Tipuan Patriarki Dalam Kajian Psikologi Perempuan


Oleh Wa Ode Nurfadilla andi

Dalam Buku “The Stronger” by August Strindberg 

Seorang perempuan pasti akan merasa terdesak dan tertekan pada waktu dia harus memilih untuk melepaskan atau bersikap kuat dan bertahan atas apa yang dia miliki, dengan alibi bahwa apa yang dia miliki adalah sesuatu yang berharga dan pantas mendapat perlindungannya. Mungkin suatu peristiwa dapat terlihat absurd dan sederhana dari sikap seorang perempuan tapi dibalik itu kita akan mendapatkan tekanan karakter yang kuat atas kehidupan seorang perempuan seperti yang digambarkan oleh August Strindberg lewat tulisannya yang berjudul “The Sronger” dengan relasi waktu penulisan kurang lebih 1 bulan yang dimulai sejak Desember 1888 hingga Januari 1889.

August Strindberg dengan nama panjang Johan August Strindberg merupakan seorang penulis dan dramawan yang terkenal di Swedia, namanya bahkan gegar diseluruh penjuru dunia. Di Swedia dia bahkan mendapat julukan “Father Of Swedia Literature”. Ditahun 1888 dia mulai menuliskan The Stronger yang kemudian banyak dijadikan naskah drama diberbagai tempat teater tentunya tidak terlepas dari gaya penulisan aliran August Strindberg yakni Naturalisme dan Ekspresionisme.

Jika secara teoritis kita menganalisis The Stronger maka pendekatan paling relevan yang digunakan adalah memakai pendekatan psikologi wanita dimana cakupan diskusinya membahas tentang peran gender, gaya ego, perang sesama gender, seksualitas dan harga diri seorang wanita.

Dalam karakter penulisan The Stronger yang absurdisme dan naturalistic menampilkan dua sosok perempuan yang saling bertemu dengan setingan sebuah cafe dihari tepat malam natal. Sosok perempuan tersebut tidak memiliki nama hanya diberi tanda Mrs. X dan Ms. Y, dimana Mrs. X bermain sebagai tokoh protagonis yang seakan-akan mendominasi dan memiliki peran kuasa yang besar atas dialog bersama Ms. Y, disisi lain, Ms. Y sebagai sosok inferior atau sosok lemah yang mau didominasi tanpa berkata sepatah katapun dia hanya mampu menampilkan gerak dan reaksi.

Situasi ini digambarkan begitu absurd karena dia menceritakan dialog antara perempuan satu dan yang lain tapi nyatanya Nampak seperti monolog dimana Mrs. X yang melakukan peran monolognya kemudian menjadikan Ms. Y sebagai Object. Perseteruan ini dimulai saat Mrs. X menemukan bukti perselingkuhan suaminya dengan Ms. Y kemudian dia mulai memaki dan mempermalukan Ms. Y. Tapi disaat yang sama Ms. Y tampak tenang atas tudingan dari Mrs. X kepada dirinya.

Reaksi Ms. Y menandakan bahwa dirinya tidak merasa bersalah karena merasa dirinya benar, dia merasa bahwa pilihannya adalah sebuah kebebasan yang dia miliki dan tak seorangpun mampu membuat intervensi diluar otoritas dirinya, disaat bersamaan dia juga merasakan gelisah ketika dia harus melepas suami dari Mrs.X sebab itu tandanya dia harus mempertahankan status singlenya lebih lama lagi.

Tekanan batin antara kedua sosok perempuan ini begitu bergejolak namun mereka memilih untuk saling menyembunyikan luka dan kelemahan masing-masing karena persoalan ego atas kebenaran yang mereka miliki.

Dari kaca mata feminis, kita melihat bayangan lain bagaimana dunia perempuan dipengaruhi habis-habisan oleh konstruk patriarki yang superior. Dalam cerita The Stronger sebagaimana ketakutan atas ancaman suami Mrs.X yang selingkuh dengan Ms.Y kepada Mrs.X yang pada kenyataannya laki-laki berselingkuh itu salah tetapi Mrs.X harus terpaksa menyalahkan perempuan lain yang kemudian menyalakan api perang sesama gender. Begitu kuatnya genggaman patriarki atas perempuan sehingga mereka rela mengiris luka untuk diri sendiri demi nama baik sebuah keluarga yang telah dibangun dan juga anak-anak yang dipikirkannya untuk tidak tumbuh bersama kedua orang tuanya.

