Oleh: Rahmad Adri.
Tahun
1852, Benyamin Fredricus Matthes menginjakkan kaki di Barru, Sulawesi
Selatan-sebagai utusan Nederlansch Bijbelgenootschap. Dalam menjalankan
misinya untuk melakukan penginjilan dan mempelajari Kebudayaan Bugis untuk
kepentingan Kolonial, Matthes bertemu dengan Colliq PujiE. Darinya, Matthes
banyak belajar bahasa daerah. Berkat pelajaran bahasa yang didapatkan, Matthes
berhasil menelurkan banyak karya, di antaranya menerjemahkan Alkitab dalam
bahasa Bugis Makassar, Makassar en Boegineessche (kamus bahasa Bugis
Makassar), dan tiga jilid Boegineesche chrestomathie (bunga rampai
budaya Bugis) (1).
Selain
itu, Matthes bersama Colliq PujiE mengumpulkan naskah I Lagaligo. Naskah
tersebut kini tersimpan di perpustakaan KITLV.
Tak
hanya terkenal karena karya-karyanya, Matthes juga merupakan pelopor berdirinya
sekolah formal di Sulawesi Selatan. Tahun 1876, Matthes mendirikan
sekolah guru bernama kweekschool—dikenal sebagai sikola rajaya
oleh masyarakat karena hanya bangsawan yang dapat bersekolah di sekolah ini.
Berselang 4 tahun setelah berdirinya, kweekschool
diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan Matthes diangkat menjadi
direktur sekolah tersebut.
Tenaga
pengajar didatangkan dari Ambon dan Manado. Materi yang di ajarkan adalah
membaca, menulis dan menggambar.
Tahun
1906 tweedeschool didirikan. Letaknya di sebalah Selatan Karebosi (sekarang
Jalan Amana gappa). Sekolah tersebut didirikan untuk mendidik masyarakat kelas
bawah. Di tahun yang sama, didirikan pula sekolah khusus anak-anak Ambon
bernama Holland Ambonsche School di Tabaringan . Setahun setelahnya, Holland
Chinese School didirikan untuk anak-anak etnis Tionghoa.
Di
Awal Abad 20, Akibat kebijakan politik etis dan pengaruh penerapan liberalisme ekonomi,
pemerintah Kolonial mengubah sistem dan
kurikulum pendidikan untuk memenuhi Kebutuhan tenaga pekerja dengan upah yang
murah.
Dalam
sudut pandang Pemerintah Kolonial, Sekolah adalah tempat untuk menentukan apa
yang patut dan tidak patut dipelajari oleh Bumiputra; sekolah tak ubahnya proses
indoktrinasi yang digunakan untuk mengamankan kekuasaan sekaligus mempersiapkan
Bumiputra sebagai tenaga kerja yang berguna untuk Perkebunan dan perusahaan milik
Kolonial Belanda.
Tahun
1912-1930, sebanyak enam Holland Inlandere School (HIS) didirikan di
Sulawesi Selatan, meliputi Makassar, Pare-Pare, Watampone, Bulukumba, Mandar
dan Majene (Saat itu Majene dan Mandar masih termasuk Afdeling celebes onderhoorigheden—Afdeling
kini setingkat Kabupaten. Mandar adalah ibu kota Afdeling Majene).
HIS adalah sekolah yang sistem pengajarannya menggunakan bahasa Melayu. HIS setingkat
dengan Eropesche Lagere School (ELS), sekolah bagi Anak-anak Belanda,
juga anak-anak raja dan bangsawan kelas atas.
Di
Makassar, ELS baru berdiri pada tahun 1927. Tidak seperti HIS yang menggunakan
bambu sebagai bangunan sekolah dan jerami sebagai atap, gedung ELS bergaya khas
Eropa. Dalam proses belajar, siswa ELS menggunakan kertas sementara siswa HIS hanya
menggunakan batu tulis (2).
Setelah
lulus dari HIS, kaum Bumiputera dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjut di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—setingkat sekolah menengah tingkat
pertama. MULO berdiri pada tahun 1920 di bawah pengawasan langsung asisten
residen. Setahun setelahnya, Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)—setingkat
institut untuk mencetak calon amtenar/Birokrat. OSVIA menggunakan gaya pendidik
Barat dan bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar di setiap pelajaran
(3).
Lulusan OSVIA ditempatkan di berbagai kantor dan kedinasan sebagai pegawai rendahan. Banyak di antara masyarakat kelas menengah yang menempuh pendidikan di OSVIA berharap agar derajat sosialnya naik setelah lulus bekerja sebagai Birokrat.
... “Sehingga tercipta elite baru yang tahu
berterima kasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran pemerintah,
mengendalikan fanatisme ‘Islam’, dan akhirnya menjadi teladan yang akan dijiwai
masyarakat pribumi golongan bawah,” tulis Ricklefs (4).
Sumber:
1.
Diskusi-lepas.id, BF Matthes, Misionari-Antropolog yang
Sangat Berjasa
2.
Mukhlis P. Dkk, Sejarah Kebudayaan Sulawesi
3.
Djohan Makmur Dkk, Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman
Penjajahan
4.
Dari OSVIA Sampai IPDN, Riwayat Sekolah Para Birokrat,
Historia.id