Oleh: Ziyad Rizqi
Film dokumenter dari Transparency
International Indonesia rilis di kanal youtube Watchdoc
Documentary 20 Mei 2021 lalu. Bertajuk ‘Menjaga Anak Kandung
Reformasi’, film tersebut menggambarkan sejauh apa pemerintah melalui institusi
pendidikan mampu menumbuhkan sikap antikorupsi pada generasi baru. Berangkat
dari film tersebut, saya dibuat tertarik dan rasanya ingin mengajukan
pertanyaan—bagi siapapun yang ingin menjawabnya kecuali dan karena KPK sudah
tidak efektif lagi—"mengapa korupsi dari sektor pendidikan jarang di ulik
akhir-akhir ini, padahal pengelolaan ekonomi pendidikan selama pandemi tidak begitu
transparan juga kurang akuntabel, khususnya di perguruan tinggi negeri.”
17 Mei 2016, Indonesia
Corruption Watch (ICW) merilis laporan yang berjudul Tren Penyidikan Kasus Korupsi Sektor Pendidikan Selama Tahun 2006-2015. Dalam
temuannya, ICW menempatkan 'universitas' sebagai salah satu lembaga dari
beberapa sektor pendidikan yang rawan terjerat kasus korupsi. Lembaga yang
berada pada urutan pertama yaitu Dinas Pendidikan dengan 214 jumlah kasus dan
nilai kerugian negara yang dihasilkan mencapai 457,9 Miliar. Pada urutan ketiga
setelah lembaga sekolah berada di urutan kedua, lembaga universitas menuai 35
jumlah kasus dan mengakibatkan kerugian negara capai 194,4 Miliar.
ICW juga menemukan beberapa
modus yang paling sering digunakan sektor pendidikan untuk melangsungkan
korupsi. Di antaranya yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran, pengadaan
barang dan jasa, laporan fiktif, pungutan liar, anggaran ganda, dan beberapa
modus lainnya. Meski ICW menyimpulkan dana yang paling rawan dikorupsi pada
sektor pendidikan hanya di lembaga sekolah, namun ada beberapa kasus pada
Lembaga perguruan tinggi yang belum menuai kebijakan, seperti kasus pungli yang
terjadi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar.
Menurut peneliti ICW, Siti
Juliantari, tren korupsi di perguruan tinggi tidak menurun sejak tahun 2006,
malah semakin meningkat. ICW juga merinci ada 32 orang pegawai dan pejabat
struktural di tingkat fakultas maupun universitas yang terlibat kasus. Bahkan
13 Rektor atau Wakil Rektor dan 5 orang dosen termaktub dalam rincian tersebut.
Lebih lanjut ICW menyimpulkan bahwa pendidikan adalah satu dari sepuluh sektor
yang paling banyak dikorupsi per 2015 hingga 2019.
Dalam beberapa temuan tersebut
kita dapat menspekulasikan sektor pendidikan sebagai lembaga yang mungkin saja
kedepannya terlibat kasus korupsi dengan tren yang semangkin meningkat,
khususnya perguruan tinggi negeri. Apalagi dengan keadaan KPK saat ini semakin
melemah, dimana ia sebenarnya adalah ‘anak kandung reformasi’ justru dirawat
dengan tidak baik oleh pemerintah sehingga cacat melalui ke(tidak)bijakan UU
Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. ICW pernah mengingatkan masih ada 18 kasus
yang belum diselesaikan oleh KPK yang salah satu di antaranya adalah ‘rekening
gendut’ oknum jendral Polisi. Parahnya, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak
meluluskan tiga Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) KPK yang menangani kasus
‘rekening gendut’ tersebut. Artinya KPK tidak lahir sebagaimana tupoksinya, KPK
malah cacat seumur hidupnya.
Siapa Yang Mau Menjawab?
Sementara pandemi Covid-19 masih berlangsung, saya pribadi banyak di
buat bertanya-bertanya bagaimana model pengalokasian anggaran yang di bayarkan
oleh mahasiswa (UKT). Karena pandemi Covid-19 menjadi
penyebab lahirnya kebijakan Social Distancing hal
tersebut mengakibatkan perkuliahan di alihkan dari tatap muka (offline) ke media platform (online). Kita akan kerap tiba pada kebuntuan saat
memikirkan; mahasiswa kuliah daring karena pandemi, pandemi menyebabkan
sebagian banyak perekonomian rakyat menjadi minim, mahasiwa tetap membayar UKT
dari uang orangtuanya yang minim penghasilan—bahkan ada yang sampai di PHK,
mahasiswa tidak menikmati fasilitas kampus kecuali fasilitas dosen, subsidi
kuota internet kepada mahasiswa tidak intensif, tapi semester selanjutnya
mahasiswa tetap bayar UKT. Siklus tersebut akan terus berlangsung selama
pandemi Covid-19 juga masih berlangsung.
Dari kasus tersebut, sama
sekali tak ada kebijakan efektif yang dikeluarkan oleh Lembaga Kementerian
Pendidikan. Semisal mengalihkan Biaya Langsung (BL) sebagai unit
cost menjadi subsidi kuota internet untuk keperluan belajar mengajar
si pelaku pendidikan selama pandemi. Kasus seperti itu dapat ditemui di UIN
Alauddin Makassar. 15 Maret 2020 lalu, Hamdan Juhannis mengeluarkan kebijakan
pekuliahan tatap muka langsung dikelas diganti dengan perkuliahan secara online (dalam
jaringan). Sampai saat ini pihak kampus hanya membagikan kuota internet
sebanyak 2 kali dalam 3 semester. Yang pertama 10.000 paket kartu kuota pada
tanggal 9 Oktober 2020 dan 5475 paket pada tanggal 28 Januari 2021.
Pendistribusian tersebut juga tidak merata kepada seluruh mahasiswa.
Bahkan saat penditribusian kuota
internet yang kedua, ada beberapa mahasiswa yang mendapat zonk, yaitu mendapati kartu kuota yang dibagikan ternyata
isinya kosong. Pihak kampus juga memberikan syarat kepada mahasiswa yang ingin
mendapatkan kartu kuota dengan cara memperbarui nomor teleponnya di portal
akademik, pasalnya ada mahasiswa yang mengatakan tidak mendapatkan paket
tersebut padahal ia sudah memperbarui nomor teleponnya di portal akademik.
Pembagian selama 3 semester tersebut bukan subsidi dari UINAM secara otonom,
namun hanya ‘bantuan’ dari PT. XL Axiata dan Kementerian Agama. Artinya tidak
ada keterlibatan UKT yang dibayarkan mahasiswa terhadap pendistribusian
tersebut. Mahasiswa pada kenyataan tidak menggunakan fasilitas
kampus selama perkuliahan online, lantas UKT
di alokasikan kemana?
Saya mendapati sebanyak 53 mahasiswa dari
Fakultas Adab dan Humaniora yang mendapatkan kartu kuota kosong, di antaranya
Jurusan Ilmu Perpustakaan berjumlah 3 mahasiswa, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
14 mahasiswa, Jurusan Sejarah Peradaban Islam 13 orang, serta Jurusan Bahasa
dan Sastra Inggris berjumlah 23 mahasiswa. Pembagian tahap 2 tersebut berupa
'bantuan' dari Kementrian Agama dan kemungkinan bukan menggunakan UKT
mahasiswa.
Lebih radikal lagi, Askar Nur
dalam bukunya yang berjudul Bangku Depan (Kumpulan Suara Terbungkam di
Bangku Kuliah) mengatakan bahwa hampir dapat dipastikan 100% komponen
UKT tidak teralisasikan jika diperhitungkan berdasarkan unit cost yang
merujuk pada SSBOPT dan BOPT. Askar menjelaskan bahwa Pandemi Covid-19 menyerang
secara keseluruhan tanpa melihat identitas atau kelas sosial tiap individu yang
mengakibatkan perekonomian berada pada titik nadir. Dalam tulisannya Askar Nur
menyimpulkan bahwa UKT selama pandemi harus dibebaskan 100% tanpa syarat.
Di awal pandemi, Aliansi
Mahasiswa UIN (ALMAUN) Alauddin Makassar juga sempat mempertanyakan kebijakan
Hamdan Juhannis yang hanya memberikan diskon 10% terhadap pembayaran UKT
mahasiswa dan transparansi UKT. Namun pada saat ALMAUN ingin menyelesaikannya
dengan mengajak pihak pimpinan untuk berdialog dan mengadakan forum audiensi,
Rektor malah meninggalkan massa demonstrasi dengan menggunakan mobil. Akan hal
itu ALMAUN berusaha memburu rektor dari Kampus II UIN Alauddin Makassar hingga
Bundaran Samata, namun diperjalanan mahasiswa berusaha memburu Rektor, pihak
Satuan Pengamanan justru hadir menghalau mahasiswa hingga menggunakan cara-cara
yang represif.
Mahasiswa yang terus
membayarkan UKT selama pandemi tidak akan mengetahui jelas kemana pembayaran
tersebut di alokasikan. Hal tersebut persis dengan membeli kucing dalam
karung—kalau bisa dibilang membeli karung kosong dalam karung. Selama Hamdan
Juhannis selaku pimpinan tertinggi UIN Alauddin Makassar belum bijak untuk
mentransparansikan pengalokasian dana UKT, mahasiswa bahkan masyarakat secara umum
berhak mencurigai UINAM melakukan penyelewengan. Hal tersebut jelas dalam Pasal
78 UU Nomor 12 Tahun 2012 yang menjelaskan bahwa ‘akuntabilitas Perguruan
Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada Masyarakat
yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan nonakademik.'
Sayangnya
akuntabilitas tersebut belum dapat dilihat dengan jelas. Menduduki jabatannya
sebagai Rektor yang hampir genap dua tahun sejak dilantik pada 19 Juli 2019,
Hamdan Juhannis belum membuat laporan tahunan yang seharusnya wajib ada di tiap
tahun untuk menjelaskan kinerjanya secara lebih rinci. Berdasarkan laporan
tersebutlah mahasiswa dan masyarakat dapat menilai seberapa
transparannya UINAM sebagai katalisator perubahan ke arah yang lebih
jujur dan akuntabel serta mampu menyepadankan kata 'Kampus Peradaban' dalam
perealisasiannya. Selama UINAM yang berada di bawah jabatan Hamdan
Juhannis belum siap transparan, mahasiswa patut menenteng pertanyaan dan
membawanya ke siapa saja yang siap menjawab; "DI KEMANAKAN PEMBAYARAN
UKT UIN ALAUDDIN MAKASSAR SELAMA PANDEMI?"