masukkan script iklan disini
Pic by google |
Oleh Erich Fardiansyah A.M
Saya terlahir disebuah desa yang penuh dengan pepohonan berwarna hijau, terkadang desa ku terlihat hitam gelap di malam hari.
Saya tinggal disebuah pemukiman yang konon katanya berperadaban. Sebuah rumah yang berlokasi di Provinsi Gowa, Kabupaten Samata, Desa UIN, kelurahan Adab. Pak Lurahnya bernama bapak Barsih, istri Pak Lurah bernama Ibu Gus.
Mereka memiliki 3 anak yang bernama Bapak Rah, Ibu Syam, dan Bapak Abrar, begitu mereka akrab disapa.
Sewaktu kecil, saya sangat senang berada di lingkungan ini, berkenalan dengan orang yang baru saya kenal, memiliki beribu bentuk wajah dan 1000 karakter yang berbeda, tetapi seiring berjalannya waktu semua itu ku jadikan pembelajaran.
Tetapi semenjak saya mulai merangkak remaja, saya melihat lingkungan hidup yang selama ini saya tinggali membuatku merasah sedih. Pak Lurah dan keluarga kecilnya terlalu asik dengan kesibukan mereka hingga melupakan warganya, mereka menutupi permasalahan dengan sebuah permainan yang bersikap sopan santun dan bijaksana.
Saya selalu saja menemukan permasalahan di desa ku, entah bagaimana menyelesaikan permasalahan itu. Baik dari pendidikan yang begitu mahal, aturan yang tidak karuan, tidak ada transparansi anggaran desa, sampai disalah satu musium di kelurahan ku dijadikan tempat penjualan kopi, teh dan tempat mencetak untuk kepentingan sang penjaga museum yang bernama Bapak Anas.
Tetapi suatu hari warung bapak Anas yang di namakan kopi canel itu diusir dari Museum.
apak Anas tidak merasa jera, beliau berjualan disalah satu ruangan dalam bangku pendidikan yang jelas-jelas melanggar aturan yang berlaku di tempat beliau menjual kopinya. Beliau memanfaatkan mata kuliah yang bernama Komunikasi Publik untuk kepentingan pribadinya.
Beliau juga mengambil ruangan kelas di tempat ku mencari ilmu dan memanfaatkan fasilitas kampus seperti; komputer, print, Ac, TV 42 Inci, meja rapat, kursi, bahkan dispenser untuk menjajakan dagangannya. Beliau memanfaatkan mata kuliah komunikasi publik untuk mencari keuntungan lebih, dengan berkedok membuka lembaga semi otonom yang ilegal, beliau menamakan kedok bisnisnya bernama SKI CHANNEL.
Terkadang warga di desaku selalu tertipu dengan segelintir kegiatan yang tidak bermanfaat untuk kepentingan menghabiskan anggaran desa, bahkan mereka dianjurkan untuk belajar berbahasa Inggris di luar negeri dengan biaya yang sangat besar.
Mereka belajar bagaimana cara menggunakan sendok dan garpu yang baik di luar negeri yang sebenarnya tanpa mengeluarkan biaya sangat besarpun untuk keluar negeri, semua itu bisa dilakukan di rumah. Warga di desa ku selalu saja dituntut untuk menghasilkan produksi pasar demi kepentingan kaum feodal tanpa mementingkan pendidikan mereka.
Bahkan kami dilarang beraktivitas di malam hari baik di desa maupun kelurahan. Aparatur di tempatku setiap malam menjadikan desa ku sebagai tempat berkumpul untuk meminum minuman keras. Selalu bertindak yang tidak wajar ketika dipengaruhi minuman keras, bahkan suatu malam warga desa dipukul pada saat aparatur desa ku mabuk. Mereka dipukul hanya karena persoalan melakukan aktivitas di malam hari.
Di minggu pagi sewaktu saya melangkahkan kaki mengelilingi desa, saya melihat bangunan yang membuatku merasa resah dengan keadaan desa ku yang selalu saja dijadikan monopoli oleh sang oligarki kapitalis sebagai penghasilan lebih mereka dengan menanamkan modal yang nantinya akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar dengan bekerja sama birokrat desa demi kepentingan mereka.
Dibalik senyuman, mereka menyembunyikan sifat rakus yang tidak pernah puas atas pencapaian mereka. Warga desa dijadikan mesin yang mencetak kebutuhan pasar, selalu memerintah mereka dengan aturan. Mereka memandang tanah desa sebagai lahan bisnis yang bisa diatur sana sini tanpa ada persetujuan warga desa.
Kritikan dan amukan warga hanya dijadikan bahan evaluasi untuk mempermulus keinginan sang oligarki yang bekerjasama dengan penguasa struktural desa.
Saya merasa bingung dengan legitimasi “PERMUKIMAN PERADABAN”, diperuntukkan untuk siapa?