Tanggung jawab keluarga seakan sepenuhnya tumpah kepada seorang ibu rumah tangga, ketika anak-anak ataupun suami melakukan kesalahan itu tandanya seorang ibu rumah tangga gagal dalam membangun kedamaian dan kebahagiaan rumah tangga seperti kritik Mary Ann Ferguson dalam titah the submissive wife dimana seorang perempuan ideal adalah dia yang mampu membuat bahagia dan damai sebuah keluarga tanpa memperhatikan posisi perempuan tersebut yang menjadi korban eksploitasi dalam keluarga ataupun kemasyarakat.

Begitupun dengan Ms.Y yang dengan egois mempertahankan kebenarannya atas pilihan yang telah dia buat dengan kecemasan bahwa ketika dia meninggalkan suami Mrs.X maka dogma masyarakat atas kegagalan dunia percintaannya yang kandas diusia yang telah matang untuk membina rumah tangga akan menjadi hinaan luar biasa baginya.

Untuk menutupi kecemasan dan ketakutannya dia memilih untuk bungkam dan berusaha bertahan dengan alasan bahwa suami Mrs.X yang telah memilihnya dan dia berhak untuk menerima sebab dia adalah perempuan single yang merdeka atas dirinya sendiri padahal dia jelas adalah objek sasaran laki-laki yang dimanfaatkan sebagai selingkuhan dan juga menjadi sasaran amarah atas seorang istri yang telah diselingkuhi.

Perang gender pun tak terelakkan, saling menyalahkan dan tak ada yang ingin merasa bersalah antara Mrs.X dan Ms.Y realitanya mereka sama-sama diperalat oleh sebuah sistem yang sudah berakar rumput dimasyarakat yakni sistem patriarki.

Siapa yang kuat sekarang? Jika jawabannya Bukan Mrs.X bukan pula Ms.Y, lalu siapa? Yah, dia adalah seorang laki-laki yang menjadi suami Mrs.X dan selingkuhan Ms.Y yang memiliki kekuatan sistem terbesar didunia yakni sistem patriarki yang menjadikankan dia sebagai superior kemudian Mrs.X dan Ms.Y sebagai inferior yang tak berdaya atas tekanan moral yang dibuat oleh orang-orang patriarki.

Jika melihat dari kritik sastra dengan pendekatan teori psikologi perempuan kita akan menemukan tekanan psikis terhadap perempuan, menjadikan perempuan sebagai subjek dan suami Mrs.X Sebagai objek tapi pada kenyataannya ketika kita menelaah lebih jauh yang menjadi objek adalah perempuan atas subjektifikasi dari sistem patriarki.

Ketika membuka kaca mata yang lebih lebar lagi lewat pandangan feminis akan kita temukan sarang patriarki yang tidak nampak namun diam-diam membuat tirani baru yang sifatnya lebih eksploitatif dan tidak berperikemanusiaan.

Inilah makna lain yang bisa kita dapatkan dari cerita The Stronger dengan peran yang sangat absurd namun kekuatannya mampu menyentuh dasar pemaknaan yang tak mudah tersentuh. Dengan kata lain sebuah sistem tidak mesti tampil dan berbunyi ketika ingin melakukan ekspoitatif, membuat sistem yang halus dalam mengekspoitas lebih mudah berjalan daripada nampak, sebab sistem ini melakukan hegemoni pikiran yang bisa berlangsung dan bertahan hingga jutaan tahun.

Maka dari itu penting untuk mempelajari studi tentang psikologi perempuan dan mendapat solusi atas permasalahan mereka.

Sosialisasi juga dapat membantu perempuan-perempuan yang telah menanam dogma yang salah dan timpang dalam masyarakat seperti kata Naomi Wolf dalam buku Gegar Gender sesungguhnya perempuan memegang kendali kuat atas sebuah negara dengan massa terbanyak daripada laki-laki, gegar gender yang terjadi diberbagai negara ditandai dengan runtuhnya kekaisaran maskulin itu diakibatkan oleh perlawanan perempuan akibat dari seorang laki-laki yang menyepelekan persoalan kekerasan seksual akibatnya posisi kaum maskulin yang selama ini dipertahankan pun runtuh tersapu oleh amukan massa perempuan yang menuntut keadilan.