Suku Baduy Harmoni Nusantara


Oleh: Nuraida
Mahasiswi Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam
Suku Baduy adalah satu di antara banyaknya suku yang memilih tinggal jauh di pelosok Nusantara. Baduy atau Urang Kanekes merupakan sebutan untuk sekelompok  masyarakat etnis Sunda yang hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang di utus turun ke bumi. Asal usul tersebut sering pula di hubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.

Menurut kepercayaan mereka, warga Baduy mempunyai tugas untuk menjaga harmoni dunia. Kepercayaan ini di sebut dengan Sunda Wiwitan atau kepercayaan memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan.

Beberapa pakar sejarah juga berpendapat bahwa Masyarakat Baduy merupakan bagian dari Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Padjadjaran, atau di sekitar Bogor sekarang. Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung Barat pulau jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan sunda.

Banten sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar membuat sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu sebagai wadah pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Guna menjaga kelestarian sungai  maka pada saat itu, diperintahkanlah para tentara kerajaaan untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng, yang kemudian di yakini sebagai cikal bakal masyarakat Baduy yang hingga saat ini mendiami wilayah hulu sungai Ciujung di Gunung Kendeng.

Orang-orang Baduy  masih sangat kuat menggenggam tradisi turun-temurun dari leluhur mereka. Namuan, seiring perkembangan zaman, Suku Baduy terbagi atas dua golongan yang di sebut dengan Baduy dalam dan Baduy luar. Perbedaannya dapat dilihat dari cara hidup mereka, Masyarakat Baduy dalam sama sekali tidak mengizinkan penggunaan benda-benda di luar dari kampung mereka. 

Sementara itu suku Baduy  luar nampak  telah terkontaminasi budaya selain Baduy, mereka telah mengenal barang Eletronik sebagai alat bantu kehidupan sehari-hari. Meski begitu, suku Baduy luar dan suku Baduy dalam tetap memilih hubungan serasi dengan alam yang telah menjadi warisan sejak zaman nenek moyang. 

Hidup menyatu dengan alam membuat Masyarakat Baduy tak kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Suku Baduy hidup dengan sangat sederhana, dilihat dari tempat mereka tinggal yang hanya menggunakan potongan-potongan kayu sebagai penopang rumah, anyaman bambu yang di gunakan sebagai lantai dan dinding rumah, sementara bilah-bilah bambu dirangkai membentuk jembatan untuk menyebrangi sungai.

Bahan-bahan konstruksi semacam batu bata atau semen yang lazim digunakan di kota tidak akan ditemui di Baduy luar. Fungsi semen dan batu bata telah digantikan oleh kayu, bambu, dan bahan-bahan alami lainnya.

Selain dari itu, perbedaan antara suku Baduy dalam dan suku Baduy luar juga terdapat pada cara mereka hidup, suku baduy dalam bahkan tidak merokok dan menggunakan alat komunikasi seperti handphone (Hp). Untuk makan pun mereka membawa bekel dari rumah dan hanya memakan hasil tani dari perkebunannya. Sedangkan baduy luar, sudah seperti masyarakat pada umumnya.

Mereka merokok dan lelah mengenal alat komunikasi seperti handphone (HP), walaupun sama-sama tidak memakai alas kaki, baduy luar telah menggunakan alat transportasi yang di sediakan oleh pemerintah setempat (pemda), yaitu bus. Tidak hanya itu, suku baduy luar juga sangat lancar menggunakan bahasa Indonesia berbeda halnya dengan masyarakat baduy dalam yang menunggunakan bahasa turunan nenek moyang.

Ternyata tak sampai disitu, masyarakat baduy juga terbilang unik dalam penerapan pendidikan di kalangannya, ketika anak-anak di perkotaan di wajibkan mengenyam pendidikan sekurang-kurangnya selama 12 tahun.

Bukan tanpa alasan, ternyata pemerintah menginginkan masyarakat Indonesia tidak ketinggalan dengan Negara lain. Mengingat masyarakat ekonomi ASEAN sudah berlangsung sejak 2015, tapi peraturan itu tidak berlaku untuk masyarakat baduy, lalu bagaimana dengan masyarakat Baduy? Apakah mereka juga mendapatkan pendidikan? Mengingat untuk mendapatkan pendidikan sudah mudah.

