Covid-19; Antara Virus Yang Menakutkan dan Kurikulum Kehidupan

 

Oleh Yuliani

(Guru pada MTs.N Barabai Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan dan Anggota KAHMI Cabang Banjarmasin) 

 

Pengalaman ini ditulis bukan bermaksud untuk menceritakan problematika keluarga, tetapi bertujuan untuk berbagi informasi dan pengalaman suasana psikologos dan upaya-upaya yang ditempuh seseorang dinyatakan terkonfirmasi positif covid.19. Tulisan dibawah ini adalah pengamalam empiris yang kami setelah kami sekeluarga berdasarkan uji swab dinyatakan dipositif covid-19, sebuah kenyataan pahit yang harus kami hadapi di saat pandemic covid.19 menunjukkan trennya yang terus menaik. 


Psychological Turbulence 


Seperti biasanya, hari-hari kami selalu dilalui dengan kebahagiaan dan kebersamaan. Kemana-mana kami selalu jalan bareng bersama keluarha. Shalat, makan, keluarga rumah (ngebakso) bareng, jarang sekali kami jalan sendiri-sendiri. Kebiasaan ini terhenti saat 20 Juni 2020, suamiku terserang demam, batuk dan pilek. Dia sudah mencoba mengkonsumsi obat tetapi tampaknya tidak ampuh sehingga belum kelihatan sembuh. Melihat gejala seperti itu, saya berinisiatif membawanya ke dokter dikasih obat. Anehnya, bukan sembuh tapi malah tambah parah, dan saking parahnya suami saya mengalami kesulitan bernafas, dan penciuman pun hilang. Berhari-hari suamiku tidak bisa tidak tidur karena terganggu oleh batuk dan kondisi yang tambah buruk. 


Aku mulai curiga dengan apa yang dialami suamiku. Aku pun kemudian kembali lagi membawanya ke dokter. Dokter pun menyarakankan untuk langsung dibawa ke UGD, mengingat obat yang dikasih dokter bukannya sembuh malah tambah parah. Sesampainya di RS, suamiku langsung dibantu dengan oksigen dan dirapid, dan hasilnya pun reaktif. Maka otomatis dia harus harus menjalani isolasi. 


Mengetahui suami harus diisolasi, hatiku sudah mulai tidak nyaman, pikirankun terbang menerawang bertanya-tanya apakah yang akan terjadi kemudian. badanku gemetar lemas membayangkan bagaimana langkah selanjutnya. Tapi aku berpikir, aku harus kuat, aku harus menerima kenyataan bahwa suamiku ditakdirkan Allah untuk dihinggapi oleh covid-19 ini. Aku mendaku dalam, dan berdoa semoga Allah swt menguatkan batinku. 


Air mataku menetes pelan saat kutinggalkan RS dimana suamiku diisolasi, karena ruang isolasi tidak boleh ditunggu oleh keluarga pasien kecuali paramedic covid.19. Setiba di rumah, aku disambut oleh kedua anakku yang tampak bingung melihat perubahan psikologisku. …Bagaimana kabar ayah ma?, Itulah pertanyaan mereka pertama kali. Aku pun menjelaskan keadaan sesungguhnua dan kulihat wajah anak-anak dirundung duka. Duka anak-anak yang terpancar dari air muka mereka, membuatku semalaman tidak mampu memejamkan mataku. 


Setelah suamiku di RS kami bertiga dirumah juga langsung mengisolasi karena mulai merasakan gejala covid pada tubuh kami. Akhirnya, 3 hari kemudian pihak puskesmas menelpon kami untuk melakukan rapid. Keesokan harinya kami dirapid dan hasilnya kami semua reaktif. Jadilah hari-hariku bersama anak-anak seperti berada di dalam penjara meski kami berada di dalam rumah sendiri. 


Setelah seminggu suamiku berada di rumah sakit, dia diizinkan pulang ke rumah untuk melanjutkan isolasi. Pihak RS membolehkan isolasi mandiri di rumah karena ada kamar yang di dalamnya memenuhi persyaratan isolasi mandiri seperti adanya kamar mandi, dan toilet dan lain-lain. Meski berada di rumah, suamiku harus berada di kamarnya sendiri tanpa berinteraksi dengan kami semua yang jua sedang melakukan isolasi mandiri. 

 

Beberapa hari kemudian pihak puskesmas menghubungi kami kembali untuk melakukan uji swab, setelah debelunya dinyatakan reaktif. Meski kami sudah berupaya mengikuti anjuran dokter puskesman agar hasil rapid yang reaktif itu bisa berubah negative, namun kenyataan berkata lain. Setelah uji swab keluar, ternyata kedua anak-anakku dinyatakan positif covid. Oleh tim medis, hanya saya yang dinyatakan negatif. 


Menghadapi kenyataan ini, kesedihanku membuncah. Kondisi ini diperparah dengan kondisi lingkungan sosial yang mulai kurang kondusif dimana teman-teman dan keluarga mulai menjauhiku. Aku tidak menyalahkan mereka, bahkan aku sangat mengerti dengan sikap mereka yang khawatir dengan keberadaan diriku yang masih serumah dengan anak dan suamiku yang terpapar covid. Mereka tidak mengetahui kalau kami berbagi tempat, tidur pisah, kamar mandi pisah, makan pisah dan kami dirumah selalu pakai masker, tapi tetap saja mereka menjauhiku. Sakit rasanya, tapi apa mau dikata, aku mengerti mereka tidak ingin mengalami apa yang kami alami. 


Kebaikan tak Berbatas 


Meski demikian, ternyata masih ada juga orang-orang yang sangat berempati kepada kami. Mereka selalu menyapa kami dan kadang menyiapkan makanan kepada kami. Mereka adalah obat alternatif penyembuhan kami. Semangat, doa dan sapaan mereka menambah kekuatan kami semua untuk tetap tegar menghadapi kenyataan ini. 


Lebih dari itu, perubahan peraturan covid.19 yang baru saja dirilis oleh pemerintah mengakibatkan anak dan suamiku tidak diwabb lagi. Jadi setelah hasil swab diketahui positif hanya diisolasi di rumah selama 10 hari, sembuh atau tidaknya tidak diurus lagi. Meski kondisi ini membuatku was-was, namun justeru bagi tetanggaku ini merupakan kabar gembira, karena mereka sangat berharap suamiku kembali dapat mengurus mushalla tempat shalat jamaah di kampung kami, dan mereka sudah meyakini bahwa suami saya sudah sembuh dari covid setelah dirawat di RS dan isolasi mandiri di rumah. 


Sejak suami saya terpapar covid-19, selama hampir dua bulan hanya pernah 2 kali terdengar adzan. Sebenarnya banyak jemaahnya, namun mereka tidak mau menjadi imam, mereka hanya mau menjadi makmum di Mushallah. Penghargaan yang tinggi dari masyarkat kepada suami semacam ini membuat imunitas semakin membaik dan harapan untuk segera keluar dari probelamtika covid ini semakin nyata. 


Akhirnya saya menyadari bahwa Allah sangat sayang kepada kami. Kami memang dipilih Allah, bukan untuk sekadar menyaksikan hadirnya pandemi yang sangat menakutkan ini, tetapi juga dipilih oleh Allah untuk langsung merasakan apa dan bagaimana serangan covid.19 tsb. Bagi keluargaku, ini merupakan ladang introspeksi diri selama hidup di dunia ini. Selama ini tidak ada cobaan yang berat dirasakan. 


Kali ini Allah memberikan kurikulum kehidupan baru yang mungkin dapat menambah kekuatan iman dan takwa kami kepadanya. Saya menghimbau agar masyarakat selalu taat kepada anjuran pemerintah (ikhitar Bayani), juga saling berbagi dengan sesama (ikhtiar burhani) dan jangan lupa selalu membaca amalan-amalan kalimah thayyibah (ikhtiar irfani).