Tetangga hingga Tetes Terakhir

Pic from Google.com

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah
(Direktur Eksekutif @salajapustaka Institute)

Keluarga besar Bapak Abram melangsungkan do’a takziah yang ke tujuh hari. Pak Abram meninggal di luar kota, betapa sontak mendengar berita itu. Banyak yang mengira bahwa Bapak Abram meninggal tiba-tiba, walaupun faktanya ia meninggal dunia karena kolesterol, asam urat, dan komplikasi yang diderita lama. 

Haji Fiha: “Ahh kaget saya dengan kematian Pak Abram, lah kenapa mayatnya tidak dikubur di kampung sini saja?” 

Haji Fiha membuka percakapan, mata julitnya lirik-melirik ke arah rumah duka.

Rehu: “Lah kan dia meninggal di kampungnya sendiri di sana, biar aja dikuburkan di sana. Sekarang kan sedang merebak perang biologis, banyak virus di mana-mana. Masyarakat tidak bisa sembarangan keluar masuk kota atau daerah, pemerintah melarang kita bepergian. Apalagi mayat?” 

Rehu adalah seorang PNS yang kebetulan juga orang yang baru pindah ke desa itu.

Dobe: “Yaa iya sih. Tapi kasihan Tua Umi ditinggal sendiri di rumah, apalagi sekarang dia sakit-sakitan. Seharusnya ada orang yang memperhatikan ibu Pak Abram itu kan. Pembantu rumahnya juga sudah lama tidak bekerja lagi di rumah itu”.
 
Haji Fiha: “Pak Abram bukan orang asli kampung sini, tapi kan dia sudah sangat lama di sini. Saya sangat setuju kalau mayatnya dikubur di sini. Apalagi ada anak-anak, keluarga besar dari istri dan saya kira kita kan teman baiknya di sini. Aaaahhh betapa sayangnya”.

Dobe: “Tapi Aji, ada surat wasiatnya!”.

Rehu: “Haaahh? Waaassiaaatt?”

Haji Fiha: “Wasiat apanya?” Sontak bersamaan Rehu dan Haji Fiha kaget melempar tanya.

Dobe: “Iya Aji, Hu. Dia sudah menulis wasiat untuk tidak dikuburkan di kampung atau di tanah tempat lahirnya. Pokoknya di mana dia meninggal, di sana mesti dikubur. Saya dengar begitu sih”.

Di tengah seru pembicaraan bisik-bisik itu, dengan santai Pak Arif melaju pelan dengan motor tua Supra X miliknya sambil menyedekahkan senyum kepada mereka.

Haji Fiha: “Alaah, Ari tahunya hanya keluar kota ke kampungnya sendiri. Dia tega tinggalkan itu Rifa, Ana, Dita sama kakak-kakaknya di rumah. Paling itu Ari saya yakin seribu persen sudah menikah sembunyi setelah tiga tahun istrinya mati. Anaknya kelaparan, itu sudah kurus-kurus semua badannya. Tidak terurus”.

Rehu: “Tidak ada tanggung jawab. Enak-enak aja dia. Itu gayanya sok tenang sekali, padahal banyak masalahnya itu. Daasaar! Huuh”.

“Ayah kan selalu kirimi uang, juga kebutuhan. Kok saya punya tetangga sebaik mereka itu ya?” Rifa mematung di samping tembok rumah memegang selang air yang sedari tadi air membasahi pot bonsai Sentigi milik Ayahnya. Tatapan kosong Rifa menyasar Haji Fiha yang melipat kedua tangan di dada beserta para sobat karibnya.