Konflik Sosial Dan Agama Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari


Oleh Nurfaidah

Judul: Maryam
Penulis: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Keempat, Agustus 2017
Tebal: 280 halaman
ISBN: 978-979-22-9384-5

“Semua sama saja. Tidak ada yang berani membela kita.” -Halaman 271

Maryam merupakan novel ketiga dari Okky Madasari. Awalnya, melihat dari cover novel ini saya mengambil kesimpulan bahwa novel ini akan menggambarkan tentang seorang anak perempuan dan segala hal tentangnya.

Tetapi kenyataannya Maryam adalah novel yang mengangkat cerita tentang kritik sosial yang ada di masyarakat.

Seperti yang ada di dalam buku tersebut, betapa sulitnya hidup sebagai seorang Ahmadiyah. Maryam, adalah salah satunya. Perempuan yang digambarkan dengan wajah cantik, cerdas, serta pemberani. 

Sementara menjadi Ahmadiyah bukanlah pilihan hidup Maryam. Ia terlahir dan dibesarkan dalam keyakinan tersebut. Hingga kemudian kebenaran relatif (external determination) dari lingkaran kehidupannya di kota rantau membuat Maryam goyah pada keyakinannya yang dicap sebagai ajaran sesat.

Saya sebenarnya merasa cukup kesulitan dalam mengulas novel ini, apalagi novel ini terkait juga dengan keberagamaan. Yang umumnya, kita tahu terlalu sensitif membahas agama. Salah ucap sedikit, bisa jadi konflik antar agama.

Singkatnya, Maryam mengenalkan pacarnya yang bernama Alam yang bukan seorang Ahmadiyah. Dari sini mulailah perdebatan dengan orang tua Maryam terjadi. Orang tua Maryam menyuruh untuk meninggalkan Alam. Tetapi, Maryam bersikeras untuk tetap bersama pacarnya. Hari berganti hari, mereka memutuskan untuk menikah.

Tapi niat itu tidak berjalan mulus. Ibu Alam tidak setuju bila Maryam masih menjadi Ahmadiyah. Pun dengan orangtu Maryam yang hanya ingin menantunya berasal dari orang dalam (Ahmadiyah). Karena Maryam tidak mau kehilangan lelaki yang dicintai untuk yang kedua kalinya, ia pun memilih meninggalkan orang tuanya dan menjadi islam seperti mayoritas orang.

Semua keraguan dan ketakutan telah dikalahkan oleh harapan dan mimpinya, untuk membangun hidup bahagia bersama Alam.

Novel ini merupakan gambaran nyata betapa tak berdayanya kaum minoritas. Hukum tak mampu membela mereka. Polisi seakan tidak peduli dan terus saja membohongi kaum Ahmadiyah.

Bahkan ketika hak mereka direnggut, nyawa mereka dicabut. Pemerintah seolah hanya mampu melihat, tak kuasa membendung keinginan dari kaum mayoritas atau bisa dikatakan pemikirannya masih dangkal untuk hal tersebut.

Pemerintah tidak mampu memberikan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak dan terkesan tidak peduli dengan keadaan si minoritas. Dengan membaca buku ini, saya jadi tahu betapa sulit menjadi kaum minoritas.

Tak peduli sebaik apapun kita, bila menjadi minoritas (apalagi dianggap kurang sesuai dengan aturan umum) semua seakan dipersulit. Saya kemudian mempertanyakan, apakah dalam ajaran agama kelompok tersebut mengajari hal-hal demikian? 

Dalam kehidupan realitas pun kita kerap kali menjumpai hal yang sama. Tidak perlu jauh-jauh, Satu agama saja kita kerap kali menemukan perdebatan. Entah dalam perkara apa, dan akhir dari perdebatan tersebut dimenangkan oleh kaum mayoritas.

Tidak berarti kaum mayoritas selalu lebih baik. Padahal menurut saya pribadi, perdebatan tidak akan terjadi jika kita mengerti toleransi, mampu mengerti satu sama lain dan tidak mudah terprovokasi. Kita jadi luput dari ungkapan “setiap warga negara memiliki hak dan kedudukan yang sama”.

Oleh karena itu, pemikiran akan minoritas dan mayoritas harus dibuang. Dalam novel ini, saya merasa bahwa mereka (kaum Ahmadiyah) sangat menderita. Awalnya mereka hidup normalm bersosialisasi, dan beramah tamah dengan tetangga.

Tetapi karena mereka Ahmadiyah (yang dianggap sebagai ajaran sesat) ditambah dengan adanya provokator, kehidupan mereka jadi tak tentram. Mereka terus saja diusir dari tempat tinggalnya, tempat ibadahnya dibakar, yang paling menyakitkan ketika mereka harus kembali diusir dari tempat tinggalnya yang dibangun dari hasil kerja mereka sendiri. Mereka harus menanggung kepahitan, kehilangan rumah tempatnya tinggal.

Meski Ahmadiyah tidak dijelaskan secara detail didalam novel tersebut, hanya diceritakan bahwa lukisan sosok junjungan dalam kepercayaan mereka ditempel di dinding rumah.

Karena, novel ini tidak membahas tentang kesesatan ajaran atau keyakinan yang dianut oleh keluarga Maryam tersebut. Melainkan, lebih membahas perihal sisi kemanusiaan dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Oleh karenanya dalam novelnya, Okky tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu Ahmadiyah, bagaimana ajarannya, dan sebagainya. Dalam bercerita, Okky menuliskan ini dengan diksi yang mudah dipahami dan sangat mengalir.

Namun sayangnya, novel ini kebanyakan penuh dengan narasi serta minim dialog, sehingga alur cerita cenderung agak datar. Tidak ada kejutan di dalam novel ini yang akan membuat pembaca speechless.

Layaknya buku, orang-orang hanya akan terpaku pada covernya saja daripada isinya. Novel ini wajib dibaca. Agar kita paham dan ikut merasakan betapa sulitnya menjadi minoritas.

Novel ini juga dapat menjadi penyentil bagi kita yang belum sepenuhnya toleran dan belum mampu mneyikapi perbedaan dengan bijaksana.

Tanpa memberikan penilaian mana yang benar dan mana yang salah, Okky menggugah kesadaran hati manusia untuk menyuarakan keadilan. Bagaimana kita paham akan perlakuan diskriminatif terhadap kaum minoritas terjadi di negara yang katanya demokratis ini.