Manusia yang kehilangan
harga diri, bagi Erikson (dalam Monks, dkk, 2006; 279), merupakan manusia yang
gagal membentuk diri dan mengintegrasikan ide-ide individu mengenai dirinya
serta bagaimana cara orang lain berpikir tentang dirinya hingga akhirnya lupa
diri dan tolak diri.
Kisah manusia yang lupa
bahkan menolak dirinya tampaknya tidak hanya hadir dalam kisah Petualangan Don
Quixote yang ditulis oleh Miguel De Cervantes, mengisahkan sosok kesatria
kesiangan yang mampu menghipnotis para pembacanya untuk masuk dalam
imajinasinya, ia menjadi kesatria luar biasa hanya dalam imajinasinya, namun
hal yang lebih parah justru seringkali terjadi di sekeliling kita misalnya
dalam perayaan pesta politik.
Meskipun saat ini kita
tidak sedang berada dalam hiruk-pikuk perayaan politik. Akan tetapi, anggap
saja tulisan ini sebagai sedikit rekam jejak sekaligus hal-hal yang mungkin
saja akan kembali terulang dalam setiap momen perayaan perpolitikan di negeri
ini khususnya di Kota Makassar.
Dalam pesta politik
baik pemilihan kepada daerah (pilkada), pemilihan wali kota (pilwalkot) hingga
pemilihan umum (pemilu) atau bahkan dalam scope
yang lebih kecil seperti pemilihan kepala desa (pilkades), tak ayal pertunjukan
adegan lupa diri dalam hal tidak menepati janji yang pernah diikrarkan acapkali
kita temukan pasca pesta berlalu.
Di kota-kota besar menjelang prosesi pemilihan para pejabat yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan rakyat, yang akan mengakomodir kepentingan dan segala aspirasi rakyat nantinya, kita akan menemukan poster-poster mereka memadati simpang-simpang jalan dan tempat-tempat strategis yang ramai dikunjungi.
Masyarakat awam yang menyaksikan dan menyempatkan diri untuk membaca setiap
tulisan yang sengaja dicetak dengan versi bold
dan font besar, dengan ramuan
kata-kata yang menggugah seakan-akan tak akan ada pemimpin yang layak selain
yang ada di poster, akan membayangkan kehidupan yang sangat baik dan harmoni ke
depannya.
Namun jika poster
tersebut dilihat oleh Gandhi, maka saya dapat menebak bahwa dalam hati kecilnya
ia memekik, “semua itu adalah kekonyolan”. Sekonyol janji manis Inggris kepada
seluruh masyarakat Punyab yang berujung penaklukan dan ‘penjarahan’, atau
dilihat oleh si kecil Greta Thunberg, mungkin dia akan sedikit mencibir dalam
hati dan tertawa terbahak-bahak jikalau perubahan iklim di negerinya berawal
dari janji pemimpinnya yang berakhir dengan eksploitasi kekayaan alam.
Sementara itu di
Makassar, poster-poster demikian akan mengingatkan kita pada salah satu tulisan
M. Aan Mansyur yang dia bubuhi judul “Eka Kurniawan dan Para Calon Anggota
Dewan”. Tulisan tersebut dimuat di Koran Tempo Makassar pada 03 April 2014,
saat masyarakat dan kebanyakan media diguyur berita tentang pesta politik.
Dalam pengakuannya, dia menulis tulisan tersebut demi terhindar dari godaan
marah-marah kepada para calon anggota dewan berikut para pendukungnya yang (semoga
saja tidak) dibayar.
Tulisan tersebut
ditutup dengan cerita tentang Eka Kurniawan yang menebus janjinya setelah novel
terbarunya mengalami perubahan jadwal terbit sehingga menerbitkan kumpulan
cerita pendeknya terlebih dahulu yang berisi cerita-cerita khas Eka yang
sedikit satire dan kadang membuat kita tepuk jidat. Aan mengutip salah satu
dialog dalam cerita pendek Eka yang berisi penyataan orang pertama, “Aku tak
percaya bapak-bapak anggota Dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet”.
Orang kedua menjawab, “Aku juga”. Orang ketiga dan selanjutnya juga menjawab,
“Aku juga”.
Senada dengan hal itu, Muhary Wahyu Nurba juga pernah menulis perkara yang sama. Melalui tulisannya yang berjudul “Sim ‘Salah’ Bim”, Muhary mengimajinasikan pesta politik ibaratnya menemukan jawaban atas pertanyaan WS Rendra dalam sajaknya, “Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?”.
Muhary menggambarkan dirinya dalam sebuah percakapan dengan salah satu penjual
di warung kopi. “Betapa sulitnya mencari sosok pemimpin idaman di abad celaka
ini, di negeri yang beriklim buruk ini. Komitmen mereka hanya sebatas panjang
kali lebar poster mereka. Di luar itu, nonsense.”
Celetup si penjual kopi
“Negara sebaiknya
menyediakan dana tambahan pemilu untuk menyewa jasa Uya Kuya, Romi Rafael,
Deddy Corbuzier, dan semua pegiat magic
yang banyak bertebaran di nusantara ini. Saya yakin hanya dengan cara ini kita
bisa mengupas semua kebohongan dan kemunafikan mereka. Bagaimana menurutmu?”
lanjutnya
Senda gurau kedua
penulis tersebut tentu hanyalah luapan kebebasannya ke dalam bentuk tulisan.
Namun, jika kita mencoba merefleksikannya maka tentu kita akan jatuh pada satu
kesimpulan: bersepakat dengan segala guyonan mereka sebagai sebuah fakta yang
benar adanya.
Kiranya, segenap bukti berseliweran di sekitar kita terkait ihwal “janji” dari setiap pesta politik yang digelar. Namun untuk membuktikan apakah setiap janji ditepati atau tidak oleh mereka (baca: para politikus), kita kembalikan ke pandangan dan analisa pribadi masing-masing.
Dan pada akhirnya, bukankah yang kita coblos/contreng di
balik bilik tak bersuara setiap masanya adalah mereka yang menyuarakan
persetujuannya terhadap pengesahan beberapa undang-undang yang sama sekali
tidak mengakomodir kepentingan rakyat secara menyeluruh seperti UU Cipta Kerja?
Reproduksi janji
politik ibaratnya nasi yang tak pernah basi, selalu mengenyangkan siapapun yang
terlibat di dalamnya meskipun akhirnya akan kelaparan juga. Pertarungan
kepentingan sebelum dan sesudah terpilih tentunya akan berbeda, yang
memenangkan dan mengikut alur akan selalu kenyang sementara yang memenangkan
dan menginginkan kepentingan awalnya diwujudkan, misalnya pengadaan
infrastruktur berupa perumahan rakyat yang murah namun pihak yang telah
dimenangkan juga terlibat kepentingan dengan pihak developer atau perusahaan
maka logika termutakhir akan berlaku: yang berkuasa adalah yang menang.
Kepentingan dengan
pihak developer tentu yang akan diutamakan sebab iming-iming profit dan modal
akan lebih menjanjikan (misalnya dalam rangka mengembalikan modal yang pernah
berhamburan di masa kampanye) ketimbang mereka yang pernah kehabisan suara di
masa kampanye, teriak kiri-kanan berkustom dua orang yang sedang senyum merekah
dan entah setiap teriakannya mengisyaratkan gelombang suara yang tergantung
pada kecil atau besarnya nominal dalam saku (semoga saja tidak).
Muhammad Ridha dalam bukunya yang baru saja terbit “Kisah Tiga Keluarga dalam Perubahan; Etnografi Pembangunan Rumah di Makassar” sedikit atau banyaknya mengulas tentang peta politik yang memiliki kaitan erat dengan industri properti dalam hal rancangan perumahan rakyat.
Terhitung sejak tahun 1991, LIPPO Group bersama satu
perusahaan patungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar dan
Kabupaten Gowa telah memiliki rancangan untuk membangun sebuah kota baru
bernama tanjung bunga di atas lahan seluas 1000 hektar.
Tak hanya itu, pembangunan kota-kota baru seperti Tallasa City dan Citra Grand Galesong City di Gowa juga ikut andil dalam menciptakan konsep pemukiman bagi masyarakat. Semua kota-kota baru tersebut memiliki orientasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat termasuk mengurangi populasi masyarakat yang memiliki rumah.
Akan tetapi, konsep perumahan yang ditata sedemikian rupa
dengan fasilitas-fasilitas glamour
yang awalnya dicanangkan untuk masyarakat tanpa pandang kelas sosial, lambat
laun berubah menjadi perumahan-perumahan kaum elite yang hanya mampu dihuni
oleh golongan ekonomi masyarakat di atas rata-rata.
Di balik skema
megaproyek perumahan tersebut juga melibatkan elemen-elemen lain seperti
anggota legislatif hingga para calon pemimpin kota maupun kabupaten. Tentu
perkara keterlibatan mereka bukanlah sebuah kekeliruan selama visi-misi dan
program mujarab yang pernah dikumandangkan dalam bentuk janji ditepati, namun
jika sebaliknya maka sebuah kenyataan jajaran para maestro sulap yang
disebutkan si penjual kopi di atas juga harus dilibatkan dalam agenda pesta
politik atau kita bersepakat untuk memilih calon pemimpin yang memiliki
keahlian sulap. Tapi, bukankah pemimpin dari masa ke masa juga sangat ahli
dalam menyulap? Termasuk menyulap janji untuk tidak ditepati setelah menang?