Serulingku dan Tuhanku



Oleh Muhammad Syarif Hidayatullah

Di pagi buta saat lenganmu mencoba meraih tongkat dunia.
Matamu berbinar menatap lentik embun masih sejuk.
Seruling itu mendayu-dayu membangkitkan jiwamu, getarannya menari dalam darah hangatmu begitu aku terpuai telah terlebih dahulu.

Tuhanku, menari dan bernyanyi apakah terlarang bagiku?
Padahal struktur simponi seakan benar dirasakan saat cinta memeluk ragaku.
Tuhan, Malaikat itu telah mendermakan segenap kepercayaan padaku.

Benarkah Dia dan seruling yang ia tiup adalah Takdirku?
Tuhan, Engkau mengatakan padaku; Beriman lebih tinggi dari Berpikir ragu.
Benarkah hidup ini akan lebih indah dari seruling dan simponi?

Jika akalku berfungsi, maka lenyap pula Malaikat itu. Ia membawa sekantung bubuk warna kuning, hijau, dan ungu.
Paham hidupku hanya sahaja biasa.

Sepadan Ayah dan Ibu memelukku dengan sentuhan kulit suci mereka.
Kulit yang mengerut termakan petir, hujan, matahari, dan terserap waktu membangun bahagia di bawah kaki gunung desa kecil sejak dahulu.
Sahaja hidup menghargai Alam hijau dan Langit biru.

Seruling dan simponi.
Merambat lantunan mereka di udara semerdu suara lantunan dia yang sedang meniup syairku. Menghembus bersama serulingnya bambu.

Satu pertanyaan jiwaku, apakah semua itu terlarang bagiku?
Lagu getaran seruling sang Qais Majnun adalah penyampaian semata rindu.
Qais berikrar majnun mencintai Laila, rindunya bertemu Allah menyatu.

Qais mengais cinta Tuhan ketika Laila mengais lebih dahulu.
Qais dan Laila merepresentasikan kekuatan Iman. Membuang jauh akal mereka sejak rentang windu.

Jika dunia menulis namaku, aku hanya ingin Tuhan mendekapku.
Tuhan menyayangi mereka yang sabar dan menguatkan lagi kesabaran di perbatasan-perbatasan negeri, di lereng bisu dan abu-abu.
Sabar yang membatas ketika hanya detak jantung akan telah henti.

Saat ini aku meniup seruling.
Seruling zikirku.
Matahari mulai dengan berbinar sinar meneropong melalui sela-sela jati, menembus kekakuan dingin menetes embun.

Di saat itu juga riak air bah cermin wajah-nya menembus sela bersusun batu-batu kali.
Air itu menatapku kemudian bersyahdu dayu suara gemericik riak menabuh ia bersama kawannya; Batu. Rumput setinggi betis melambai-lambai kepadaku undang tariannya sepoi padu bersama angin.

Tanah gambus sesekali terlihat sekelompok kelinci hutan berlari-lari sambil mengendus mungil hidung mereka menyatu indah bulu-bulu putih cerah mencari penghidupan penuh seru.
Pohon jati berbadan paling besar dengan akarnya yang keluar dari tumpukan gambus tanah dan rumput di atasnya, punggungku bersandar padanya. Serulingku terdengar mendayu, menangis bersama angin.

Binatang liar mulai terdiam mengarah telinga menikmati.
Langkah mereka sayup dari balik badan-badan rumput setinggi padi.
Serulingku mengundang puasa melupakan pencaharian hari.

Sependuduk Kijang, Kelinci, Tupai, Ayam hutan, dan Kuda liar bersamaku takzim duduk menikmati simponi.
Mereka tenang manja mengelus-elus ingin berkawan diri.
Aku memimpin syahdu zikir hingga saban hari.