Ternyata sampai saat ini suku Baduy belum menggunakan sekolah formal untuk pendidikannya. Bukan kerena mereka tidak mampu, tapi kerna mereka menjunjung tinggi adat serta kepercayaan leluhur mereka. Satu kepercayaan mereka yang begitu menarik bagi saya, mereka meyakini bahwa semakin pintar seseorang maka semakin pintar pula ia membodohi orang lain. Sejak kecil, anak-anak di suku Baduy sudah di ajarkan ilmu dasar agama, pemahaman hukum adat, dengan model pengajaran papagahan atau saling mengajar sesama warga.

Menurut ayah Musri salah satu pemuka adat di Baduy bahwa pendidikan memang penting untuk mencerdaskan anak bangsa, semua orang ingin besekolah, orang Baduy juga ingin merasakan sekolah formal itu. Namun menurut beliau, punya banyak sekali pertimbangan akan dampak yang akan terjadi apabila suku Baduy mendapatkan sekolah formal, seperti sekolah formal yang mengajarkan tugas untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan, yang akan mengakibatkan masyarakat Baduy akan meninggalkan kebudayaannya. Sebab itu masyarakat Baduy lebih menutup diri untuk pendidikan formal yang akan membahayakan keberlangsungan budaya Baduy yang sudah dilestarikan oleh nenek moyang mereka. Suku Baduy yang berada jauh dari pusat kota membuat pemandangan disana sangat asri, udara yang masih sejuk, dan pasti jauh dari jangkauan kedaraan. 

Maka, bayangkan jika masyarakat Baduy sudah mendapatkan pendidikan formal dan sudah terkontaminasi oleh uang dan kekuasaan. Mungkin alam yang selama ini mereka jaga sudah menjadi vila-vila mewah, jalanan di aspal, kendaraan berlalu lalang, anak-anak yang asik bermain gadgetnya masing-masing. Tidak ada lagi wanita-wanita baduy yang pagi dan sorenya berladang, atau anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki dibatu-batuan dan akan banyak kecemburuan social yang terjadi.

Tanpa pendidikan formal, suku Baduy sudah mencerminkan dan mengajarkan kita untuk hidup sederhana, menjaga budaya asli, melindungi alam, mematuhi hukum adat yang berlaku, dan gaya hidup yang teratur dan sehat. Berbeda dengan kita masyarakat kota yang hidupnya tidak teratur kerna tingginya tuntan hidup dan maraknya kesenjangan sosial antara warga.

Walaupun saat ini sebagian dari mereka telah mengenal uang, tapi tidak serakah seperti kita, sudah saatnya kita belajar dari mereka yang tidak mengenyam pendidikan formal tetapi memiliki ilmu yang tidak bisa kita dapatkan di pendidikan formal.

Bicara persoalan uang, kita mungkin penasaran bagaimana cara orang Baduy mendapatkan uang dan bagaimana cara orang Baduy mengelola lahan untuk mendapatkan makan. Pada umumnya, perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang.

Faktor internal yang mempengaruhi perilaku adalah latar belakang pengalaman individu, motivasi, status, kepribadian, dan lain sebagainnya; sedangkan faktor eksternalnya adalah lingkungan di sekitarnya. Perilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan objek tersebut. Dalam teori perilaku terencana, faktor yang mempengaruhi perilaku adalah keyakinan akan suatu hal, norma-norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dihayati.

Masyarakat Baduy menempati wilayah seluas 5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah. Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat di punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Pola kehidupan masyarakaat Baduy sangat di tentukan oleh aturan norma-norma yang berperan penting dalam proses kehidupaan sosial mereka. Aturan dan norma-norma yang berlaku membentuk homogenitas perilaku masyarakat.

Aturan dan norma-norma itu di jabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan penting sebagai alat pengayom bagi seluru warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tata tertib hukum, untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Homogenitas perilaku dapat dilihat dari kesamaan tempat tinggal, kepercayaan, mata pencaharian, pakaian, dan kehidupan sehari-hari dalam menyikapi alam lingkungan dan masyarakat luar.

