masukkan script iklan disini
Muhammad Naufal Mahdi
UIN Alauddin Makassar masih gersang. Waktu itu di belakang Fakultas Adab dan Humaniora belum ada tanaman yang terbuat dari semen dan pasir. Jika senior sedang mengajari kita cara ‘menjadi manusia’ di lantai empat fakultas, tak ada anak kos-kosan yang akan memperhatikan metode pengajaran senior-senior kita itu.
Bak. Buk. Bak. Buk. Tung. Tak. Tung. Tak.
Tak ada pula cewek yang terlihat dari lantai itu yang lalu-lalang di teras kosnya sambil memegang handuk yang dikalungkan di dadanya. Hanya ada ketakutan.
Berdiri di sisi terluar lantai itu sama halnya menyerahkan diri pada senior yang ‘cerdas’ karena dari bawah mereka akan berteriak, “woy, sini ko dulu!” Apa yang akan senior perbuat kepada saya? Begitulah kita bertanya-tanya.
Sebagai mahasiswa baru di fakultas Adab saya tidak mengenal apapun tentang adab apalagi humaniora. Jangankan adab dan humaniora, kata “fakultas” saja saya tak tahu!
Saya berjalan terseok-seok mengitari UIN. Berusaha menemukan apa itu fakultas. Lalu tiba lah saya di ujung sudut sebelah kiri UIN (apakah memang sebelah kiri?) Oh ini yang namanya fakultas, kata saya. Adab? Humaniora? Apa pula itu?!
Sebagai mahasiswa baru yang lugu, saya mengikuti pra OPAK. Latihan menyanyi. Iya, mars adab itu: ciptakan karya keemasan bagi zamanmu.
Lalu tibalah saya di ujung perhelatan penyambutan mahasiswa baru tersebut. Kita bersama selama mengikuti proses ‘menjadi manusia’ di fakultas Adab.
Sayangnya saya tak mengenal satupun dari kalian. Siapa itu Akbar? Sejauh mana Sapar mampu memikat wanita? Bagaimana Ainul menjalani hari-harinya? Saya tak bisa menjawab semua pertanyaan itu sebab kita memang tak saling mengenal.
Selama proses OPAK itu saya merasa kiamat memang akan terjadi di tahun 2012. Iya, seperti film yang berjudul 2012. Wah, sungguh sengsaranya mahasiswa 2012 saat itu.
Pikiran tentang kiamat 2012 sungguh mengganggu. Dugaan itu didukung oleh ketidaktahuan saya tentang fakultas, adab, humaniora serta tiadanya teman-teman untuk berbagi kegelisahan itu di kampus.
Seluruh alam semesta akan hancur. Kiamat! Akankah saya berakhir di tahun 2012 dengan mengenaskan. Mati tertidih mahasiswi yang dijatuhi tembok lantai empat fakultas akibat gempa? Bersama senior-senior ‘baik hati nan rupawan’?
Lalu bagaimana kenangan kita terbentuk?
Ditengah ketakutan akan kiamat, saya terus bertanya-tanya tentang apa inti dari persahabatan; bagaimana ia mampu menyatukan perasaan masing-masing?
Jawabannya bisa saja karena ada kesamaan di antara mereka. Tapi, kesamaan apa yang mampu mempertemukan kita? Bukankah kalian lebih dahulu mengetahui hiruk pikuk kehidupan mahasiswa ketimbang saya?
Saya tak ingin menjadi mahasiswa yang ‘sok sibuk’. Saya hanya ingin di kos. Tidur, minta uang, pergi kuliah—itu pun jika sanggup—, makan dari hasil palakan kepada orang tua. Itu makna kebebasan bagi saya. Intinya saya tak mau berorganisasi, itu merusak!
Kalian masuk HMI, organisasi yang paling rusak dalam kepala saya saat mahasiswa baru, meski Akbar pernah terjebak di organisasi yang lain sebelumnya.
Pikiran kalian terbentuk secara perlahan dengan metode yang paling rasional. Sedangkan pikiran saya hanya tumpukan penyesalan atas perempuan yang menolak cinta saya secara terstruktur, sistematis dan masif. Sungguh kurang ajar!
Waktu berlalu. Semester berjalan.
