masukkan script iklan disini
Oleh: Naufal Mahdi
Manusia modern adalah manusia biasa. Dia sangat bersosialisasi, namun, dia sangat kesepian (1), kata Erich Fromm. Kalimat itu adalah sebuah pukulan telak atas segala akses yang bisa kita dapatkan dari dunia yang serba gampang ini.
Kita bisa berkomunikasi lintas negara dalam hitungan detik. Jika kita merasa tidak ada yang bisa mendengarkan cerita kita di dalam rumah, kita hanya perlu mengambil gawai, membuka salah satu aplikasi media sosial, lalu di sanalah kita, tertawa di hadapan layar gawai dengan orang yang berada jauh dari kita yang juga sedang melakukan hal yang sama.
Akses untuk mendapatkan perhatian orang lain sudah bisa di dapatkan di mana pun. Kita hanya perlu memilih orangnya. Dengan semua kemudahan itu, apakah benar kita kesepian?
Perlu banyak waktu untuk merenungkan kalimat yang dikatakan oleh Erich Fromm itu. Sebagai salah satu manusia yang beruntung bisa mendapatkan segala kemudahan yang disajikan oleh dunia modern ini, saya merasa Erich Fromm hanya mengada-ada.
Erich Fromm hanya seorang lelaki tua yang menulis kalimat itu dengan perasaan cemburu yang membelenggu dirinya, karena tahu bahwa dunia akan bergerak ke arah yang lebih praktis sementara hidupnya sudah tidak lama lagi.
Saya adalah anak dunia modern. Bisa melakukan apa saja dalam waktu yang singkat. Orang dulu akan kesusahan ketika hendak meminum susu. Mereka harus punya sapi, memerah susu sapi itu, menuangkannya ke dalam gelas, barulah mereka meminumnya.
Saya tidak. Saya tinggal membuka kulkas, mengambil kotak karton kecil bertuliskan “susu bubuk”, mengambil sekitar dua sendok, lalu menuangkan air panas yang berasal dari dispenser. Saya nyaris tidak mengeluarkan tenaga berarti saat melakukan itu. Dan hebatnya, saya hanya di dalam rumah.
Saya tentu saja akan marah ketika ada seseorang yang berusaha menjelek-jelekkan segala kemudahan yang ditawarkan dunia modern ini, seperti kemarahan membabi-buta penggemar K-Pop kepada orang yang mengejek fanatisme mereka.
Kata-kata klise yang keluar dari mulut saya adalah, jangan menghina sesuatu ketika kau bukan menjadi bagian darinya dan saya akan membela mati-matian sesuatu yang telah membuat saya nyaman.
Lalu muncullah keraguan dalam diri saya. Apakah benar Erich Fromm bukan bagian dari dunia modern itu? Bukankah dia menuliskan kalimat itu ketika dunia sedang modern-modernnya? Apakah benar manusia selalu berada di luar dari pengalaman manusia lainnya? Ketika seorang penggemar K-Pop marah dan mengatakan, kalian jangan menghina kami karena kalian tidak pernah mengalaminya—apakah yang dikatakan oleh mereka itu sudah benar?
Bukankah pengalaman manusia terhubung satu sama lain sehingga membuat si penghina K-Pop bisa merasakan apa yang dialami oleh penggemar K-Pop? Kita tidak pernah benar-benar berada “di luar” pengalaman orang lain. Kita berada di dalamnya karena dunia kita sama dan terhubung.
Pelan-pelan saya mengakui bahwa manusia modern memang kesepian. Kita bahkan terlalu kesepian. Kita membutuhkan banyak cara agar kesepian itu teratasi. Ayah saya hanya butuh ibu saya ketika dia merasa ingin mencurahkan isi hatinya, entah itu urusan kantor yang berantakan, atau anak yang masih menjadi beban. Begitu juga sebaliknya.
Mereka tidak perlu mencari-cari perhatian kepada banyak orang untuk mendapatkan suaka telinga. Mereka hanya butuh satu orang. Setelah menceritakan kegelisahannya mereka tidak butuh orang lain lagi—tidak seperti kebanyakan orang sekarang: menjual kesepian untuk mendapat perhatian banyak orang.
Sekarang, kita membutuhkan banyak orang untuk menyingkirkan kesepian itu. Butuh ratusan pengikut Instagram untuk membuat kita merasa diakui dunia. Kadang juga kita tidak puas dengan banyaknya Pengikut itu.
Kesepian hanya bisa teratasi menggunakan rumus: carilah orang sebanyak-banyaknya untuk mendengarkan kisahmu dan carilah lagi jika kamu tidak mendapatkannya. Melalui kebiasaan seperti itu, kita hanya akan membuat kesepian menjadi sesuatu yang harus diproduksi bukan diatasi.
Lagi pula, hanya pada masa sekarang berbagi cerita dengan banyak orang—kadang dengan orang yang tidak kita kenal—merupakan sebuah kebutuhan. Ini diakomodasi oleh berbagai macam aplikasi media sosial. Fakta ini membuktikan bahwa kita memang sangat kesepian. Dan hanya orang yang sangat kesepian yang memerlukan perangkat lebih untuk mengatasi kesepiannya.
Hadirnya perangkat seperti sosial media membuat kita lebih mudah untuk mengatasi kesepian. Harusnya seperti itu. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Kita tidak merasakan kebersamaan di dalamnya. Hari terlewati dengan perkembangan media sosial yang semakin beragam bentuknya. Perkembangan itu malah membuat kita semakin kesepian saja.