Masyarakat Baduy sangat patuh terhadap norma dan aturan adat dalam menjalani kehidupannya. Aturan adat dan norma tersebut warisan masa lalu yang dipercaya dapat memberikan kebaikan jika di laksanakan dengan baik. Aturan adat dan norma ini mengatur semua hal dalam kehidupan mulai dari aturan mengelolah lahan pertanian, aturan hidup bermasyarakat, dan aturan memanfaatkan sumber daya hutan dan lingkungan.

Perilaku masyarakat Baduy diimplementasikan dalam berbagai kegiatan, seperti pengelola lahan pertanian, pengelola hutan dan perhatian pada lingkungan sekelilingnya. Masyarakat Baduy berpendapat bahwa dirinya di ciptakan untuk menjaga tanah larangan yang merupakan pusat bumi. Mereka di tuntut untuk menyelamatkan hutan titipannya dengan menerapkan pola hidup seadanya yang kemudia di atur oleh norma adat.

Oleh karena itu kegiatan utama masyarakat Baduy, pada hakekatnya terdiri dari pengelolaan lahan untuk kegiatan pertanian (ngahuma) dan mengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk perlindungan lingkungan. Tata guna lahan di Baduy dapat dibedakan menjadi; lahan pemukiman, pertanian, dan hutan tetap. Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun. Hutan tetap adalah hutan-hutan yang di lindungi adat, seperti hutan lindung kampung (hutan limbungan lembur) yang terletak di sekitar mata air atau gunung yang di keramatkan. Sedangkan, hutan tetap ialah hutan yang selalu dipertahankan keberadaannya.

Pekerjaan wajib yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah ngahuma (bertanam padi pada lahan yang kering). Pekerjaan ini bukan sekedar mata pencaharian masyarakat suku Badur, tetapi juga merupakan salah satu rukun Baduy. Oleh karena itu pekerjaan sehari-hari suku Baduy adalah menggarap setiap ladangannya.

Meskipun menjadi kegiatan yang wajib ternyata ada hari dimana masyarakat Baduy tidaak mengunjungi lading, yaitu pada hari jum’at dan minggu, yang biasanya di gunakan suku Baduy untuk kegiatan social di setiap kampungnya.

Kegiatan berladang merupakan kegiatan yang suci, kerna mengawinkan dewi padi atau Nyi pohaci sanghyang asri. Kegiatan berladangnya akan selalu di ikuti oleh upacara-upacara keagamaan yang di pimpin oleh ketua adat.

Namun ternyata ada beberapa larangan dalam kegiatan berladang bagi masyarakat Baduy di antaranya adalah; (1) tanah tidak boleh dibalik, maksudnya dalam kegiatan penanaman masyarakat Baduy dilarang mencangkul tanah. (2) dilarang menggunakan pupuk dan obat-obat kimia. (3) larangan membuka lading di sekitar kawasan hutan tua. (4) waktu pekerjaan harus sesuai ketentuan, tidak saling mendahului. Ketentuan dan tata cara berladang yang sifatnya mutlak, yang kemudian di tentukan secara musyawarah oleh ketua adat di Baduy.

Prinsip sederhana yang tertanam pada diri masyarakat suku Baduy membuatnya tak serakah dalam menunaikan kegiatan wajib berladang di suku Baduy. Masyarakat Baduy hanya melakukan satu kali panen dalam setahun, itu bertujuan agar masyarakat Baduy tak kelelahan dalam bekerja dan tetap bias menikmati waktu bersama keluargannya. Meski begitu masyarakat Baduy tak pernah kekurangan makan ataupun kebutuhan hidup lainnya. 

Dari masyarakat Baduy kita bisa belajar bagaimana pentingnya menjaga alam sebagai tempat lahirnya kehidupan, hidup sederhana dan mencintai alam, serta patuh akan aturan. Mereka yang kuno ternyata lebih maju dari mereka yang modern kerna mampu hidup dengan sederhana.