Iklan

Makassar, Pesta Politik dan Senda Gurau Para Penulis

Askar Nur
29 May 2021
Last Updated 2021-05-29T15:39:17Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


Oleh: Askar Nur 

“Nama adalah janji, dan setiap janji harus ditepati”, satu di antara beberapa dialog yang terdapat dalam naskah teater “Lelaki Bernama Rami” yang digagas oleh Zulkifli Makmur yang juga merupakan penulis antologi cerpen “Resolusi Yang Usang”.

Dialog tersebut mengisyaratkan dua kata kunci, nama dan janji. Umumnya, nama acapkali dimaknai sebagai sebuah doa atau cerminan diri seorang manusia (harga diri) sedangkan janji sebagai sebuah pengharapan sekaligus gambaran diri dari seseorang yang memberikan janji. Jika nama adalah janji, harga diri adalah gambaran diri maka menepati janji adalah kualitas diri namun jika sebaliknya, yang tidak menepati janji adalah yang kehilangan harga diri?

Manusia yang kehilangan harga diri, bagi Erikson (dalam Monks, dkk, 2006; 279), merupakan manusia yang gagal membentuk diri dan mengintegrasikan ide-ide individu mengenai dirinya serta bagaimana cara orang lain berpikir tentang dirinya hingga akhirnya lupa diri dan tolak diri.


Kisah manusia yang lupa bahkan menolak dirinya tampaknya tidak hanya hadir dalam kisah Petualangan Don Quixote yang ditulis oleh Miguel De Cervantes, mengisahkan sosok kesatria kesiangan yang mampu menghipnotis para pembacanya untuk masuk dalam imajinasinya, ia menjadi kesatria luar biasa hanya dalam imajinasinya, namun hal yang lebih parah justru seringkali terjadi di sekeliling kita misalnya dalam perayaan pesta politik.


Meskipun saat ini kita tidak sedang berada dalam hiruk-pikuk perayaan politik. Akan tetapi, anggap saja tulisan ini sebagai sedikit rekam jejak sekaligus hal-hal yang mungkin saja akan kembali terulang dalam setiap momen perayaan perpolitikan di negeri ini khususnya di Kota Makassar.


Dalam pesta politik baik pemilihan kepada daerah (pilkada), pemilihan wali kota (pilwalkot) hingga pemilihan umum (pemilu) atau bahkan dalam scope yang lebih kecil seperti pemilihan kepala desa (pilkades), tak ayal pertunjukan adegan lupa diri dalam hal tidak menepati janji yang pernah diikrarkan acapkali kita temukan pasca pesta berlalu.


Di kota-kota besar menjelang prosesi pemilihan para pejabat yang mengatasnamakan diri sebagai perwakilan rakyat, yang akan mengakomodir kepentingan dan segala aspirasi rakyat nantinya, kita akan menemukan poster-poster mereka memadati simpang-simpang jalan dan tempat-tempat strategis yang ramai dikunjungi. 


Masyarakat awam yang menyaksikan dan menyempatkan diri untuk membaca setiap tulisan yang sengaja dicetak dengan versi bold dan font besar, dengan ramuan kata-kata yang menggugah seakan-akan tak akan ada pemimpin yang layak selain yang ada di poster, akan membayangkan kehidupan yang sangat baik dan harmoni ke depannya.


Namun jika poster tersebut dilihat oleh Gandhi, maka saya dapat menebak bahwa dalam hati kecilnya ia memekik, “semua itu adalah kekonyolan”. Sekonyol janji manis Inggris kepada seluruh masyarakat Punyab yang berujung penaklukan dan ‘penjarahan’, atau dilihat oleh si kecil Greta Thunberg, mungkin dia akan sedikit mencibir dalam hati dan tertawa terbahak-bahak jikalau perubahan iklim di negerinya berawal dari janji pemimpinnya yang berakhir dengan eksploitasi kekayaan alam.


Sementara itu di Makassar, poster-poster demikian akan mengingatkan kita pada salah satu tulisan M. Aan Mansyur yang dia bubuhi judul “Eka Kurniawan dan Para Calon Anggota Dewan”. Tulisan tersebut dimuat di Koran Tempo Makassar pada 03 April 2014, saat masyarakat dan kebanyakan media diguyur berita tentang pesta politik. Dalam pengakuannya, dia menulis tulisan tersebut demi terhindar dari godaan marah-marah kepada para calon anggota dewan berikut para pendukungnya yang (semoga saja tidak) dibayar.


Tulisan tersebut ditutup dengan cerita tentang Eka Kurniawan yang menebus janjinya setelah novel terbarunya mengalami perubahan jadwal terbit sehingga menerbitkan kumpulan cerita pendeknya terlebih dahulu yang berisi cerita-cerita khas Eka yang sedikit satire dan kadang membuat kita tepuk jidat. Aan mengutip salah satu dialog dalam cerita pendek Eka yang berisi penyataan orang pertama, “Aku tak percaya bapak-bapak anggota Dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet”. Orang kedua menjawab, “Aku juga”. Orang ketiga dan selanjutnya juga menjawab, “Aku juga”.