Jika kita benar-benar memahami apa yang terjadi dengan kesepian kita di dalam media sosial, kita hanya akan menemukan kesepian tersebut berlipat ganda. Kebersamaan hanyalah sebuah kedok di dalam media sosial. Yang nyata adalah produksi kesepian massal.
Yang terjadi kemudian, tidak tercapainya keinginan untuk didengarkan orang lain akan menyebabkan konsekuensi besar. Kualitas untuk memecahkan masalah sendiri akan hilang karena kita menyangka akan ada orang lain yang membantu kita. Kita mengharapkan orang lain selalu hadir dalam penyelesaian masalah kita secara samar-samar.
Ini akan berdampak pada sesuatu yang lebih buruk: hilangnya kemampuan untuk menghadapi masalah sendiri. Memang benar bahwa ada masalah yang membuat orang membutuhkan orang lain dalam proses penyelesaiannya. Namun, melibatkan orang lain dalam semua penyelesaian masalah diri merupakan sebuah penghinaan atas kemampuan diri sendiri.
Akhirnya kita menganggap semua orang mempunyai utang penyelesaian masalah atas masalah yang kita miliki. Orang lain tidak lagi menjadi dirinya melainkan menjadi dokter pribadi kita. Mereka harus menyelesaikan masalah kita dalam hubungannya dengan kesepian yang kita alami.
Dampak ini bisa ditemukan dalam pengalaman kita sendiri dan masing-masing orang. Saya memiliki teman yang apabila dilihat secara kasat mata di media sosial kita bisa simpulkan bahwa dia hanya memiliki satu perasaan, yakni kesedihan.
Tiap hari mata saya diganggu oleh unggahan media sosialnya. Dia bersedih seolah kesedihan hanya miliknya sendiri. Saya cukup dekat dengannya. Suatu hari—untuk yang sekian kalinya—dia menceritakan masalahnya.
Saya tahu persis ketika dia bercerita saya bukan orang pertama yang menerima limpahan masalahnya. Saya selalu antusias dalam setiap perbincangan kami. Setiap kami selesai bercerita dia akan mengatakan, “saya akan berubah.” Dan saya tahu itu adalah sebuah kebohongan.
Suatu hari saya sedang melakukan sesuatu yang membuat saya sulit menerima keluhannya. Dia marah besar kepada saya. Sebuah kemarahan yang mengisyaratkan bahwa saya telah melakukan kesalahan besar.
Saya meredakan amarahnya dengan menyuruhnya bercerita kepada orang lain, persis seperti yang sering dia lakukan. Dia mengiyakan. Namun, tingkah lakunya kepada saya setelah itu sudah berbeda sama sekali.
Dalam kasus yang lebih ekstrem, dapat kita temukan seseorang akan melakukan tindakan kasar. Orang yang merasa tidak didengarkan akan memukuli orang yang tidak mendengarkannya. Kita banyak menemukan praktik ini.
Entah itu seorang perempuan yang dipukuli oleh laki-laki karena si laki-laki merasa tidak didengarkan—bisa juga sebaliknya—atau seorang junior yang dipukuli oleh seniornya di kampus karena si junior tidak mendengarkan sang senior.
Pelaku melakukan pemukulan karena kesepian dalam dirinya tidak teratasi dengan baik. Mereka menganggap orang yang dipukulinya itu adalah seorang pemberi solusi atas kesepian mereka. Orang akan menganggap kedua kasus tersebut tidak ada kaitannya dengan kesepian.
Mungkin itu adalah kasus ketimpangan kekuasaan. Namun, masalah yang melatarbelakangi pemukulan itu selalu karena si pelaku akan merasa kehilangan jika si korban tidak mendengarkannya. Latar belakangnya tetap kesepian.
Untuk membuatnya lebih hiperbola, saya akan mengutip dialog dalam film Se7en.
“Wanting people to listen you can’t just tap them on the shoulder anymore. You have to hit them with a sledgehammer and then you’ll notice you’ve got their strict attention.”
Dialog itu diucapkan oleh seorang pembunuh berantai dalam film tersebut. Banyak latar belakang mengapa dia membunuh banyak orang. Salah satunya adalah sulitnya orang-orang untuk “mendengarkan”.
Mengapa kita membutuhkan banyak pendengar dari yang sebenarnya kita perlukan? Apakah kesepian memaksa kita membutuhkan banyak orang untuk mendengarkan kita? Atau kesepian yang kita rasakan serang hanya pseudo-kesepian?
Dunia kita sekarang serba mudah. Namun, kesepian justru hal yang paling mudah didapatkan dari semua kemudahan yang ada.
Di sini, kita harus melihat ulang kesepian. Semakin banyak kesepian yang menghampiri hidup kita memaksa kita untuk lebih mengenali mana yang benar-benar kesepian dan mana yang bukan kesepian.
Kita juga perlu mengetahui bahwa tidak semua bentuk kesepian harus dibebankan kepada orang lain. Kesepian yang saya maksud adalah kesepian yang remeh yang banyak kita jumpai dalam unggahan di media sosial.
Ini akan membantu kita dalam menyelesaikan konflik antara diri kita dengan kesepian. Kita tentu tidak bisa memaksa orang untuk mendengarkan semua keluhan kita. (2) Kita dibekali untuk mengatasi kemampuan sendiri.
---
1. Seni Mengada, Erich Fromm
2. Kecuali kalau itu adalah sebuah gejala neurosis