Mimpi Begundal Yang Basah

Pic from dropr.com

Oleh; Marupe

Di sepanjang jalanku yang biasanya, ditariknya aku berjalan mundur berapa langkah menuju tepat di depan etalase toko televise. Aku terbelalak dengan dialog yang mereka sedekahkan kepada orang-orang yang menonton film tahun 80-an itu. Dengan indraku dan fungsinya yang menajam, kusandarkan wajahku begitu rapat pada kaca etalase.

Perempuan itu seperti bernyanyi di telinga lelakinya, ia mendekatkan gincunya dengan suara yang berbisik di oktaf yang paling rendah tapi ternyata nyaring karena begitu dekat dengan gendang telinga.

“Kau tahu? Bahwa cinta mensyaratkan kebahagiaan. Bahwa mereka tak mungkin melakukan perlawanan, apabila kebahagiaan itu tidak mengasingkan beberapa cinta yang lainnya. Mana ada cinta yang mengharuskan mereka memakai senjata mengatasnamakan ketertiban yang lainnya? Sementara itu ada yang mati-matian merawat cintanya dengan cara yang begitu naif. Mana ada cinta membuat mereka bertahan, sementara mereka bersusah payah, meronta-meronta, mengatakan bahwa itu janji cinta akan datang di waktu yang paling indah tapi dengan nada berduka?" Lugas perempuan itu pelan.

Aku memperhatikan setiap kancing kemeja yang dipecat dari perannya. Jari jemari perempuan itu dihentikan di kancing kedua sebelum terakhir.

"Lalu apa?"

Pelan suara lelaki itu sembari menahan peluang terjadinya konser orchestra dengan cello dan viola yang mengungguli panggung. Atau mungkin dia cuman mau memastikan bahwa dadanya berbulu, dan dia mungkin agak malu dengan itu. Tentu mereka memeriahkan konser itu di kamar yang beralaskan kapuk. Sederhana keliatannya.

“Petani dengan jari-jarinya menyetubuhi tanah, nelayan dan para pemandu layar lainnya mematuhi angin kemudian menyetubuhi lautan, kita tidak bisa hanya dengan dengkul memisahkan mereka. Lalu akhirnya mereka dikebiri dan tak bisa bersetubuh lagi. Katakan sekarang, maukah kau dipisah denganku dengan cara yang paling kejam?” Teror perempuan itu sekonyong-konyong posisinya berada dibagian dimana lelakinya perlu mendongak, tapi dengan nada yang memelas dan rambut jatuh menjuntai menutupi cantiknya.

“Entahlah. Tapi kalau kutemukan peradaban pada dirimu. Kebahagiaan yang tumbuh bersamaku. Aku menyerah padamu. Memperjuangkan kesucianmu.” Jawab pria itu.

“Itu dia sayang. Untuk apalah mereka dilahirkan bila akhirnya mereka menjadi manusia yang bercinta dengan bumi berabad lamanya untuk dibumi-hanguskan dituduh terbelakang oleh kerumunan orang yang paling merasa mewakili peradaban, menggantikan Tuhan.” Tegas perempuan itu dengan suara kecil.

“Padahal hanya cinta yang merawat mereka tumbuh, mengasihi yang menyayangi dan menyayangi yang mengasihi, adalah bentuk cinta yang murni. Lalu di bagian mana kerumunan kekuasaan ini menyayangi dan mengasihi selain golongan darah mereka. Lantas yang bercinta dituduh sebagai jiwa yang katanya menyaru menjadi iblis, menyimbolkan kejahatan. Harus dimusnahkan. “ Lanjutnya.

“Kalau begitu datanglah padaku dengan penuh perjuanganmu. Aku pastikan ditubuhku tidak ada kerumunan yang kau benci itu.” Balas pria itu dengan tangan yang merentang kearah perempuan memanggil kesebuah pelukan.

Ketika nafas mereka menjadi jelas, suara mereka menjadi jelas, dan hanya mereka berdua. Seakan tak ada yang boleh mengambil peran lagi selain mereka. Banyak cara menaklukkan malam, dan malam-malam yang mereka taklukkan begitu apik, tenggelam dalam kebahagiaan yang dalam. Tubuh mereka merebah dalam semesta yang tunggal. Adegan itu seperti menyampaikan pesan, bahwa mereka malam itu menjadi alamat berpadunya sang intelektual dan sang sprituil.

Dan ternyata mereka tidak berdansa! Apa-apaan ini! Mereka hanya tertidur dalam dekapan erat dengan tubuh setengah telanjang. Mereka menyelimuti masing-masing, dan ditutup senyum kecil lelaki pada wajahnya yang bewokan. Sementara perempuan yang paling antusias itu. Terbaring pulas dengan dengkur yang tidak berisik, tepat di bawah janggut lelaki itu berbantalkan dada yang kekar.

Menganga mulutku pada wajah yang begitu penasaran masih menempel di kaca, aku bertanya-tanya dalam hati, tepat di bumi bagian mana mereka masih sempat bisa sedamai dan sebahagia itu? Tapi bukan itu. Bukan itu yang aku sesalkan. Andai kata ini mimpi, presentasenya kurang cukup membuat aku basah. Brengsek benar film ini. Begitu dongkol ku.

Sekonyong-konyong paman dibelakang menarik bahuku, berbisik berulang kali dengan kalimat yang sama. Bangunlah! Waktu kerja sudah tiba.

Bangun-bangun, kudapati tanganku menyarung, melindungi sesuatu. Tepat di celanaku yang bagian depannya sebagian lembap. Pelan-pelan kusadari dengan hembusan napas berat, bahwa mimpi itu adalah mimpi yang basah bagi orang miskin dan begundal sepertiku.

Bersambung, dihari-hari begundal lainnya.