan pengolahan teripang dihampir seluruh wilayah kepulauan Asia Tenggara, namun pelabuhan laut Makassar yang secara khusus dikaitkan dengan industri teripang. Salah satu alas an akan hal inidapat ditemukan dalam sejarah Sulawesi Selatan dan penduduknya.


Pengetahuan kita tentang periode sebelum 1600 sangat terbatas, terdapat indikasi yang menunjukkan adanya tradisi kemaritiman dan perdagangan yang berusia sangat tua diwilayah tersebut. Hasil laut dan hutan, meski bukan teripang, telah dibawa kepusat pusat perdagangan di bagian barat Nusantara dan setidaknya sebagian diantara barang dagangan tersebut diangkut dengan menggunakan perahu setempat.


Penting untuk menyatakan pertanyaan dengan akurat: kapankah perahu perahu dari Makassar mulai berkunjung kepantai Northern Territory, Australia dengan tujuan mengumpulkan teripang? Masalah seperti orang non-Aborijin pertama yang menemukan benua tersebut atau frekuensi dan sifat pelayaran terombang ambing melintasi Laut Arafura ada pula hubungannya, namun berbeda.


Sebuah persepektif berguna diperoleh dengan dengan mempertimbangkan beberapa pandangan terdahulu tentang pertanyaan tersebut. Pada 1803 Pobassoo mengatakan bahwa dia telah melakukan enam atau tujuh kali pelayaran dari Makassar ke pantai tersebut, dalam kurun waktu 20 tahun sebelumnya, dan dia adalah seseorang di antara pengunjug pertama.


Beberapa etnografer lainnya telah menawarkan jawaban atas pertanyaan tersebut, berdasarkan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan pengaruh yang dapat di observasi dari persentuhan antara orang Makassar dengan masyarakat Aborijin. Thomson menekankan sifat dasar masyarakat Aborijin yang sangat konsevatif dan luasnya lingkup pengaruh orang Makassar. Dia menyimpulkan bahwa  meski tidak ada bukti konklusif mengenai kapan kunjugan tersebut dimulai, namun cukup beralasan untuk mempercayai bahwa hal itu terjadi sejak periode yang relative lama.


Bukti yang paling mendasar terkait asal usul industri teripang orang Makassar adalah hubungannya dengan permintaan teripang di Tiongkok. Konsumsi teripang paling awal dari orang Tiongkok dari berbagai wilayah hanya bertarikh abad ke-16, dan perdagangan lewat impor dari Asia Tenggara tidak dimulai sebelum akhir abad ke-17.


Tampaknya tidak mungkin bahwa pantai Australia termasuk yang paling awaldi ekspoitasi. Pertimbangan tersebut memberikan bukti yang sangat kuat yang berlawanan dengan dugaan tentang kedatangan orang Makassar di Australia sebelum, katakanlah 1650 M dan setiap upaya untuk menetapkan penanggalan yang lebih awal dari itu mengenai permulaan industri teripang harus dapat menjelaskan kemana tujuan akhir teripang tersebut dipasarkan.


(C.C Macknight,1976) berpendapat bahwa perahu dari Makassar mulai berkunjung ke bagian utara Australia untuk mengumpulkan teripang didasarkan pada bukti yang telah di kemukakan sejauh ini. Industr teripang orang Makassar pasti telah dimulai antara tahun 1650-1750 Masehi dan saya yakin bahwa periode yang sangat mungkin dalam abad tersebut adalah kuartal terakhir abad ke tujuh belas. Meski demikian, boleh jadi industri tersebut telah dimulai secara kecil kecilan, tidak teratur, dan sembunyi sembunyi.


Industri teripang yang digambarkan berkembang pesat dan besar dalam sumber sumber dari awal abad kesembilan belas mungkin merupakan hasil perkembangan industri tersebut secara bertahap. Namun, bukti bukti tertulis langsung dari kepulauan Asia Tenggara mempertegas periode  abad ke-17 sebagai masa perkembangan industry teripang di wilayah tersebut.


Teripang tidak disinggung-singgung dalam satupun karya besar dan mendetail terkait perdagangan pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Beberapa sumber, terutama karya karya Pires dan Eredia, membuat informasi yang sangat lengkap tentang perdagangan sehingga hampir tidak mungkin untuk menghilangkan dengan sengaja informasi tentang barang dagangan utama yang ada pada masa itu tidak hanya berlaku bagi beberapa barang dagangan yang terkait khusus dengan bangsa Eropa, namun juga seluruh aspek dalam perdagangan, termasuk perdagangan Tiongkok yang berkembang pada banyak komoditas.


