Menuju-Mu


Oleh Nurfaidah

Sebagai perempuan, tentunya kita pasti akan merasa senang ketika bisa memiliki pasangan yang memenuhi kriteria. Tidak mesti masuk kriteria pun, bila berjumpa dengan lelaki rupawan, baik hati, berprestasi, pandai berceramah, indah suaranya pada saat mengaji, kecil kemungkinan kalau perempuan tidak tertarik.

 Mungkin itulah yang membuat aku merasa bahagia bisa memiliki Ridho sebagai pasanganku. Apalagi Ridho begitu digemari banyak perempuan di kampus terutama di fakultasnya sendiri, ia bahkan terkenal di kalangan para birokrasi berkat prestasi dan sifat ramahnya.

Aku bertemu dia kampus yang sama, tepatnya ketika aku ingin membayar uang spp yang saat itu ternyata uangku entah jatuh atau hilang di mana, maka Ridho adalah orang yang dengan baik hati menawarkan bantuannya.

Sebenarnya aku akan merasa biasa saja setelah dia membantuku kalau saja ia tidak mengajakku untuk mengobrol sebentar, katanya. Dari obrolan itulah kemudian Ridho meminta nomor whatsappku, katanya untuk menambah teman saja. Tapi, seminggu berlalu sejak kejadian itu Ridho semakin sering menghubungiku, menanyakan keberadaanku, menawarkan tumpangan untuk pulang, mengajakku makan bersama, hal-hal itu membuatku pada akhirnya luluh.

Tidak lama setelah masa pendekatan itu aku akhirnya menjalin hubungan dengan dia, menerima dia sebagai pasanganku. Layaknya pasangan pada umumnya kami terkadang makan bersama di cafetaria kampus, keluar untuk sekedar jalan-jalan melepas penat dari rutinitas dunia kampus, atau paling sering malam mingguan.

Semua itu adalah hal yang biasa kami lakukan. Sampai hari di mana, hal yang tak pernah kusangka dalam hidupku terjadi. Aku merasa sangat malu dengan hal itu, malu dihadapan orang tua juga keluarga, harga diriku hancur dalam semalam. Apakah aku bisa menanggung semua ini? Aku bingung, aku tidak tahu harus bagaimana dengan keadaan ini.

Hari itu di kampus tiba-tiba saja perutku terasa begitu sakit sampai melilit rasanya, pusing pun kian menderaku, sampai sahabatku datang dengan wajah paniknya melihat kondisiku. Ketika dia bertanya kenapa aku bisa seperti ini, aku yang takut akan sesuatu hal yang kusembunyikan pun hanya mampu mengatakan mungkin ini karena nyeri menstruasi. 

Wajahnya berangsur-angsur tenang sambari terus memijat kepalaku. Barulah setelah adzan ashar saat perkuliahan telah selesai aku bangkit dari rebahku dan pamit ke sahabatku ingin balik ke kost.

Setibanya di kost aku mencoba menghubungi Ridho tapi, teleponnya tidak aktif, chatku hanya centang satu, entah Ridho sedang kemana disaat aku butuh membicarakan hal serius dengannya. Aku tahu, saat orangtuaku mengetahui apa yang kusembunyikan ini, mereka akan sangat malu.

Pikiran burukku mengatakan aku akan dibenci dan diusir dari rumah. Tidak lagi diharapkan untuk kembali. Rasa sesal ini memang tiada guna. Ibu, anakmu sedang menahan tangis.

Mungkin saja karma sedang berjalan menuju ke arahku, karma akan segera menjemputku. Sedikit lagi tangisku pecah sementara bibirku kian biru tersebab gigitanku semakin kuat nian.

Aku takut, apa yang akan terjadi bila kabar ini tersebar, desas-desus para penggibah mampu membunuhku dalam sekejap. Pikiranku penuh dengan kesalahan dan cara menempuh penebusan. Haruskah aku meninggalkan dunia ini dengan cara paling tragis atau tetap hidup di dunia dengan cara paling tragis pula.

Kini tubuhku begitu dingin dipeluk angin malam, sebab tak ada yang peduli. Kuambil handphoneku di atas nakas, bagaimana pun hal ini tidak akan lama untuk tetap disembunyikan.

Aku berusaha menelpon Ridho yang untungnya diangkat, kukatakan bahwa kita berdua perlu membicarakan sesuatu hal yang serius untuk itu Ridho perlu menemuiku di kost sore ini, Ridho menyanggupi.

Tak berselang lama, Ridho tiba di kostku. Ridho terkejut saat kukatakan bahwa aku hamil. Kemudian Ridho menanyakan kehamilanku, aku mengatakan bahwa kehamilanku sudah empat bulan dan aku ingin Ridho memberitahu orang tuanya, tapi Ridho tidak mau. Katanya, tunggu dia pulang baru ia memberitahu orang tuanya.

Karena tidak setuju, aku kemudian mengambil handphoneku hendak menelepon orang tuaku tetapi Ridho lebih dulu merebutnya dan mengatakan bahwa hanya ada dua kemungkinan, kalau bukan dia yang mati maka aku yang mati.

Ancamannya itu tidak membuatku gentar, aku balik menantang. Kalau begitu, maka bunuh saja aku. Aku kemudian berbaring dihadapannya. Dengan tersulut emosi Ridho menutup wajahku memakai bantal, saat ia sadar bahwa aku masih bernapas aku melihat Ridho kemudian berjalan ke dapur mengambil pisau. Setelah berada di sampingku, ia terang saja menekan pisau itu ke leherku dengan tangannya.

Aku masih sempat melihat Ridho berjalan keluar dengan membawa pisau itu dari kostku sebelum semuanya sempurna gelap gulita.

Sebab ibu jauh di sana tak tahu apa-apa tentang anakmu ini...