masukkan script iklan disini
Oleh Wa Ode Nurfadilla Andi
(Novel The Holy Women Karya Qaisra Shahraz)
Zaman sekarang novel tentang perempuan menjadi begitu populer diberbagai belahan dunia, ini dikarenakan isu-isu tentang ketimpangan perempuan semakin nampak kepermukaan seperti ketimpangan dari segi budaya. Salah satu novel yang menggambarkan bagaimana sadisnya kungkungan budaya dengan sistem patriarki yakni novel “The Holy Women”, dengan karaker Zarri Bano yang khas dan berpendidikan, dia menjadi salah satu contoh perempuan kisah nyata yang diceritakan lewat novel yang ditulis oleh Qaisra Shahraz. Novel “The Holy Women” karya sastra dari Qaisra Shahraz yang bertuliskan quotes “Cinta dan Pengorbanan di Balik Cadar Hitam” didepan sampul bukunya, novel ini merupakan sebuah novel luar biasa yang diterbitkan tahun 2006 lalu dan merupakan karya pertama dari Qaisra Shahraz. Novel ini banyak menceritakan bagaimana budaya Pakistan mampu mempermainkan jati diri seorang perempuan cerdas, cantik, dan mandiri seperti Zarri Bano. Halaman demi halaman novel ini begitu menggugah rasa dan menimbulkan decak kekaguman.
Ketika membaca novel ini sekejap pembaca akan hanyut dalam cerita dan meresapi setiap kata dalam dialog dari masing-masing tokoh. Penulis Qaisra Shahraz merangkai dialognya dengan begitu lihai dan profesional. Pendalaman dalam setiap karakter tokoh menjadi salah satu kelebihan dari novel ini. Dalam setiap dialog mengandung unsur-unsur konflik yang terkesan natural dan logis dalam penempatannya, sehingga pembaca dapat merasakan imajinasi yang terkesan tidak dibuat-buat. Pemilihan setting novel ini dinegara Pakistan dan sistem kultural lama Pakistan yang secara detail digambarkan dalam sebuah keluarga bangsawan yang dihormati sehingga menampakan perbedaan status sosial yang jelas antar tokoh.
Budaya Pakistan yang kental akan harga diri seseorang terhadap status sosial membuat kungkungan terhadap beberapa perempuan seperti kisah Zarri Bano yang rela melepaskan cinta sejatinya hanya karena dia merupakan anak sulung Habib Khan yang dapat mewarisi kekayaan keluarga, ketika Jafar sang adik lelakinya meninggal dunia dan dia memiliki kewajiban menggantikan adiknya. Akibatnya sesuai kultur yang ada, keputusan terhadap Zarri Bano pun diambil yakni dengan menjadikannya sebagai Shahzadi Ibadat, seorang perempuan suci yang tidak bisa menikah dan harus mengabdikan hidupnya untuk agamanya. Pergolakan pada diri Zarri Bano pun terjadi, secara fitrah dia sangat mengidamkan seorang lelaki yang akan menjadi pasangannya tetapi disatu sisi dia begitu kesulitaan untuk melepas label akan dirinya sebagai perempuan suci walaupun memang pelabelan itu dia dapatkan karena paksaan ayahnya.
Zarri Bano sebagai seorang perempuan modern, berpendidikan, jurnalis, redaktur dan bahkan seorang feminis yang sering berkeliling dunia menyelesaikan berbagai masalah perempuan, tentunya tahu persis bahwa pelabelan perempuan suci adalah hal yang tidak pernah tertulis dalam hukum islam, Al-Qur’an ataupun Sunnah Rasul dan bahkan hal tersebut bertentangan dengan fitrah perempuan. Tetapi, tetap saja seorang Zarri Bano terpasung dibawah tirani budaya patriarki dan harus mengenakan Burqa (jubah hitam) yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali mata. Kekuasaan patriarki cenderung akan meletakkan perempuan sebagai korban, laki-laki sebagai orang yang berdiri tegak dengan lambang superioritas dan menempatkan perempuan sebagai orang berada dibawah dengan label inferior. Dalam buku The Grounding Of Modern Feminism karya Nancy F. Cott, menjelaskan bagaimana posisi hirarkis antara jenis kelamin, dimana kekuatan kelompok superior akan memegang kontrol atas kelompok inferior. Posisi hirarki terbangun karena mengikuti konstruk sosial secara terus menerus dan mengabaikan sisi kodrati (sex) yang seharusnya dipisahkan dengan kata gender, para feminis menuntut gender equality sebab hal-hal diatas mengakibatkan relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi timpang. Pengelompokan ini menjadikan perempuan The Second Sex dalam karya Simone De Beauvoir yang artinya bukan manusia.
Ketika menelaah titah daripada Mary Ann Ferguson melalui teori feminisnya The Sex Object dan The Submissive Wife ini menjawab bagaimana posisi Zarri Bano dalam keluarganya. The Sex Object menunjukan perempuan sebagai sarang mempertahankan status quo politik dan kekuasaan patriarki sedangkan dalam The Submissive Wife menunjukan perempuan sebagai istri dan anak yang ideal apabila dia mampu membuat keluarganya bahagia dan tentram, inilah yang terjadi dengan budaya patriarki yang konservatif di Pakistan hingga menjadikan perempuan disana sebagai korban atau objek eksploitasi kaum laki-laki tanpa memperdulikan perasaan perempuan.
Budaya lama Pakistan inipun dianggap terlalu berlebihan sebab hal itu sering dikaitkan sebagai ajaran islam, yang ternyata tidak ada kaitannya sama sekali dan bahkan terbilang budaya yang membuat-buat ikatan dengan agama sebagai orientasi untuk mengubur dan mengebiri hak-hak perempuan, yang mana ketika perempuan menantang norma budaya maka dia dianggap pula sebagai pendosa.
Meminjam kata-kata Kuntowijoyo, “padahal agama sesungguhnya sangat revolusioner, selalu menghendaki transformasi struktural, yang artinya agama akan selalu merombak struktur-struktur ketidakadilan dalam masyarakat”.
Konflik perasaan antara Zarri Bano dan Sikander, Zarri Bano dan Habib, Zarri Bano dan Rubhy dan berbagai konflik lainnya antara tokoh membuat cerita dalam novel ini begitu hidup, dengan bangunan chemistry yang luar biasa. Tidak terhenti kekaguman pembaca dengan munculnya bebagai konflik, pemecahan konfliknya juga merupakan hal yang tak terduga bagaimana mungkin konflik yang rumit dapat terselesaikan dengan akhir yang amat manis dan memuaskan.
Novel ini begitu menggugah rasa sampai membuat pembaca merasa nikmat dan mejadikan diri sebagai pelaku yang langsung mengalaminya sendiri, penggambaran tentang posisi perempuan di Pakistan begitu terwakili lewat novel ini, novel ini mampu menyadarkan perempuan maupun laki-laki untuk saling menghargai dengan melihat sesama manusia bukan karena laki-laki ataupun perempuan Novel ini juga mengundang perempuan-perempuan didunia untuk bangkit dari penindasan kaum patriarki dan menjadikan diri berharga, tak lupa pula untuk saling membantu sesama perempuan yang tertindas dan tak pupus untuk terus berjuang.
Hidup berempuan berlawan!!!