Iklan

Repertoar Pendidikan Bentukan Belanda Di Sulawesi Selatan

Lapmi Ukkiri
08 May 2021
Last Updated 2021-05-08T13:19:21Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini



Oleh: Rahmad Adri.


Tahun 1852, Benyamin Fredricus Matthes menginjakkan kaki di Barru, Sulawesi Selatan-sebagai utusan Nederlansch Bijbelgenootschap. Dalam menjalankan misinya untuk melakukan penginjilan dan mempelajari Kebudayaan Bugis untuk kepentingan Kolonial, Matthes bertemu dengan Colliq PujiE. Darinya, Matthes banyak belajar bahasa daerah. Berkat pelajaran bahasa yang didapatkan, Matthes berhasil menelurkan banyak karya, di antaranya menerjemahkan Alkitab dalam bahasa Bugis Makassar, Makassar en Boegineessche (kamus bahasa Bugis Makassar), dan tiga jilid Boegineesche chrestomathie (bunga rampai budaya Bugis) (1).


Selain itu, Matthes bersama Colliq PujiE mengumpulkan naskah I Lagaligo. Naskah tersebut kini tersimpan di perpustakaan KITLV.


Tak hanya terkenal karena karya-karyanya, Matthes juga merupakan pelopor berdirinya sekolah formal di Sulawesi Selatan. Tahun 1876, Matthes mendirikan sekolah guru bernama kweekschool—dikenal sebagai sikola rajaya oleh masyarakat karena hanya bangsawan yang dapat bersekolah di sekolah ini. Berselang  4 tahun setelah berdirinya, kweekschool diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan Matthes diangkat menjadi direktur sekolah tersebut.


Tenaga pengajar didatangkan dari Ambon dan Manado. Materi yang di ajarkan adalah membaca, menulis dan menggambar.


Tahun 1906 tweedeschool  didirikan.  Letaknya di sebalah Selatan Karebosi (sekarang Jalan Amana gappa). Sekolah tersebut didirikan untuk mendidik masyarakat kelas bawah. Di tahun yang sama, didirikan pula sekolah khusus anak-anak Ambon bernama Holland Ambonsche School di Tabaringan . Setahun setelahnya, Holland Chinese School didirikan untuk anak-anak etnis Tionghoa.


Di Awal Abad 20, Akibat kebijakan politik etis dan pengaruh penerapan liberalisme ekonomi,  pemerintah Kolonial mengubah sistem dan kurikulum pendidikan untuk memenuhi Kebutuhan tenaga pekerja dengan upah yang murah.


Dalam sudut pandang Pemerintah Kolonial, Sekolah adalah tempat untuk menentukan apa yang patut dan tidak patut dipelajari oleh Bumiputra; sekolah tak ubahnya proses indoktrinasi yang digunakan untuk mengamankan kekuasaan sekaligus mempersiapkan Bumiputra sebagai tenaga kerja yang berguna untuk Perkebunan dan perusahaan milik Kolonial Belanda.


Tahun 1912-1930, sebanyak enam Holland Inlandere School (HIS) didirikan di Sulawesi Selatan, meliputi Makassar, Pare-Pare, Watampone, Bulukumba, Mandar dan Majene (Saat itu Majene dan Mandar masih termasuk Afdeling celebes onderhoorigheden—Afdeling kini setingkat Kabupaten. Mandar adalah ibu kota Afdeling Majene). HIS adalah sekolah yang sistem pengajarannya menggunakan bahasa Melayu. HIS setingkat dengan Eropesche Lagere School (ELS), sekolah bagi Anak-anak Belanda, juga anak-anak raja dan bangsawan kelas atas.


Di Makassar, ELS baru berdiri pada tahun 1927. Tidak seperti HIS yang menggunakan bambu sebagai bangunan sekolah dan jerami sebagai atap, gedung ELS bergaya khas Eropa. Dalam proses belajar, siswa ELS menggunakan kertas sementara siswa HIS hanya menggunakan batu tulis (2).



Setelah lulus dari HIS, kaum Bumiputera dapat melanjutkan pendidikan tingkat lanjut di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—setingkat sekolah menengah tingkat pertama. MULO berdiri pada tahun 1920 di bawah pengawasan langsung asisten residen. Setahun setelahnya, Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)—setingkat institut untuk mencetak calon amtenar/Birokrat. OSVIA menggunakan gaya pendidik Barat dan bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa pengantar di setiap pelajaran (3).



Lulusan OSVIA ditempatkan di berbagai kantor dan kedinasan sebagai pegawai rendahan. Banyak di antara masyarakat kelas menengah yang menempuh pendidikan di OSVIA  berharap agar derajat sosialnya naik setelah lulus bekerja sebagai Birokrat.



... “Sehingga tercipta elite baru yang tahu berterima kasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran pemerintah, mengendalikan fanatisme ‘Islam’, dan akhirnya menjadi teladan yang akan dijiwai masyarakat pribumi golongan bawah,” tulis Ricklefs (4).

 

Sumber:

1.      Diskusi-lepas.id, BF Matthes, Misionari-Antropolog yang Sangat Berjasa

2.      Mukhlis P.  Dkk,  Sejarah Kebudayaan Sulawesi

3.      Djohan Makmur Dkk, Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Penjajahan

4.      Dari OSVIA Sampai IPDN, Riwayat Sekolah Para Birokrat, Historia.id

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl