Iklan

Kebijakan Pendidikan Tinggi Dalam Cengkraman Developmentalisme

Lapmi Ukkiri
01 May 2021
Last Updated 2021-05-02T10:40:40Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
"Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia", (UUD 1945, Pasal 28 C ayat 1). 

Setiap orang berhak atas Pendidikan yang layak. Perkara demikian dapat dikategorikan bahwa pendidikan merupakan hak kebutuhan mendasar dan pemerintah merupakan instrumen yang wajib mengakomodir kepentingan rakyatnya dalam pemenuhan kebutuhan sesuai amanah dari intisari Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 tersebut.

Pendidikan dalam rujukan KBBI merupakan "Proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik". Hal tersebut mengisyaratkan bahwa Pendidikan merupakan pengembangan potensi. 

Amanah Pembukaan UUD 1945 dalam alinea ke-4 menjelaskan bahwa pendidikan sejatinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam sektor pendidikan sampai saat ini belum terealisasikan sebagaimana seharusnya. Justru sebaliknya, orientasi pendidikan khususnya pendidikan tinggi; lebih tersinkron dengan sektor ketenagakerjaan yang teknokratik. Selain itu, pendidikan tinggi seakan-akan tampil sebagai wajah developmentalisme yang menjadi dasar ideologinya.

Tak hanya itu, Pendidikan Indonesia juga dipengaruhi oleh regulasi Global. Bergabungnya Indonesia di World Trade Organization (WTO)  pada tahun 1994 menghasilkan perjanjian GATS (General Agreement on Trade in Services) melalui UU Nomor 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Perjanjian dengan WTO menghasilkan regulasi yang akibatnya 12 sektor jasa di perdagangkan. Di sinilah awal komersialisasi pendidkan Indonesia berlangsung. Pendidikan adalah salah satu sektor yang di perdagangkan melalui kebijakan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia (UU Nomor 7 Tahun 1994 Pasal 4 ayat 2 tahun 2014). (Antropologi Pendidikan, Developmentalisme dan Lonceng Kematian Ilmu Pendidikan, Askar Nur). 

Hal tersebut terbukti dari proses ratifikasi Structural Adjusment  Program (SAP) milik International Monetary Fund (IMF) untuk Indonesia melalui permohonan bantuan Presiden Soeharto pada tahun 1998 yang berimpilkasi pada sektor Pendidikan, dimana Pendidikan Tinggi Negeri diharapkan memiliki otonomi sendiri dalam pengelolaan pendanaan. Kebijakan Pendidikan Indonesia tidak terlepas dari World Bank, dengan semangat restrukturisasi pendidikannya. 

Sejatinya, ilmu pendidikan menjadi akar permasalahan dari pendidikan kita saat ini. Ilmu Pendidikan tidak lagi memberikan ruang lebih kepada siswa dan atau mahasiswa dalam mewujudkan dan membudayakan paradigma kritis. Akibatnya, mahasiswa lebih condong pada hal yang instan. Ilmu Pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pasar atau industri. 
Sejak dini, lingkungan keluarga menanamkan pengetahuan bahwa pendidikan untuk mencari pekerjaan bukan untuk mencerdaskan diri. Mendukung hal tersebut, pemerintah secara terang-terangan merumuskan kebijakan hukum (UU) sebagai legalitas. Seyogianya, hukum tampil sebagai wahana humanisasi. Paradigma hukum kritis menekankan bahwa antara teori dan praktik hukum harus sejalan. Produk hukum tidak semestinya disuntikkan oleh suatu ideologi untuk kepentingan politik yang menguntungkan segilintir orang. 
UU Pendidikan Tinggi (UUPT) Nomor 12 tahun 2012 adalah salah satu produk hukum yang tidak menjalankan amanah Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945. 

Hal tersebut terbukti dengan tidak dimasukannya Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945 dalam poin konsideran dan di dalam UUPT setidaknya terdapat 18 Pasal yang ditemukan bermasalah, diantaranya: Pasal 62-67Pasal 85-86 dan Pasal 91 (sumber: data pengurus DEMA UINAM Periode 2018-2019). 

Henry Alexis Rudolf Tilaar, mencatat bahwa dunia pendidikan Indonesia terlalu dikuasai struktur kekuasaan. Dampaknya, pemikiran dan ilmu pendidikan tidak dapat berkembang dan bahkan dikatakan telah mati. Kondisi pedagogi Indonesia sedang dibawah belenggu kekuasaan. 

Ilmu-ilmu humaniora tidak lagi diperhatikan, karena ilmu humaniora tidak memberikan sumbangsih terhadap bidang industri. Proyeksi tersebut mengisyaratkan pendidikan tinggi hari ini tidak lagi menjadi arena dalam memproduksi manusia yang berbekal kesadaran kritis. Kurikulum pendidikan formal dikonstruksi sedemikian rupa dengan tujuan menjauhkan mahasiswa dari paradigma kritis dan kerja-kerja kemanusiaan. 

Patutnya pendidikan merupakan proyeksi kemanusiaan. Yang diperjuangkan Paulo Freire dalam dunia pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis sebagai jalan menuju proses humanisasi. Pendidikan tidak boleh terlepas dari dasar-dasar kemanusiaan. Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan tinggi masih jauh dari dasar-dasar kemanusian. Komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tampak jelas dengan hadirnya produk hukum yang melegitimasi. Regulasi global yang disepakati tidak dapat dipungkiri sangat mempengaruhi sektor pendidikan hari ini. 

Ideologi developmentalisme telah membuat keberlangsungan pendidikan tinggi menjauh dari dasar dan tujuannya. Ilmu pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan ketenagakerjaan. Hal tersebut merupakan akibat dari developmentalisme terhadap ilmu pendidikan. Paradigma kritis harus terus dihidupkan agar pendidikan tidak semakin jauh dari dasar-dasar kemanusiaan dan cita-cita pendidikan itu sendiri.

Catatan : Tulisan ini merupakan hasil refleksi dari diskusi pendidikan seri #1 yang digelar DEMA Fakultas Adab & Humaniora Periode 2021-2022 pada tanggal 29 April 2021.
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl