Iklan

Dosen UGM Bicara Soal Asal Usul Kapitalisasi Pendidikan di Indonesia

Lapmi Ukkiri
13 January 2021
Last Updated 2021-01-13T02:30:31Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini


LAPMI, UKKIRI- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Adab dan Humaniora. Selasa, 12 Januari 2021, memulai sesi pertama webinar bilik pendidikan alternatif dengan mengangkat tema “Asal-Usul Kapitalisasi Pendidikan” yang dibawakan oleh Zita Wahyu Larasati Komunitas Omah Pohon, Dosen PSDK UGM sebagai pembicara. 

Dalam pemaparannya Zita menjelaskan bahwa Manusia tidak lagi dilihat sebagai subjek yang otonom tetapi sebagai objek. Sehingga manusia adalah modal (kapital). Tentu saja bila berbicara mengenai kapital, sesuatu belum tentu menjadi modal (kapital) bila tidak masuk ke dalam sistem dari produksinya.

Manusia dilihat sebagai objek bukan sebagai subjek sehingga itulah yang sangat mudah terekam dalam sistem pendidikan ini. Konseskuensi manusia yang dilihat sebagai objek dalam model ekonomi produksi itu menjadikan manusia harus dipersiapkan untuk masuk ke dalam pasar dunia kerja.

“Manusia dipersiapkan untuk menjadi modal produksi dan cara mempersiapkannya yaitu, dengan pendidikannya yang akhirnya dikontrol.” Ucapnya.

Mengacu pada perkataan Freire, bahwa pendidikan adalah alat politik dengan cara kerja menggunakan sistem bergaya bank. Sistem pendidikan bergaya bank menjadikan manusia pasif, manusia yang berada di dalam dunia tetapi tidak bersama dunia. Sehingga hanya menghasilkan manusia yang naif tetapi tidak bisa menghasilkan manusia yang kritis, karena manusia yang kritis adalah manusia yang memahami. 

“Di dalam buku Fransis Wahono mengatakan bahwa pendidikan itu memiliki dua mata yang satu akhirnya memerdekakan dan yang satu adalah pendidikan yang akhirnya menindas. Atau dalam bahasanya Freire adalah pendidikan bergaya bank, di mana pendidikan tersebut yang berkerja tidak hanya pasar dalam artian yang mengontrol tidak hanya pasar tetapi juga bisa negara yang mencoba mengontrol warganya agar tidak berpikir kritis .” ujarnya.

Zita yang juga merupakan dosen PSDK UGM juga menjelaskan bahwa di dalam pendidikan tidak harus kontrol secara langsung tetapi bisa juga melalui kebijakan-kebijakan.

“Itulah yang terjadi hari ini. Dan itu cara untuk mempersiapkan manusia memasuki pasar tenaga kerja. Hasilnya manusia tidak lagi bersama dunia, karena dia tidak mengenal masalah yang terjadi hari ini. Akhirnya kita menormalisasi situasi-situasi yang sebenarnya kita tahu tidak tepat. Dan manusia itu akhirnya menghidupi apa yang disebut dengan situasi batas. Inilah yang cukup mengerikan, karena pada tataran ini manusia akhirnya benar-benar tidak mengenal atau tidak berani berbicara atas nama dirinya sendiri, dia menghidupi saja situasi batasnya. Mau itu salah atau benar itu saja yang diterima tanpa melihat bagaimana sebenarnya sistem yang terjadi.” Paparnya.

Ketika berbicara mengenai pendidikan daring yang mana katanya, pendidikan daring memberikan kesempatan semua orang untuk bisa berbicara, untuk bisa mencari pengetahuan di mana saja tetapi ada banyak aspek yang bisa kritisi terlebih dahulu. 

Zita menjelaskan, “Bila pada akhirnya kebenaran itu hanya milik dari para pendidik berarti apa yang dikatakan bahwa, pendidikan daring ini memberikan kesempatan semacamnya harus kita pertanyakan karena akhirnya kita juga masih harus mengakui bahwa otoritas pengetahuan itu hanya dipegang oleh satu orang. Tetapi kita tidak pernah diajak untuk merefleksikan secara lebih lanjut, benarkah kebenaran yang disampaikan oleh dosen ini atau jangan-jangan masih ada kebenaran lain yang patut untuk dipertanyakan. Itu yang bahkan tidak dilakukan sampai hari ini di pendidikan yang katanya pendidikan lebih baik.” Tuturnya.

Senada dengan hal tersebut, Zita berkata bahwa dalam konteks Indonesia, kita bisa membahasnya dalam tiga babak. Babak pertama dari zaman Kolonial, babak kedua Pasca kemerdekaan dan yang ketiga adalah reformasi. Yang mana menurut Zita sebenarnya link and match antara pendidikan dan dunia usaha itu sudah terjadi bahkan dari zaman kolonial.

“Kita bisa lihat dari literatur-literatur, misalkan dari buku “Sejarah Politik Indonesia” yang diceritakan bagaimana akhirnya pendirian sekolah itu sebenarnya ditujukan untuk mempersiapkan kaum-kaum elit untuk dapat bekerja sebagai tenaga administrator di kantor pemerintahan Belanda. Itu sudah menunjukkan adanya link and match. Itulah yang terjadi di zaman kolonial.” Ucapnya.

Kebijakan pendidikan sekarang sebagai upaya untuk link and match mengakar begitu kuat. Kerja sama antara instusi pendidikan dengan dunia industri tidak hanya dilakukan di perguruan tinggi tetapi sudah dimulai dari pendidkan sekolah menengah hingga kejuruan. 

“Berbicara mengenai kapitalisasi pendidikan, sebenarnya kita mengakui pendidikan bukan lagi sektor pelayanan tetapi sektor jasa. Yang namanya jasa berupaya untuk mencari profit. Nah, di mana letaknya link and match. Link and match-nya seperti apa? Artinya ada yang harus diperbaiki.” Ujarnya.

Pada sisi lain, kita harus menyadari bahwa pendidikan kita tidak didasari oleh kesadaran, bahwa kita berupaya memanusiakan manusia tetapi pendidikan kita dasarnya adalah investasi.

Reporter: Nurfaida
Editor: Muhammad Syamsul Abdullah 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl