Memperlakukan Latar Tempat ketika Membaca Novel



Oleh: Naufal Mahdi
 
Ada narasi besar tentang kota pada ke empat novel ini: Seratus Tahun Kesunyian, Cannery Row, Cantik itu Luka, dan Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis. Membaca ke empat novel itu membuat saya menyadari bahwa, yang lebih penting dari tokoh adalah latar tempat di mana tokoh tersebut berada.

Macondolah yang lebih besar narasinya ketimbang keluarga Buendia. Atau Cannery Rowlah yang membentuk kehidupan Mack dan kawan-kawan begundalnya menjadi menarik. Begitu juga Halimunda dan Ilhѐus. Jika tak ada keduanya, tak ada kecantikan Dewi Ayu atau pesona Gabriela.

Ini menjadi menarik karena banyak dari pembaca novel hanya peduli pada tokoh atau penokohan yang dinarasikan di dalam novel. Misalnya saja, orang yang telah membaca Cantik itu Luka hanya peduli pada kecantikan keturunan Dewi Ayu.

Siapa yang peduli Halimunda? Halimunda tidak penting sebagai latar tempat di dalam novel tersebut. Halimunda hanya hiasan bahkan pajangan. Hampir mustahil membayangkan Halimunda sebagai tempat tinggal.

Pembaca hanya membayangkan Dewi Ayu sebagai sosok perempuan cantik yang pernah ditemui oleh pembaca pada kehidupan nyata, lalu merepresentasikan orang itu sebagai Dewi Ayu saat membaca Cantik itu luka.

Bagai mana jika Halimunda dibayangkan sebagai tempat tinggal, rumah, tempat di mana kita besar? Itu akan lebih menarik karena seluruh elemen yang ada pada tempat, atau katakanlah lingkungan sosial, di mana tokoh itu berada, membuat imajinasi dan proses pemaknaan menjadi lebih kompleks dan dinamis. Sehingga proses pembacaan tidak terkungkung pada pertanyaan sejauh mana narasi tentang Dewi Ayu di dalam novel Cantik itu Luka, melainkan juga sejauh mana Halimunda membentuk Dewi Ayu dan keseluruhan narasi novel.

Mengetahui tokoh itu penting, namun latar tempat yang membuat tokoh itu tumbuh adalah jauh lebih penting. Macondo misalnya, (saya tidak sedang membandingkan Macondo dan Halimunda. Siapa saya sehingga membandingkan keduanya?) narasinya membentuk beberapa tokoh yang begitu kompleks.

Di samping itu, banyak kejadian-kejadian, yang hanya bisa terjadi di Macondo, yang membuat cerita menjadi lebih menarik. Dari Jose Arcadio Buendia dan seluruh keturunannya sampai Aureliano, semua memperkokoh narasi Macondo pada Seratus Tahun Kesunyian.

Saya, saat membaca novel tersebut, sedang membayangkan berada di Macondo lalu mengendap-endap masuk ke rumah keluarga Buendia hanya untuk bertemu dengan Remedios si Cantik. Lalu, yang sudah membaca novel ini pasti tahu, beberapa hari kemudian saya akan mati karena pesona magis perempuan itu.

Berada di Macondo berarti berada dalam kesunyian. Macondo adalah kesunyian, ia menghukum penghuninya dengan segala aspek magis yang ia miliki. Bahkan ia membunuh seluruh keluarga Buendia.

Namun karena saya tak ingin mati hanya karena melihat perempuan tercantik di dunia, maka imajinasi saya terbang ke Cannery Row. Di sana, saya bertemu dengan kawan Mack. Di depan penginapan kawan-kawan Mack itu ada toko kelontong milik Lee Chong yang sewaktu-waktu akan saya rampok bersama kawan-kawan Mack. Saya suka berada di Cannery Row. Di sana saya hidup dalam ketegangan bersama para begundal.

Mack adalah orang yang piawai dalam bernegosiasi. Nalar menipunya bahkan mengalahkan seluruh penduduk kota Cannery Row—bagaimana mungkin ini bisa terjadi jika Mack tidak terkondisikan oleh masyarakat kota Cannery Row? Mack akan menjadi kawan yang baik karena bersamanya, hidup selalu beruntung.

Kira-kira begitu. Meski dibalik keberuntungannya ia selalu saja celaka. Mengetahui bahwa ia selalu celaka, imajinasi saya sebaiknya berpindah pada Ilhѐus. Saya sadar, bersama begundal seperti kawan Mack tidak selamanya menyenangkan.

Setelah meninggalkan Cannery Row, tibalah saya di Ilhѐus. Di sini penuh ambisi. Kota ini merepresentasikan kota-kota modern. Uang adalah nyawa bagi kehidupan orang di Ilhѐus. Setelah kebun kakao menjadi populer dan menopang tumbuhnya kota itu, seluruh warga kota menjadi antusias untuk terlibat pada pembangunan kota Ilhѐus. Mimpi mereka sederhana saja, mengumpulkan uang lalu membeli lahan untuk menanam kakao. Jika uang adalah nyawa bagi mereka, maka kakao adalah tuhan dari nyawa itu.

Saya lalu bertanya-tanya saat berada di Ilhѐus. Mengapa kota selalu mengungkung keinginan kita untuk ikut pada rencananya? Manusia mustahil bebas jika ia sudah berada pada kota. Seluruh elemen yang melekat pada kota akan menjadi bagian dari penghuninya juga. Itu yang terjadi pada Ilhѐus.

Bar-bar didirikan. Jalan-jalan besar juga dibangun. Hotel, sekolah, pelabuhan, semua yang bisa dibangun pasti dibangun. Tak adil rasanya jika kota tanpa masalah moral. Dan semakin tidak adil jika moral tidak dihubungkan dengan agama. Di Ilhѐus gereja dibangun namun tak ada yang peduli pada moralitas agama. Penduduk hanya ingin berada di bar untuk minum dan sesekali bermain judi atau memukul pantat gadis pelayan jika ia berjalan melalui mereka.

Tapi di Ilhѐus ada Gabriela. Ia menjadi perempuan yang sungguh menggoda di dalam kota itu. Saya tak ingin di Ilhѐus hanya untuk menemui para budak dari uang. Maka bertemu dengan Gabriela adalah alasan yang paling masuk akal untuk menghindari mereka.

Gabriela adalah “tambang emas” Ilhѐus. Gabriela menggoda seluruh penduduk Ilhѐus. Cemburu, dengki, cinta, dan segala macam perasaan melekat pada persepsi orang jika melihat Gabriela. Namun, saya tidak seperti mereka. Gabriela tidak begitu menarik perhatian saya. Alasan saya, mungkin karena semua orang ingin memilikinya ketika telah melihatnya. Dan saya adalah orang yang tidak kompetitif dalam hal merebut hati perempuan.

Membayangkan perubahan tokoh berdasarkan latar tempat adalah pengalaman membaca yang cukup menyenangkan. Banyak hal yang bisa mempengaruhi cara kita memandang tokoh—terutama manusia karena hampir pasti semua tokoh di dalam karya sastra mencitrakan manusia—dengan cara membaca demikian.

Saya percaya membaca karya sastra adalah membaca keragaman bentuk pengalaman manusia. Dari pembacaan atasnya pemahaman tentang kedalaman hidup dapat dilatih. Hidup dalam kedangkalan membuat manusia jauh dari hakikat hidupnya. Manusia tentu saja ingin hidup dalam kehidupan yang bermakna. Sastra sebagai jembatan untuk bisa mengakses kehidupan itu adalah arah yang harusnya dilalui.

Namun, manusia tidak bisa dipandang terpisah dari lingkungan atau tempat di mana manusia memperoleh kemenjadiannya. Pengalaman manusia dan tempat di mana pengalaman itu di alami saling berdialektika untuk membentuk identitas keduanya. Tempat membentuk manusia dan manusia membentuk tempat.

Saat ini kita sedang dalam kondisi dunia yang membutuhkan perhatian lebih terhadap tempat di mana kita berada. Baru pada masa sekarang kita dituntut lebih peduli terhadap lingkungan. Perubahan iklim yang sangat cepat membawa malapetaka baru bagi bumi. Dan manusia belum bisa menjamin ada tempat yang bisa ditinggali selain bumi. Jika rusak, di mana kita bisa bersuaka?

Dalam pikiran semacam ini, membaca novel dan menyadari bahwa latar tempat sangat penting untuk dipahami membuat kita bisa lebih memahami kompleksitas manusia. Bahwa manusia tidak hanya dirinya sendiri, tapi juga tempat dan seluruh istilah yang melekat pada kata tersebut.