Pernyataan itu bersesuai dengan konteks pengalaman sejarah orang Makassar. Meski penguasa maritime awal abad ke-17 telah berlalu, namun bahkan hingga abad berikutnya jiwa kemaritiman mereka tetap cukup kuat untuk mengambil keuntungan sepenuhnya dari peluang yang ditawarkan oleh selera makan orang Tiongkok.


Pendekatan lain untuk pertanyaan atas seberapa pentingnya industri orang Makassar adalah dengan melihat volume teripang yang di impor oleh Tiongkok, yang merupakan daerah tujuan utama dari hasil industri tersebut. Informasi lengkap terkait ini sangat sulit diperoleh, namun ada seperangkat data yang tampaknya dapat di andalkan untuk tahun 1868-72.


Impor tahunan rata rata dari kelima tahun ini adalah lebih dari 900 ton dari kapal kapal asing. Didalam angka tersebut perlu pula dimasukkan jumlah yang dibawah dengan armada armada Tiongkok. Satu satunya angka tahunan adalah untuk tahun 1871 tatkala produksinya mencapai lebih dari 500 ton.


Tidak jelas bagaimana teripang dari Makassar dikirim ke Tiongkok pada masa ini. Jika statistik itu mendekati angka yang sebenarnya, hal tersebut berarti bahwa pada sekitar pertengahan abad ke-19, pesisir Utara Australia menyuplai jumlah yang signifikan dari keseluruhan pasokan teripang Tiongkok.


Dari mana kebutuhan pasar teripang Tiongkok lainnya dipenuhi? Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kebutuhan itu dipenuhi oleh produksi dari berbagai pulau lain di Asia Tenggara, dengan tambahan yang cukup besar yang mungkin berasal dari Jepang. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengembangkan industri teripang dihampir setiap daerah di kawasan tropis dan wilayah yang lebih jauh lagi, namun sumber pasokan tradisional ini telah menyuplai sebagian besar kebutuhan dunia akan teripang hingga hari ini.


 

Orang Marege’


Orang- orang Makassar menganggap pelayaran ke wilayah utara Australia sebagai pelayaran yang panjang dan penuh petualangan. Bukan hanya lantara Marege’ merupakan tempat paling jauh yang dikunjungi di sebelah selatan dan timur Makassar, tetapi juga lantaran banyaknya perbedaan antara hamparan luas daratan luas itu dengan pulau pulau yang mereka sangat kenal Nusantara. Diantara pengalaman baru dan mungkin pula bahaya yang mereka temukan di pesisir itu adalah penduduk setempat.


Cara cara yang digunakan orang Makassar untuk berinteraksi orang Aborijin sama beragamnya dengan cara yang digunakan orang orang Eropa pada masa itu. Pengalaman dan lingkungan yang berbeda serta kemungkinan kepribadian yang berbeda pula membangkitkan rasa iba, jijik dan takut, atau penerimaan dan patronasi yang dilakukan secara hati hati.


Bagi orang Makassar, hal itu adalah soal peradaban berhadapan dengan kehidupan primitif. Pobassoo, dengan mengutip Flinders yang dianggapnya sesama perwakilan dari dunia yang lebih luas, memperingatkannya agar berhati-hati terhadap penduduk asli dan menceritakan kisah tentang konflik yang terjadi dengan mereka.


Bila itu adalah kesaksian pengalaman, maka deskripsi belakangan orang Makassar yang menggambarkan orang Aborijin sebagai ‘kanibal’ atau orang hutan terdengar seperti pelecehan yang tidak asing lagi. Sebaliknya ada pula orang Makassar yang justru dapat memberi respon berbeda terhadap sesuatu yang tidak mereka kenal itu, yakni dengan melakukan pengamatan.


Bertahun-tahun setelah pelayaran terakhir ke Australia, Daeng Sarro masih tetap bisa mengingat sesuatu tentang Bahasa orang Aborijin dan cara hidup mereka. Sementara itu Mangngellai juga dapat mengingat beberapa kata dari sebuah Bahasa di bagian timur  laut Arnhem Land dan dapat menggambarkan dengan sangat jelas pada tata letak sebuah pemondokan orang Aborijin ditepi pantai pada musim kemarau.


Dia mencatat bahwa ketika pondok pengasapan sedang digunakan orang Aborijin lebih senang menghangatkan diri di sana dibanding didekat api unggun. Catatnnya tentang upacara upacara orang Aborijin yang terbatas pada kalangan orang tua dan pada permintaan doa ke arah satu bintang pada saat fajar, dan penggunaan genderang yang terbuat dari sebatang pohon besar yang dilubangi tengahnya, secara meyakinkan dapat dikenali sebagai ingatan yang benar tentang Arnhem Land.


Ada dua perbedaan penting antara cara orang Makassar menghadapi orang Aborijin dengan cara sebagian besar orang Eropa berhadapan dengan orang Aborijin. Betapapun tidak pastinya mungkin perasaan orang Makassar ketika berhadapan dengan penduduk setempat, namun mereka biasanya selalu unggul dalamhal jumlah. Hal itu tetap berlaku meskipun awak perahu mereka hanya berjumlah berkisar 30 orang dan keunggulan jumlah itu bahkan semakin tampak lagi jika beberapa perahu sekaligus bekerja sama.


Pada satu kesempatan, secara pasti dapat disebutkan jumlah awak yang terlibat. Di teluk Rafles pada 1839 seorang pengamat berkebangsaan Francis menyaksikan 27 orang Aborijin bertemu 4 perahu dimana satu perahu saja mengangkut 37 orang Makassar. Tiga perahu lain singgah sebentar ke Teluk tersebut pada saat itu dan 20 perahu lain-nya belum lama meninggalkan teluk.


Hal mungkin lebih penting dikemukakan adalah bahwa orang Makassar sama sekali tidak bergantung pada orang Aborijin dalam hal tenaga kerja, pemanduan, bahkan dalam hal izin untuk melakukan pekerjaan. Mereka memiliki sumber daya yang cukup dan bila perlu mereka memiliki pertahanan diri yang cukup untuk menjalankan industri mereka tanpa bantuan penduduk setempat.


Tentu saja ada untungnya menjalin hubungan bersahabat dengan penduduk setempat, namun hal itu bukanlah syarat nutlak. Pertimbangan seperti itu harus senangtiasa diingat pada saat memandang contoh hubungan orang Makassar dengan Aborijin. Ada beberapa cara dimana kontak di antara mereka dijalanan.


Yang paling penting setidaknya dari sudut pandang orang Makassar, adalah dalam bentuk dagang. Meski tujuan utama pelayaran mereka adalah mengumpulkan teripang. Penekanan yang diberikan dalam catatan orang Aborijin baru baru ini tentang posisi barang barang yang diperoleh dari orang Makassar mengilustrasikan bahwa barang barang tersebut dianggap memiliki gengsi tersendiri. Kesulitan yang sama muncul tatkala orang Makassar harus harus mengupah orang Aborijin dalam berbagai macam tugas yang dilakukan dalam pengumpulan teripang.


Sulit untuk menyimpulkan pengaruh orang Makassar terhadap orang Aborijin akibat persentuhan diantara mereka. Meski pengaruh tersebut menyebar luas dalam aspek tertentu dalam kehidupan orang Aborijin, namun landasan utama masyarakat tidak tersentuh.


Ketika membandingkan hasil seperti itu dengan perubahan yang membinasakan kerap dihasilkan oleh masyarakat peramu-pemburu sebagai akibat dari persentuhan mereka dengan kebudayaan luar karena perlu di ingat bahwa tidak adanya kompetisi antara orang Makassar dengan orang Aborijin. Juga tidak ada bukti sama sekali bahwa mereka berupaya memaksakan agama mereka atau paham lainnya kepada penduduk setempat.


Jika orang orang Makassar tidak memiliki alasan untuk memaksakan peradaban kepada orang Aborijin, maka orang Marege pada gilirannya tertunda menikmati gemerlap kilauan hadiah dengan berpayah-payah turut berpartisipasi penuh. Hanya satu bagian kecil kebudayaan Makassar yang menjadi bukti adalah  perahu tersebut.  


Tidak ada jalan lain untuk mencapai Makassar selain memanfaatkan kesempatan terbatas untuk ikut berlayar di atas perahu mereka. Itu adalah contoh yang tidak lazim tentang persentuhan antar-kebudayaan yang sangat berbeda.


 

Senjakala Industri Teripang


Tatkala South Australia menganeksasi Northen Territory pada 1863, baik kekayaan laut maupun prospek perdagangan dengan orang Makassar tidak termasuk dalam pertimbangan bagi mereka yang mendukung pencaplokan wilayah utara tersebut. Satu hal kecil yang tidak nyata dikaitkan dengan pemukiman adalah kekhawatiran terhadap serangan dari orang orang Makassar.


Perhatian serius pertama orang South Australia terhadap orang Makassar muncul ketika kapten B. R Douglas, di Northern Territory berkunjung ke semenanjung Cobourg pada 1871. Kunjungan ini menciptakan kesadaran akan potensi industri teripang harus dipandang berdasarkan hal-hal yang terjadi di sepanjang pesisir pantai yang terbatas.


Pada 5 Agustus 1872, sekitar setahun setelah kunjungan dan sebelum eksploitasi di kawasan itu dimulai, Douglas menyurat kepada komisioner perwakilan kerajaan di Adelaide meminta sebuah rencana pemberlakuan lisensi bagi orang Makassar. Bila melihat peristiwa belakangan, skema itu memiliki beberapa aspek yang menarik. Kerang mutiara disebut khusus di situ dan termasuk dalam komoditas yang memungkinkan terjadinya kompetisi dengan orang Eropa. Douglas juga merekomendasikan dibuatnya satu surat keputusan tentang larangan ekploitas terhadap orang Aborijin.


Hal yang mungkin signifikan diperhatikan adalah dicoretnya kata “Itu” dan diganti dengan kata “Kita” dalam kalimat ‘orang Aborijin kita’.


Berdasarkan perumusan surat tersebut dapat di ketahui bahwa stimulus yang ampuh dari rencan tersebut adalah kebutuhan pemukiman baru akan sebuah kapal kecil. Douglas memulainya dengan menunjuk permintaan pertama, dan rencana ini didesain untuk menunjukkan kemungkinan manfaat lain kapal kecil tersebut.


Pada waktunya nanti surat pemberian izin yang diperlukan disisipkan kedalam perundang undangan (Undang Undang Agraria Wilayah Utara 28 Tahun 1872, Pasal 79), namun tak ada kapal yang dapat digunakan untuk melaksanakan rencana tersebut. Rencana tersebut kemudian terbengkalai selama satu decade berikutnya, meski perhatian terhadap kepentingan dikawasan itu tetap berlanjut.


Pada 12 Januari 1875, dengan pemerintahan baru dibawah kepemimpinan G. B Scott, kembali membangun rencana tersebut dengan mengklaim telah menghabiskan sekitar 200 poundsterlin untuk mencoba mengumpulkan teripang dan memintai reservasi untuk dua blok kecil serta melanjutkan laporan dengan informasi sebuah kelompok hewan banteng sedang menempati lokasi yang akan ditempati perternakan yang akan disewakan.


Dari semua usaha tersebut hanya Cobourg Cattle Company yang bertahan beberapa saat. Sebagaimana yang diungkapkan Price belakangan saat menjelaskan kegagalan beberapa usaha teripang orang Eropa sebelumnya, ‘teripang yang diolah tidak laku’. Bahkan sekalipun dengan bantuan orang Melayu (mungkin orang Makassar atau warga setempat) karena dengan kualitas yang tidak bagus mungkin karena membutuhkan banyak teripang dan buruh yang akan mengoperasionalkannya.


Pada tahan awal ketika persentuhan dengan orang Makassar sangat sedikit dan ketika perkembangan dikawasan ini masih dalam tahap eksplorasi, sikap resmi dari pemerintah Australia Selatan adalah tidak campur tangan, sebagian dikarenakan tidak adanya jalan yang efektif untuk mengontrol juga karena mereka tidak ingin bertindak tanpa adanya pemahamanyang lengkap tentang keadaan tersebut. Sikap ini di tunjukkan dengan sangat jelas dengan beberapa kasus.


Pemukiman baru di Cabourg atas kehendak sendiri mengangkat diri sendiri sebagai pelindung orang Aborijin setempat. Pada 11 juli 1877 manager Cabourg menulis kepada residen tentang keberatan mereka bahwa orang Makassar telah membinasan dua ekor kuda mereka dan menambahkan bahwa mereka juga telah menyiksa penduduk asli musim ini dan yang mengakibatkan kematian orang kita pada beberapa kejadian. Untuk mengatasi situasi ini, ia mengusulkan untuk menetapkan semacam pajak.


Ketika surat itu diteruskan ke kementerian, residen memaparkan kesulitan-kesulitan mereka menetapkan sebuah pajak. Ia berpendapat bahwa meski pangkalan tidak dilindungi taka da alasan bagi orang Makassar untuk menyulitkan mereka. Dengan kesepakatan para menteri berserta kabinetnya menyampaikan kesulitan mereka menetapkan pajak tersebut dan memberikan saran agar kelakukan buruk orang Makassar dilaporkan ke Komandan kapal perang.


Di tahun tahun berikutnya beberapa penerapat aturan semakin meluncur hanya untuk mengerok kentungan dari orang Makassar. Tak hanya pada aturan biaya perizinan, bea cukai, dan beberapa aturan dalam pengambilan hasil laut pun ikut diatur seperti mutiara, teripang, dan beberapa kerang lainnya serta beberapa aturan penambahan biaya perizinan terhadap bea cukai yang akan memakan biaya hingga dapat melakukan aktivitas di pemukiman tersbut.


Tentunya keuntungan yang diperoleh dari orang orang Makassar menjadi penghasilan Teritorial meski masih ada keuntungan lain yang perlu digali. Kecenderungan usaha tersebut lebih dari dua decade yang merupakan secara keseluruhan satu kemunduran dan perkembangan yang rumit.

 

Penulis Merupakan Kordinator Wilyah VI Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI)

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl