Kali Dua Begundal

Pic by Pixabay


Oleh Marupe

"Sayang kau tau tidak... aku lebih suka kaki kiriku, lebih jago menyakiti kepala orang... Ketimbang kau sebagai perempuanku, jangankan menendang, melukai kelakianku pun belum", pelan suara begundal di penghujung isapan kreteknya, kemudian merebahkan kepalanya pada paha kekasih yang terlipat-menyila. Begundal memang sudah berkali-kali merungkah kedamaiannya. Karena bait olokan begundal selalu dibalas senyum kecil santun kekasihnya, sekonyong-konyong perempuan itu meregang kelopak mata begundal dengan jari telunjuk dan jempol kecil. "Tolong, berhenti cerdas kemudian meneliti kekakuanku. Tolong, berhenti memaki buah hatiku yang kuberi pada perut, juga kepalamu. Kamu mau aku yang berhenti, dasar nekat!!!" tak segan perempuan itu menyampaikannya sembari pelan menjauhkan tangannya dari kelopak mata begundal. "Beruntung kau sekolah sementara aku tidak. Kau tahu?! Untuk setiap perempuan di kompleks ini, pada penghabisan masa sekolahnya sudah rampung batinnya untuk menjual tubuhnya. Paling lemah menjadi perajut pada bengkel selimut di kota. Kau harus lebih garang dan keras sebagai perempuan di kompleks ini, paling tidak kau jadi pelacur untuk Haji Binong. Rogoh setiap isi kantong celananya" balas begundal. Setiap warga kompleks tahu, begundal adalah begundal berkat desakan lingkungannya yang celas-celus tidak jelas pada usaha pendapatan. Untuk seorang bapak saja di kompleks itu demi menafkahi lambungnya beserta buah dada istrinya agar tetap menyusui anaknya, musti mahir memegang palu, memelihara duren dan memugarkan perabotan rumah tangga Pak Haji Binong. Untung saja dengan badan kekar begundal berhasil menarik perhatian mafia kota. Begundal sehari-hari menghabiskan waktu malamnya menjual kutang ungu yang diproduksi bosnya di kota. Kutang ungu itu dipercaya mampu mengobati suami yang kurang mesra lagi malam-malamnya dengan sang istri. Hal itu bekerja jika udara yang menempel pada kutang itu dihirup dalam-dalam. Begundal semalaman bekerja sendirian, itulah yang menuntut hidup begundal harus keras, harus bengis.

Seraya membangunkan kepala begundal dari pahanya, perempuan itu menempelkan kedua telapak tangannya pada pipi begundal dengan kedua jempol bergoyang, menyapu tepat berapa centi dari kelopak mata lelakinya, lalu mendekatkan wajahnya berkata, "Mencintaimu, tidak pernah sederhana, sayang. Aku bebal, begitu teguh mencintaimu. Meski begitu, aku tetap perempuanmu dengan harap-harap cemasmu pada hidupmu. Pinta perempuanmu di hari jadi manusianya nanti, tetaplah pada petuahmu, petuahmu adalah gugatan. Tapi sewaktu-waktu kamu gusar, jadilah kamu perempuan".

Begundal spontan melepas tangan kekasihnya, menjauhkan wajahnya sendiri.

"aku? Banci? Maksudmu?!"

"bukan. Tepatnya itu merawat denyut"

"aku lebih jago menyayat denyut!!!"

"nah itu. Itu dia. Jadilah perempuan, begundal. Perempuan tidak menciptakan luka, perempuan juga bukan luka".

Begundal kembali merebahkan kepala di paha perempuanya yang duduk menyila, dengan kepala menengadah ke langit-langit cerah di bukit kompleks. "Lelaki itu pemberontakan. Aku juga percaya ada laki-laki pada dirimu sebagai perempuan". Sahut begundal.

"Kau punya waktu senggang selepas dari bukit ini? Aku kurang asik sebagai begundal tanpa kawan-kawan ojek. Aku tidak boleh lupa pulang untuk ngopi di pangkalan. Pun tak mampu membeli makan, kopi manis disana sepertinya baik buat asupan energi untuk tetap pulih... Kau mau? Kau merdeka untuk menolak." tambahnya.

"aku sudah lama tidak merdeka sejak kau menjadi lelakiku, bodoh!. Apapun itu aku selalu mau.. Itu karena perangaimu yang selalu mengajakku berkawan, terlalu jantan. Kamu benar aku juga perlu jadi jantan....... Tapi untuk kopi manis, bolehlah kali ini."

Begundal kemudian berdiri, mengulurkan tangannya turut membantu kekasihnya berdiri pula. Keduanya berjalan menuju pangkalan. "ngomong-ngomong kretekmu masih ada? Aku minta satu!" Tutup kekasih begundal.

Bersambung...

Gowa, 13 Juli di tahun cina-babi tanah.