Meski tahun 2012 telah tiada dan bayangan tentang kiamat perlahan hilang namun, kenangan yang melekat pada tahun itu abadi. Saya masih berada dalam suasana batin yang bergejolak. Semester empat gejolak itu semakin membuncah. Saya butuh pikiran.
Saya bertemu HMI. Organisasi yang meruntuhkan sistem kehidupan dalam diri saya, membentuknya dengan yang baru. Lalu kita bertemu tentu saja.
Saya melihat dinamika kehidupan semakin asyik saja dalam organisasi itu. Bayangkan saja kita berada di organisasi yang banyak orang menganggapnya kafir.
Betapa asyiknya dianggap kafir tapi bahkan sampai sekarang tuduhan itu tidak terbukti. Siapa yang mampu menemukan kafir yang sejati?
Pikiran saya semakin dewasa saja di sana. Kita pun semakin dewasa. Kita melalui tahun-tahun yang berat bersama junior-junior yang aduhai itu. Kita mengajari mereka ‘menjadi manusia’ sama seperti senior kita dahulu.
Tahun-tahun inilah mungkin yang menjadi tahun terberat kita di fakultas Adab. Tanggung jawab yang tentu saja berat.
Mengurus junior-junior yang aduhai itu sangat mengganggu kehidupan asmara kita. Di antara kita ada yang terseok-seok sampai hampir mati akibat kehidupan asmara yang berantakan.
Itu kehidupan asmara. Bagaimana kuliah kita? Oh, kumohon. Mungkin ini yang paling mengerikan. Berada dalam sistem sosial yang menuntut kita cepat sarjana adalah sebuah kecilakaan.
Kita ini sampah masyarakat. Lambat selesai. Kuliah hancur berantakan seperti gunung-gunung yang beterbangan menyerupai kertas.
Tidak perlu menunggu sampai tahun 2019 untuk membuat tulisan ini jika kalian—atau kita—cepat sarjana meninggalkan kampus yang lucu-lucu itu.
Mengapa kita melakukan semua itu? Kita lebih bahagia melihat junior kita membaca sebuah buku dan mendiskusikannya ketimbang melihat diri kita sendiri berjalan berduaan dengan wanita dambaan kita.
Hati kita terasa sangat tentram bersama dengan junior-junior yang aduhai itu. Bersama dengan keluguannya; bersama dengan kesottaannya; dengan keluh kesahnya yang mereka serahkan semua pada kita tanpa mereka pikir kita memiliki lebih banyak keluh kesah ketimbang mereka.
Dan yang tak kalah asyiknya adalah ketika kita menjadi pengurus komisariat. Sebagai seseorang yang paling melankolis diantara kita, saya menangis melihat Ainul menjadi ketua.
Walaupun semua orang tahu itu akan terjadi. Tapi siapa yang mampu menahan airmata dari seorang yang cengeng seperti saya?
Saya tak perlu menulis banyak tentang dinamika apa yang ada pada saat kita menjadi pengurus. Ada hari-hari yang kalian lewati sebagai, yah kalian tahu lah.
Setelah semua itu terjadi jawaban dari pertanyaan saya tentang persahabatan perlahan mulai menampakkan dirinya.
Kita sama menginginkan perubahan. Kita sama menginginkan tatanan yang harmonis paling tidak untuk fakultas Adab.
Paling penting: kita tidak ingin kiamat melanda lingkungan kita bagaimanapun bentuknya.
Jika kita merenungi progresivitas yang kita lakukan senior mana lagi yang menganggapnya gagal? Sesuai perintah mars adab kita telah menciptakan karya keemasan.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengglorifikasi apa yang telah kita lakukan. Yang ingin saya katakan adalah sejauh mana junior-junior aduhai ini meneruskannya.
Sejauh mana mereka mampu menciptakan iklim intelektual hari ke hari. Bukan malah menciptakan kebodohan yang tersistematis dan masif seperti yang dilakukan beberapa perempuan kepada saya yang telah saya singgung tadi.
Saya tidak menyangka tulisan ini sudah sangat panjang dari rencana awalnya. Tulisan yang emosional, menggebu-gebu serta tak mudah dimengerti.
Satu-satunya yang mudah dimengerti adalah maksud saya menuliskannya dengan perasaan yang penuh kesucian.
Oh iya, apa kalian merasakan hal yang sama?
