masukkan script iklan disini
Oleh: Hilmi
Beribadah yang dipandang hanya dalam bentuk ritual-ritual formal saja seharusnya lebih dari itu, kita harus mampu menerjemahkannya secara komprehensif, jangan digiring kedalam pemahaman yang parokial, tetapi mesti kita terjemahkan secara dialogis.
Merefleksi kembali tujuan kita diciptakan ialah bagaimana beribadah kepada Allah, senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sayangnya beribadah yang sering dipahami dalam masyarakat hanya sebatas konteks ritual formal semata.
Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut:
"Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku." – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56.
Kata ya’bud di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal. Dengan memahami makna kata ya’bud hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata ya’bud di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita; untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud ya’bud (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba; melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.
Dengan menilik definisi tertinggi dari beribadah, harusnya kita mampu menerjemahkan bahwa segala aktivitas yang kita lakukan selama itu tidak melanggar syariat, kemudian disandarkan pada LILLAHI TA'ALA, itu mencakup bagian dari ibadah.
Melihat fenomena yang tidak jarang terjadi di masyarakat, dimana beribadah dipandang hanya dalam konteks ritual formal semata, harusnya kita mampu tampil bahwa buah dari ritual-ritual yang kita lakukan itu adalah bagaimana mampu melahirkan sikap dan perilaku yang mengedepankan nilai humanitas. Sehingga kita mampu meningkatkan keshalehan individual tanpa mengenyampingkan keshalehan sosial.
Dalam surah Al-maun juga dijelaskan orang-orang yang mendustakan agama adalah meraka yang menghardik anak yatim, dan juga tidak memiliki empati terhadap orang-orang miskin sehingga enggan memperhatikan, bahkan enggan memberi makan kepada mereka. Quraish Shihab menjelaskan ayat ini bahwa mengapa kebejatan sosial yang menjadi indikator utama orang-orang yang mendustakan agama, itu karena shalat dan ibadah ritual lainnya seharusnya akan membuahkan perilaku empati terhadap kaum mustadafin.
Ketika kita meninjau kembali perintah shalat dalam Q.S. Al Baqarah ayat 45:
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرْكَعُوا۟ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ
"Dan Dirikanlah Shalat dan tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk."
Seolah ada pesan yang ingin disampaikan secara tersirat dalam ayat ini bahwa kita diperintahkan mendirikan sholat secara berjama'ah, tidak sekedar meningkatkan keshalehan individual akan tetapi kita harus mengajak orang-orang untuk mendirikan sholat secara berjama'ah karena sebenarnya dalam sholat berjama'ah itu terdapat nilai humanitas yakni ketika kita sholat berjama'ah itu dipimpin oleh seorang pemimpin dalam sholat (Imam). Dan setiap perintah Imam itu harus kita ikuti setelah sang Imam melakukan gerakan dan mengajak para ma'mumnya untuk mengikuti gerakannya. Dari konsep sholat berjama'ah itu, hal yang bisa kita petik hikmahnya adalah bagaimana kita patuh terhadap perintah pemimpin, akan tetapi ketika kita menjadi seorang pemimpin harusnya kita memberikan contoh sebelum menyeru kepada kebaikan itu. Bukankah dalam Q.S. Ash Shaf ayat 3 dijelaskan bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang mengatakan kebaikan padahal ia sendiri tidak melakukannya.
Juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Di kisahkan bahwa suatu ketika datanglah seorang kelompok yang menceritakan dua karakter perempuan yang saling bertentangan. Mereka berkata: "Wahai Rasulullah ada seorang perempuan yang telah melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat secara sempurna akan tetapi ia sering melukai hati dan perasaan tetangganya". Jawab Rasulullah Saw: "Tempat perempuan itu di neraka." Kemudian orang-orang itu menceritakan lagi perempuan yang lainnya bahwa perempuan yang satu ini justru terkenal karena tidak melaksanakan shalat, puasa, dan zakat. Tetapi ia sama sekali tidak pernah melukai atau menyakiti hati dan perasaan tetangganya. Kemudian Rasulullah Saw menjawab: "Tempat perempuan itu di surga."
Dalam mencerna hadits ini perlu kehati-hatian bahwa hadits ini sama sekali bukan ajakan untuk meminimalisasi ibadah-ibadah ritual, ataupun tidak mengajarkan lebih mengutamakan ibadah sosial dibanding ibadah ritual. Akan tetapi mengedepankan ibadah-ibadah tidak mesti mengenyampingkan ibadah-ibadah ritual. Karena esensi dari hadits diatas merupakan penegasan bahwa tidak ada pemisahan antara ibadah ritual dan ibadah sosial, karena keduanya harus mewarnai kehidupan setiap muslim secara seimbang.
Oleh karena itu sebagai seorang muslim, harusnya kita mampu menampilkan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin. Ketika memandang Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin, harusnya Islam mampu tampil sebagai agama untuk semua manusia. Dimana kebaikannya terdistribusi keseluruh penjuru tanpa mengenal asas dan batas. Tak memandang ras, suku, bangsa, dan agama, baik yang murtad maupun muallaf.
Karena sejatinya manifestasi nilai humanitas itu tidak hanya berlaku pada etnosentris, tetapi bagi seluruh manusia. Dan kemudian kita beribadah berbuat baik dengan memaksimalkan segala potensi yang ada, segala perangkat yang kita miliki dalam rangka mencapai Ridha-Nya.
Tulisan ini pertamakali terbit di immgowa.org.