Gambar: Kompas.com
LAPMI, UKKIRI- Hari itu, 9 Mei 1993, segerombol anak menemukan mayat perempuan disebuah gubuk ditengah sawah, Desa Jagong, Nganjuk, Jawa Timur. Cekikan bertanda di lehernya. Autopsi membuktikan bahwa pelaku telah memasukkan suatu benda
tumpul kedalam labium minora-nya (lubang kemaluan) yang menyebabkan adanya pendarahan hebat, luka itu menjalar mulai dari dinding kiri kemaluan sampai ke dalam rongga perut. Serpihan tulang ditemukan dalam tubuhnya, dan tulang panggul pada bagian depan hancur. Selaput daranya robek, kandung kemih (saluran kencing) dan usus bagian bawah memar, juga rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.
Namanya Marsinah, lahir 10 April 1969 di Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Ia dikenal oleh banyak kalangan sebagai aktivis yang memperjuang hak-hak buruh di zamannya. Jasadnya ditemukan tragis setelah beberapa hari sebelumnya para buruh yang ia organisir intens melayangkan protes dan melakukan mogok kerja terhadap perusahaan arloji, PT Catur Putra Surya. Pasalnya, perusahaan hanya menggaji buruh hanya sebesar Rp.1.700 per hari. Padahal berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.50/Men/1992 yang berlaku per 1 Maret 1993, menetapkan bahwa upah pokok buruh minimal Rp.2.250, naik lebih dari 30%. Titik picu amarah para buruh PT CPS saat mengetahui bahwa Gubernur Jawa Timur, Basofi Sudirman, hanya menaikkan 20% dalam surat edarannya.
Kronologis Singkat
Di mogok hari pertama, 3 Mei 1993, sejumlah buruh bergerombol di jalan menuju pabrik pukul 06:00 pagi dan mengajak buruh yang lewat menuju perusahaan untuk ikut mogok. Alhasil berhasil, hari itu banyak buruh PT CPS yang tidak masuk kerja. Pihak pabrik PT CPS heran karena pemogokan buruh tidak disertai tuntutan, tidak pula beredar selebaran, dan karenanya pihak perusahaan sulit untuk mencari para penggeraknya. Dengan mengandalkan Militer, berdasarkan daftar nama yang diberikan oleh manager PT CPS, petugas Koramil mendapati 18 orang yang berkumpul di rumah salah satu buruh, Yudo Prakoso. 18 orang itu digiring ke markas Koramil untuk dipertemukan dengan manager PT CPS, Judi Astono. "Kalian menghalangi niat baik orang untuk bekerja! Itu sabotase! Itu cara-cara PKI," kata seorang petugas Koramil.
4 Mei 1993, Marsinah sedang bekerja di dalam pabrik mendapatkan shift pertama, sedangkan buruh shift kedua dan ketiga melangsungkan aksi di depan pabrik dengan massa yang lebih besar dari hari sebelumnya. Buruh yang berada di luar dihalang-halangi untuk masuk ke areal pabrik, mereka di maki-maki "PKI" oleh Suwono (kepala satpam) dan beberapa aparat Kodim Koramil. Sedangkan yang berada di dalam pabrik dimintai perwakilan untuk berunding dengan pihak perusahaan agar meluruskan perkara. Marsinah ngotot agar teman-temannya yang berada diluar pabrik juga diikutsertakan, dan tak lama kemudian perundingan itu berlangsung. Singkat cerita, perundingan tersebut mengasilkan 12 tuntutan dan menuai 11 kesepakatan yang di tandatangani oleh Djoko Sajono dan Marsudi dari Departem Tenaga Kerja (Depnaker), 9 orang pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan 19 perwakilan buruh PT CPS, di antaranya adalah Marsinah.
Akhir dari berunding yang juga telah menuai kesepakatan harusnya sudah menyelesaikan perselisihan antar buruh dan pihak perusahaan, namun tidak. Sore hari 4 mei 1993, beberapa buruh di panggil menghadap Kapten Sugeng Perwira Seksi (Pasi) Intel Kodim 0816 Sidoarjo. Tertera dalam surat, buruh yang dipanggil berjumlah 16 orang, namun hanya 13 yang datang. Marsinah kemudian menanggapinya dengan menuliskan semacam surat panduan/petunjuk bagi teman-temannya yang di panggil untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saat mereka di interogasi. Saat itu Marsinah bersikeras agar temannya yang lain tetap aman, kalaupun temannya dimeja hijaukan (pengadilan) oleh kodim, ia akan membawa persoalan tersebut kepada pamannya di kejaksaan Surabaya.
5 Mei 1993, 13 orang buruh dimintai berhenti (PHK) dari PT CPS di Markas Kodim 0816 Sidoarjo. Katanya ke-13 buruh tersebut tidak lagi di butuhkan oleh perusahaan. Pihak perusahaan mengatakan pengunduran diri tersebut dilakukan di Kodim karena ada unsur politis, ada pihak ketiga yang menghasut buruh untuk mogok. Pihak Kodim juga meminta buruh yang sudah di PHK agar menyampaikan ke buruh yang lain bahwa yang terlibat berunding sehari sebelumnya segera mengajukan surat pengunduran diri ke Kodim sebelum di PHK. Saat itu pihak perusaahaan juga sedang melakukan perbincangan di perusahaan. di tengah-tengah perbincangan, Marsinah minta agar ia di ikutsertakan namun tidak di izinkan. Akhirnya Marsinah menerobos masuk dan meminta agar ia diberikan waktu 10 menit untuk berbicara, ia mempertanyakan kepada pihak perusahaan tentang 13 temannya yang di panggil ke Kodim. Namun pihak perusahan tidak suka cara Marsinah yang menerobos masuk.
Pada hari yang sama, Marsinah lalu menulis surat yang akan di layangkan kepada perusahaan. Tulisan tersebut berisi pertanyaan terhadap pihak perusahaan, kenapa setelah unjuk rasa yang telah diselesaikan lewat kesepakatan sehingga tidak ada lagi pihak yang drugikan, justru masih ada panggilan dari Kodim 0816 Sidoarjo kepada sejumlah buruh. Dalam surat tersebut, Marsinah juga mengancam kalau tuduhan terhadap buruh tidak dicabut, ia akan memperkarakan perusahaan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pembuatan surat itu di bantu oleh Ninik yang serumah dengan Marsinah dan juga teman kerjanya, membantu pengeditan agar surat mudah di baca.
Menjelang magrib, Marsinah keluar dari pondoknya untuk memfotokopi surat yang akan disebar, saat itu ia berboncengan menggunakan sepeda motor bersama temannya, Anto. Kebetulan, dijalan Marsinah bertemu dengan beberapa temannya yang di bawa ke markas Kodim siang sebelumnya. Temannya bercerita kepada Marsinah bahwa mereka dipaksa mengundurkan diri oleh pihak Kodim. Mendengar itu, Marsinah jadi geram. sambil membaca surat pemanggilan temannya, ia mengatakan akan melapolrkan perkara tersebut kepada pamannya yang menjadi jaksa di Surabaya. Pembicaraan tersebut selesai pukul 21:00 dan Marsinah kembali pulang.
Mungkin masih ada pertanyaan yang menjanggal dalam fikirannya, baru saja 5 menit Marsinah dirumah, ia keluar lagi menggunakan kaos putih, rok coklat dan sendal jepit. Di jalan ia bertemu dengan temannya yang bernama Yudo dan meminta surat kesepakatan perundingan mereka dengan perusahaan pada tanggal 4 Mei sebelumnya. Setelah membacanya, menurut Marsinah isi surat tersebut sengaja mencari-cari kesalahan dengan memaksa agar buruh mengundurkan diri dari perusahaan. Marsinah lalu berniat mengadukan perusahaan dan Kodim ke pengadilan. Marsinah sempat mengajak temannya untuk mencari makan, namun menurut temannya saat itu sudah larut malam. Akhirnya mereka berpisah untuk kembali ke rumah masing-masing. Saat itu pula Marsinah terakhir kali dilihat dalam keadaan hidup.
6 Mei 1993 tidak ada karyawan atau buruh yang bekerja di perusahaan, hari itu bertepatan dengan Libur Nasional. Di perusahaan hanya satpam yang menjaga dari pagi sampai malam. Keesokan harinya, 7 Mei 1983, Pukul 07:00 pagi, satuan pengamanan (satpam) perusahaan mengadakan rapat. Di hari yang sama, beberapa teman Marsinah menghadap ke Depnaker untuk mengadukan nasib mereka yang di PHK secara sepihak di markas Kodim. Mereka menceritakan apa yang mereka alami sejak tanggal 3 Mei sampai 5 Mei. Namun hal tersebut hanya menjadi bumerang bagi mereka dan mengakibatkan beberapa buruh yang lainnya ikut di PHK di Kodim. Tanggal 7 dan 8 Mei, tak ada yang mengetahui kemana Marsinah pergi, barulah pada tanggal 9 Mei 1993, jasadnya ditemukan tragis tanpa diketahui siapa pembunuhnya.
Setelah 5 Mei 1993, di mana Marsinah terakhir kali di lihat hidup oleh teman-temannya, hasil autopsi yang dilakukan Dr. Yekti Wibowo di RSUD Kabupaten Nganjuk 10 Mei 1993 menunjukkan bahwa Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya di temukan, yaitu 8 Mei 1993. Kabar kematian tragis Marsinah pertamakali dimuat oleh sebuah mingguan di Surabaya yang sekarang sudah tidak terbit lagi, Surabaya Minggu II, Mei 1993. Pada saat itu, kabar peristiwa Marsinah belum menuai reaksi yang signifikan dari publik. Setelah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers di Jakarta, barulah peristiwa ini menuai banyak perhatian bahkan sampai sekarang dan menjadi suatu memorabilia.
Reporter: Ziyad Rizqi