masukkan script iklan disini
Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah
Seseorang bertanya "Kita hanya mati sekali dan hidup setiap hari? Atau kita hidup sekali dan nanti juga mati sekali?".
Sungguh "Diri" yang hidup itu yang kembali pada Allah dan akan hidup, jasad kita yang menetap dan kembali ke Bumi. Mati itu sebenarnya predikat untuk apa?
Jika yang kita maksudkan selama ini "mati" sama dengan stereotipe "meninggal" maka itu keliru. Mati itu predikat untuk mereka; Jin dan Manusia yang lupa pada Penciptanya. Lupa pada tugas, fungsi, dan tujuan mereka diciptakan oleh Tuhan.
Mati diberikan oleh Tuhan untuk mereka bangsa Jin dan Manusia yang di dalam hatinya ada penyakit dan "Dinding tebal" karena sifat iri, dengki, sombong, hasad, sum'ah, riya', gengsi, sifat penindas, eksploitatif, dsb.
Mereka yang kita katakan selama ini telah mati/meninggal sebenarnya hanya berpindah ganti alam (fase) dari dunya ke barzah (kubur). Apatah lagi mereka yang selalu "ingat" pada Tuhannya maka sesungguhnya mereka hidup kekal walaupun kita mengatakan mereka telah "mati"? Lihat QS.Al-Baqarah: 154.
Kita tidak pernah mati, tapi kita selalu hidup.
Hanya berbeda antara (setelah meninggalkan dunya) kita kekal di Surga atau kita kekal di Neraka Allah swt. Apalagi Neraka sampai sekarang masih milik Allah, maka akankah Surga milik selain Allah hanya karena kita sangat menginginkannya?
Sama seperti Rabiah Al-Adawiyah yang tak menggilai Surga pun Neraka, maka lebih condong hatinya pada Allah.
Baginya, sebidang perut hanya menjadi sebesar perut, selebar mulut maka hanya menjadi sepasang bibir yang bergerak mengatup, sehingga juga pada akhirnya menguatkan jutaan sel-sel untuk bekerja menopang tubuh tuk menyembah pada Yang Terkasih, Zat nirbatas: Allah swt. Rabiah tak melulu melupakan hak dirinya, maupun hak Tuhannya. Seperti Immanuel Kant berpendirian dalam konsepnya; keteraturan semesta.
Manusia ber-norma dan tunduk pada Tuhan selayaknya Alam semesta teratur dan berada dalam keindahan konfigurasi setiap entitas wujud mereka. Tak mungkin semua benda-benda semesta bergerak dan layaknya alam semesta ini terus bergerak, yang tidak memiliki Penggerak.
Dalam Qur'an ditegaskan bahwa matahari berada di garis edarnya, pun benda langit lain yang ada maka kita membutuhkan keteraturan namun juga kreatifitas positivistik untuk membangun sendiri peradaban kita, kehidupan kita. Kesadaran akan sebuah keteraturan dan keindahan itulah, melahirkan keterpesonaan, pengabdian dan ketenteraman jiwa; yaitu Jiwa yang mengenal dan memahami tujuan penciptaan.
Tiada terma "mati" bagi Sang Pencinta dan Yang Dicinta, mereka hidup karena cinta dan akan bertemu karenanya.