UIN Alauddin Makassar masih gersang. Waktu itu di belakang Fakultas Adab dan Humaniora belum ada tanaman yang terbuat dari semen dan pasir. Jika senior sedang mengajari kita cara ‘menjadi manusia’ di lantai empat fakultas, tak ada anak kos-kosan yang akan memperhatikan metode pengajaran senior-senior kita itu.
Bak. Buk. Bak. Buk. Tung. Tak. Tung. Tak.
Tak ada pula cewek yang terlihat dari lantai itu yang lalu-lalang di teras kosnya sambil memegang handuk yang dikalungkan di dadanya. Hanya ada ketakutan.
Berdiri di sisi terluar lantai itu sama halnya menyerahkan diri pada senior yang ‘cerdas’ karena dari bawah mereka akan berteriak, “woy, sini ko dulu!” Apa yang akan senior perbuat kepada saya? Begitulah kita bertanya-tanya.
Sebagai mahasiswa baru di fakultas Adab saya tidak mengenal apapun tentang adab apalagi humaniora. Jangankan adab dan humaniora, kata “fakultas” saja saya tak tahu!
Saya berjalan terseok-seok mengitari UIN. Berusaha menemukan apa itu fakultas. Lalu tiba lah saya di ujung sudut sebelah kiri UIN (apakah memang sebelah kiri?) Oh ini yang namanya fakultas, kata saya. Adab? Humaniora? Apa pula itu?!
Sebagai mahasiswa baru yang lugu, saya mengikuti pra OPAK. Latihan menyanyi. Iya, mars adab itu: ciptakan karya keemasan bagi zamanmu.
Lalu tibalah saya di ujung perhelatan penyambutan mahasiswa baru tersebut. Kita bersama selama mengikuti proses ‘menjadi manusia’ di fakultas Adab.
Sayangnya saya tak mengenal satupun dari kalian. Siapa itu Akbar? Sejauh mana Sapar mampu memikat wanita? Bagaimana Ainul menjalani hari-harinya? Saya tak bisa menjawab semua pertanyaan itu sebab kita memang tak saling mengenal.
Selama proses OPAK itu saya merasa kiamat memang akan terjadi di tahun 2012. Iya, seperti film yang berjudul 2012. Wah, sungguh sengsaranya mahasiswa 2012 saat itu.
Pikiran tentang kiamat 2012 sungguh mengganggu. Dugaan itu didukung oleh ketidaktahuan saya tentang fakultas, adab, humaniora serta tiadanya teman-teman untuk berbagi kegelisahan itu di kampus.
Seluruh alam semesta akan hancur. Kiamat! Akankah saya berakhir di tahun 2012 dengan mengenaskan. Mati tertidih mahasiswi yang dijatuhi tembok lantai empat fakultas akibat gempa? Bersama senior-senior ‘baik hati nan rupawan’?
Lalu bagaimana kenangan kita terbentuk?
Ditengah ketakutan akan kiamat, saya terus bertanya-tanya tentang apa inti dari persahabatan; bagaimana ia mampu menyatukan perasaan masing-masing?
Jawabannya bisa saja karena ada kesamaan di antara mereka. Tapi, kesamaan apa yang mampu mempertemukan kita? Bukankah kalian lebih dahulu mengetahui hiruk pikuk kehidupan mahasiswa ketimbang saya?
Saya tak ingin menjadi mahasiswa yang ‘sok sibuk’. Saya hanya ingin di kos. Tidur, minta uang, pergi kuliah—itu pun jika sanggup—, makan dari hasil palakan kepada orang tua. Itu makna kebebasan bagi saya. Intinya saya tak mau berorganisasi, itu merusak!
Kalian masuk HMI, organisasi yang paling rusak dalam kepala saya saat mahasiswa baru, meski Akbar pernah terjebak di organisasi yang lain sebelumnya.
Pikiran kalian terbentuk secara perlahan dengan metode yang paling rasional. Sedangkan pikiran saya hanya tumpukan penyesalan atas perempuan yang menolak cinta saya secara terstruktur, sistematis dan masif. Sungguh kurang ajar!
Waktu berlalu. Semester berjalan.
Meski tahun 2012 telah tiada dan bayangan tentang kiamat perlahan hilang namun, kenangan yang melekat pada tahun itu abadi. Saya masih berada dalam suasana batin yang bergejolak. Semester empat gejolak itu semakin membuncah. Saya butuh pikiran.
Saya bertemu HMI. Organisasi yang meruntuhkan sistem kehidupan dalam diri saya, membentuknya dengan yang baru. Lalu kita bertemu tentu saja.
Saya melihat dinamika kehidupan semakin asyik saja dalam organisasi itu. Bayangkan saja kita berada di organisasi yang banyak orang menganggapnya kafir.
Betapa asyiknya dianggap kafir tapi bahkan sampai sekarang tuduhan itu tidak terbukti. Siapa yang mampu menemukan kafir yang sejati?
Pikiran saya semakin dewasa saja di sana. Kita pun semakin dewasa. Kita melalui tahun-tahun yang berat bersama junior-junior yang aduhai itu. Kita mengajari mereka ‘menjadi manusia’ sama seperti senior kita dahulu.
Tahun-tahun inilah mungkin yang menjadi tahun terberat kita di fakultas Adab. Tanggung jawab yang tentu saja berat.
Mengurus junior-junior yang aduhai itu sangat mengganggu kehidupan asmara kita. Di antara kita ada yang terseok-seok sampai hampir mati akibat kehidupan asmara yang berantakan.
Itu kehidupan asmara. Bagaimana kuliah kita? Oh, kumohon. Mungkin ini yang paling mengerikan. Berada dalam sistem sosial yang menuntut kita cepat sarjana adalah sebuah kecilakaan.
Kita ini sampah masyarakat. Lambat selesai. Kuliah hancur berantakan seperti gunung-gunung yang beterbangan menyerupai kertas.
Tidak perlu menunggu sampai tahun 2019 untuk membuat tulisan ini jika kalian—atau kita—cepat sarjana meninggalkan kampus yang lucu-lucu itu.
Mengapa kita melakukan semua itu? Kita lebih bahagia melihat junior kita membaca sebuah buku dan mendiskusikannya ketimbang melihat diri kita sendiri berjalan berduaan dengan wanita dambaan kita.
Hati kita terasa sangat tentram bersama dengan junior-junior yang aduhai itu. Bersama dengan keluguannya; bersama dengan kesottaannya; dengan keluh kesahnya yang mereka serahkan semua pada kita tanpa mereka pikir kita memiliki lebih banyak keluh kesah ketimbang mereka.
Dan yang tak kalah asyiknya adalah ketika kita menjadi pengurus komisariat. Sebagai seseorang yang paling melankolis diantara kita, saya menangis melihat Ainul menjadi ketua.
Walaupun semua orang tahu itu akan terjadi. Tapi siapa yang mampu menahan airmata dari seorang yang cengeng seperti saya?
Saya tak perlu menulis banyak tentang dinamika apa yang ada pada saat kita menjadi pengurus. Ada hari-hari yang kalian lewati sebagai, yah kalian tahu lah.
Setelah semua itu terjadi jawaban dari pertanyaan saya tentang persahabatan perlahan mulai menampakkan dirinya.
Kita sama menginginkan perubahan. Kita sama menginginkan tatanan yang harmonis paling tidak untuk fakultas Adab.
Paling penting: kita tidak ingin kiamat melanda lingkungan kita bagaimanapun bentuknya.
Jika kita merenungi progresivitas yang kita lakukan senior mana lagi yang menganggapnya gagal? Sesuai perintah mars adab kita telah menciptakan karya keemasan.
Tentu saja saya tidak bermaksud mengglorifikasi apa yang telah kita lakukan. Yang ingin saya katakan adalah sejauh mana junior-junior aduhai ini meneruskannya.
Sejauh mana mereka mampu menciptakan iklim intelektual hari ke hari. Bukan malah menciptakan kebodohan yang tersistematis dan masif seperti yang dilakukan beberapa perempuan kepada saya yang telah saya singgung tadi.
Saya tidak menyangka tulisan ini sudah sangat panjang dari rencana awalnya. Tulisan yang emosional, menggebu-gebu serta tak mudah dimengerti.
Satu-satunya yang mudah dimengerti adalah maksud saya menuliskannya dengan perasaan yang penuh kesucian.
Oh iya, apa kalian merasakan hal yang sama?