masukkan script iklan disini
Oleh Fian Anawagis
Ketua Umum HMJ Sejarah Kebudayaan Islam
Masih hangat terlintas dalam benak, seketika menjadi refleks, kicau burung di pagi hari membuat suasana sedikit cair dalam imajinasi yang cukup menerka-nerka. Syahdan, manusia yang diciptakan dari saripati tanah dan ditiupkan ruh kedalamnya. Tapi mengapa begitu banyak manusia yang bersifat langit? Adakah mereka mengandalkan sesuatu yang sifatnya relatif sebagai landasan kuat dalam hidup di permukaan bumi? Oh.. lagi-lagi hal berbau materialis tak bisa terlepas dari cengkraman jiwa-jiwa manusia. Tidak ada yang salah dengan hal demikian, karna tuhan sendiri memang suka bermain dengan hati.
Betapa tidak, hati secara anatomi itu sesuatu yang punya kedudukan tetap dalam tubuh manusia. Namun nyatanya, masih bisa dibolak-balik secara realitas spiritual yang tak nampak. Bisa jadi, karna adanya jiwa dan raga sebagai aktualisasi potensi terhadap dunia yang materialistis. Hingga perubahan itu bukan lagi sesuatu yang konstan.
Manusia dilahirkan (Born) dalam keadaan yang fitrah, lebih tepatnya tabula rasa, bagai kertas kosong yang belum terisi apa-apa. Makanya itu, semua memiliki potensi untuk memilih (Choice) jalannya masing-masing.
Serta ada 3 konsumsi yang perlu dipenuhi untuk stabilitas dan keberlangsungan 'hidup', konsumsi untuk fisik, konsumsi untuk akal sehat, serta konsumsi untuk bathin/ruhani. Kesemuanya itu adalah satu kesatuan penunjang dalam menentukan arah kehidupan yang lebih baik. Hingga pada akhirnya akumulasi pencapaian dari keseluruhan berujung pada kematian (Dead). Dan bekal dikemudian hari.