Senada dengan hal itu, Muhary Wahyu Nurba juga pernah menulis perkara yang sama. Melalui tulisannya yang berjudul “Sim ‘Salah’ Bim”, Muhary mengimajinasikan pesta politik ibaratnya menemukan jawaban atas pertanyaan WS Rendra dalam sajaknya, “Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?”. 


Muhary menggambarkan dirinya dalam sebuah percakapan dengan salah satu penjual di warung kopi. “Betapa sulitnya mencari sosok pemimpin idaman di abad celaka ini, di negeri yang beriklim buruk ini. Komitmen mereka hanya sebatas panjang kali lebar poster mereka. Di luar itu, nonsense.” Celetup si penjual kopi


“Negara sebaiknya menyediakan dana tambahan pemilu untuk menyewa jasa Uya Kuya, Romi Rafael, Deddy Corbuzier, dan semua pegiat magic yang banyak bertebaran di nusantara ini. Saya yakin hanya dengan cara ini kita bisa mengupas semua kebohongan dan kemunafikan mereka. Bagaimana menurutmu?” lanjutnya


Senda gurau kedua penulis tersebut tentu hanyalah luapan kebebasannya ke dalam bentuk tulisan. Namun, jika kita mencoba merefleksikannya maka tentu kita akan jatuh pada satu kesimpulan: bersepakat dengan segala guyonan mereka sebagai sebuah fakta yang benar adanya.


Kiranya, segenap bukti berseliweran di sekitar kita terkait ihwal “janji” dari setiap pesta politik yang digelar. Namun untuk membuktikan apakah setiap janji ditepati atau tidak oleh mereka (baca: para politikus), kita kembalikan ke pandangan dan analisa pribadi masing-masing. 



Dan pada akhirnya, bukankah yang kita coblos/contreng di balik bilik tak bersuara setiap masanya adalah mereka yang menyuarakan persetujuannya terhadap pengesahan beberapa undang-undang yang sama sekali tidak mengakomodir kepentingan rakyat secara menyeluruh seperti UU Cipta Kerja?


Reproduksi janji politik ibaratnya nasi yang tak pernah basi, selalu mengenyangkan siapapun yang terlibat di dalamnya meskipun akhirnya akan kelaparan juga. Pertarungan kepentingan sebelum dan sesudah terpilih tentunya akan berbeda, yang memenangkan dan mengikut alur akan selalu kenyang sementara yang memenangkan dan menginginkan kepentingan awalnya diwujudkan, misalnya pengadaan infrastruktur berupa perumahan rakyat yang murah namun pihak yang telah dimenangkan juga terlibat kepentingan dengan pihak developer atau perusahaan maka logika termutakhir akan berlaku: yang berkuasa adalah yang menang.


Kepentingan dengan pihak developer tentu yang akan diutamakan sebab iming-iming profit dan modal akan lebih menjanjikan (misalnya dalam rangka mengembalikan modal yang pernah berhamburan di masa kampanye) ketimbang mereka yang pernah kehabisan suara di masa kampanye, teriak kiri-kanan berkustom dua orang yang sedang senyum merekah dan entah setiap teriakannya mengisyaratkan gelombang suara yang tergantung pada kecil atau besarnya nominal dalam saku (semoga saja tidak).


Muhammad Ridha dalam bukunya yang baru saja terbit “Kisah Tiga Keluarga dalam Perubahan; Etnografi Pembangunan Rumah di Makassar” sedikit atau banyaknya mengulas tentang peta politik yang memiliki kaitan erat dengan industri properti dalam hal rancangan perumahan rakyat. 


Terhitung sejak tahun 1991, LIPPO Group bersama satu perusahaan patungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar dan Kabupaten Gowa telah memiliki rancangan untuk membangun sebuah kota baru bernama tanjung bunga di atas lahan seluas 1000 hektar.


Tak hanya itu, pembangunan kota-kota baru seperti Tallasa City dan Citra Grand Galesong City di Gowa juga ikut andil dalam menciptakan konsep pemukiman bagi masyarakat. Semua kota-kota baru tersebut memiliki orientasi untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat termasuk mengurangi populasi masyarakat yang memiliki rumah. 


Akan tetapi, konsep perumahan yang ditata sedemikian rupa dengan fasilitas-fasilitas glamour yang awalnya dicanangkan untuk masyarakat tanpa pandang kelas sosial, lambat laun berubah menjadi perumahan-perumahan kaum elite yang hanya mampu dihuni oleh golongan ekonomi masyarakat di atas rata-rata.


Di balik skema megaproyek perumahan tersebut juga melibatkan elemen-elemen lain seperti anggota legislatif hingga para calon pemimpin kota maupun kabupaten. Tentu perkara keterlibatan mereka bukanlah sebuah kekeliruan selama visi-misi dan program mujarab yang pernah dikumandangkan dalam bentuk janji ditepati, namun jika sebaliknya maka sebuah kenyataan jajaran para maestro sulap yang disebutkan si penjual kopi di atas juga harus dilibatkan dalam agenda pesta politik atau kita bersepakat untuk memilih calon pemimpin yang memiliki keahlian sulap. Tapi, bukankah pemimpin dari masa ke masa juga sangat ahli dalam menyulap? Termasuk menyulap janji untuk tidak ditepati setelah menang?

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl