masukkan script iklan disini
_"Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikut Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia"_ (Al-Baqarah (2): 143).
A-Qur’an dengan segala nilai universal sebagai perintah Tuhan dalam setiap huruf-huruf agung mengharapkan manusia untuk dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari balik tirai dan kejelasan maknanya. Ia adalah kitab yang datang sebagai anugerah dari-Nya karena sifat dan kandungan setiap bait-bait menjelaskan kasih sayang kepada makhluk-Nya. Al-Qur’an menjangkau seluruh alam karena keluasan dan kemenakjubkan bahasanya yang tepat kepada setiap tingkatan dengan kejelasan isyarat dan ayat-ayat yang tepat bagi setiap manusia.
Memperdalami dan mengambil butir-butir berlian permata darinya akan menjadi kunci-kunci bagi setiap serangan kerusakan dan bengisnya dunia, hal ini sebagai bentuk rahmat Tuhan Yang Maha Pengasih untuk dijadikan bekal selama makhluk-Nya berada di atas bumi dalam rangka kepatuhan dan kewajiban dalam dua arah; memanifestasikannya dalam jalur vertikal juga horizontal.
Dengan kefasihan dan kelugasan Al-Qur’an sebagai rahmat dan menjadi media bagi manusia untuk mengenal Allah. Menurut H. M. Quraish Shihab, kata Allah terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 2698 (Quraish Shihab, 1998) kemudian dalam pandangan Ibn Ruslan, manusia diharuskan untuk pertama kali mengenal-Nya dengan penuh ketundukan dan keyakinan (Abuddin Nata, 2008: 55).
Dalam setiap zaman, Tuhan Yang Maha Suci mengirimkan seorang Pesuruh yang bertugas menyampaikan risalah-Nya hingga seluruh makhluk termasuk manusia bertunduk padu dan mengenal sang Pencipta untuk beribadah dan mengagung-agungkan Tuhan yang pertama kali telah menciptakan mereka (manusia). Pada akhir dan penutup Nabi, Allah swt. mengirim seorang penghulu yang Agung yaitu rasul Muhammad saw. Rasul dalam tugasnya menerapkan dan menyampaikan segala wahyu Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kemampuan dan mukjizat sehingga pada akhirnya ia membawa sebuah perkataan, perbuatan dan ketetapan hingga hal ikhwal keadaan yang dijadikan teladan bagi seluruh manusia, yang kita kenal sebagai Sunnah.
Sunnah sebagai bentuk perilaku dan segala tabiat yang menjadi contoh teladan dari seorang Rasul Tuhan ditujukan dan dimaksudkan untuk mengubah satu sistem kehidupan yang berdasarkan ego kesukuan, kepercayaan, pendapat dan kebodohan yang telah menjadi sistem moral hingga berusaha mengubahnya menjadi sebuah komunitas yang berpegang pada satu tujuan yaitu; meng-Esa-kan Allah swt. sehingga dalam keseharian rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak. Seluruh ajaran yang dibawa oleh seorang rasul disampaikan dalam bentuk sikap terbuka, tutur kata yang baik, penuh rasa percaya diri (optimis), keamanan, egaliter dan terbuka bagi setiap manusia atau setiap umat (Nurcholish Madjid, 1995: 8-17).
Dewasa ini dirasakan begitu besar kebutuhan kita sebagai umat untuk mengkampayekan dan menyadari moderasi dan nilai-nilai keluhuran Islam universal yang didasarkan oleh kebaikan, kepentingan, dan kebutuhan kita sebagai umat manusia; khususnya itu harus terus eksis di dalam bumi Indonesia. Abu Su’ud seorang pakar tafsir menjelaskan dalam istilah moderasi atau _wasathiyyah_ merujuk kepada sebuah upaya Islam menjadi penengah, seimbang, dan berkeadilan (M. Hanafi, 2009) dalam melihat realitas dibandingkan melihat agama sebagai alat dominasi atau membenci tanpa sebab terhadap agama selain Islam (ahli kitab). Yusuf Qardhawi (1995) berpendapat bahwa di antara karakteristik Islam adalah _wasathiyyah_ (moderat) dan _tawazun_ (keseimbangan) antara dua jalan; konsistensi dan perubahan, kontekstual dan idealisme, individu dan kolektif atau spiritualisme dan materialisme. Semua ini menunjukkan tentang risalah Islam yang mengedepankan harmoni dan keserasian sebagai fitrah manusia yang terkonsep dengan matang dan menuntut pengamalannya dalam kehidupan antar sesama. Bukan jalan pemikiran yang rigid (kaku) yang berbuah kekerasan, kebencian hingga peperangan, bukan juga pemahaman sekuler yang menjauhkan identitas kita sebagai Islam yang hidup di tengah multi kultural yang ada, sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda:
_"Barangsiapa membunuh orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal, bau surga itu sudah tercium dari perjalanan empat puluh tahun”_. (HR. al-Bukhari dalam Cara Bergaul Rasul dengan Non Muslim, 2012)
Kita sebagai masyarakat Indonesia dengan berbagai multidimensi budaya, sosial dan interaksi di dalamnya tidaklah picik hanya memberikan jalan dan kesempatan kepada satu atau beberapa komunitas saja. Melainkan kita dikenal dengan bangsa dan negara contoh suburnya moderasi Islam bagi negara-negara lain. Sebagaimana Nabi Muhammad saw. memimpin Negara Madinah didasarkan kepada nilai harmonis dan kedamaian dalam sebuah kesepakatan antar seluruh kelompok dan etnis di dalam kotanya. Oleh sebab itu, Madinah tidak dikenal dengan nama atau sebutan “Negara Islam” namun lebih ditekankan istilah _Munawwarah_ (kota yang cerah; penuh keharmonisan). Praktik kepemimpinan Nabi saw. sebagai bentuk aplikasi yang luhur dari Al-Qur’an. Nabi dikenal penuh kasih namun juga tegas jika ada seorang saja yang merusak atau memicu pengkhianatan terhadap Negara yang berdaulat. Bahkan dalam pandangan AhluSunnah wal Jama’ah, sekalipun umat dipimpin oleh seorang pemimpin yang zalim, umat harus sabar dan menasihati sang pemimpin dengan penuh lembut dan ilmu; bukan kekerasan, pemboikotan apalagi sampai menggulingkan pemerintahan yang sah.
Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar harus mempertimbangkan bagaimana seorang pemimpin dapat merangkul dan menyejukkan semua. Kita menyadari betapa kita adalah sebuah bangsa yang berbeda dalam segi suku, bahasa, dan agama. Dengan fakta yang demikian, jikalau saja seorang pemimpin atau masyarakat di dalamnya tidak merangkul dan memahami perbedaan maka Indonesia ke depannya akan rawan bahkan akan konflik. Kita melihat dalam sejarah bahwa Nabi mempersatukan tidak lebih dari 23 tahun suku-suku Arab menjadi satu dengan kepemimpinan yang dijalankan tanpa permusuhan dengan menawarkan konsep Islam yang Rahmatan lil ‘Aalamin.
Islam sebagai Rahmatan lil ‘Aalamin memiliki arti harmoni dan kekuatan kesempurnaan dengan segala bentuk keadaan hidup yang memiliki aspek spiritual dan kehidupan, ia menawarkan solusi bagi individual maupun sosial sehingga ia mampu diterima sejelas mungkin oleh akal manusia. Ini berarti bahwa Islam sesuai dengan realitas di manapun zaman maupun waktu yang mengelilinginya. Jean Jacques Rousseau dalam _Social Contract_ menulis,
_"Untuk menemukan undang-undang masyarakat yang paling sesuai bagi bangsa-bangsa, perlu adanya sebuah kecerdasan superior yang dapat memahami segala keinginan manusia tanpa kecenderungan pada siapa pun, yang naluri alamiahnya tidak sama dengan kita tapi mengerti naluri alamiah tersebut sampai ke akar-akarnya, yang kebahagiaannya tidak bergantung pada kebahagiaan kita tapi menjadikan kebahagiaan kita sebagai perhatiannya… kenyataannya, kita membutuhkan seorang utusan Tuhan sebagai pembuat undang-undang”_. (Jean Jacques Rousseau, II, Bab 6: _The Lawgiver_).
Melihat realitas bahwa dibutuhkannya sebuah aturan dan undang-undang yang luhur yang tidak berada pada pihak dan kecenderungan tertentu. Tidak menghalalkan kekerasan dan kebencian hanya demi mempertahankan pendapat atau pemikiran golongan sendiri, yang notabenenya semua berada dan berjuang hanya di atas kepentingan dan kebaikan kelompok tertentu saja. Ini jelas bahwa, kita sebagai manusia dengan segala keterbatasan tidaklah patut untuk menjadi Tuhan bagi individu atau golongan yang lain; selama golongan yang berbeda tidak keluar dari pemahamn Al-Qur’an dan Sunnah yang telah diajarkan oleh Nabi saw. sehingga tidak dibenarkan untuk memerangi (menghakimi, merusak nama) dan apalagi jika menghalalkan darah sesama Muslim lebih-lebih orang yang berbeda agama (non-Muslim).
Kekejaman dan ujaran kebencian dalam dunia dewasa ini sebenarnya disebabkan oleh ketidaksadaran kolektif _(collective minds)_ oleh kelompok dan perbedaan yang terlalu diasah tajam sehingga menumbuhkan jiwa dan sikap paling benar sendiri, sholeh (kesholehan individu dan sosial) sendiri, hingga tak menghargai perbedaan. Faktor-faktor demikian penting diminimalisir tumbuh kembangnya dengan cara menyadarkan setiap kelompok, lembaga, institusi melalui sosialisasi dan berbagai media yang dapat digunakan untuk memperbaiki kepercayaan dan pemahaman dari kelompok yang berlebihan dan cenderung menyalahkan pihak di luar pemahaman keagamaan sendiri. _Wasathiyyah_ dalam ajaran Islam sebagai salah satu ciri ajarannya, tidak bertempat tinggal hanya dalam konsep melainkan ia kemudian harus didorong secara masif menjadi sikap dan pandangan hidup dalam menanggapi keadaan realitas yang begitu penuh corak dan beragam.
Umat _Wasathan_ sebagai bentuk masyarakat yang diharapkan dapat menjadi pelopor kedamaian, keserasian, ketenangan dan hidup bersama di dalamnya di atas asas (meminjam istilah Barsihannor, 2013) _agree in disagreement_; setuju dalam perbedaan dan siap menghadapinya. Pada sisi lain perlu dicatat bahwa Islam sebagai juga memiliki batasan-batasan jikalau saja perbedaan itu telah mengganti masalah ushuluddin dan memudahkan perubahannya sebagai bentuk kebebasan yang tak dibatasi dengan baik, maka secara otomatis ketika telah mengubah dasar _(ushul)_, ia adalah bukan Islam. Islam selain menjaga dan memberi ruang pada stasiun-stasiun perbedaan, ia juga tak akan mentolerir perbedaan sosial yang menyebabkan setiap kelas masyarakat menjadi pecah, tak berkeadilan (non-simetris) baik konflik tersebut terjadi dalam komunitas seiman maupun orang yang berbeda iman. Perbedaan dalam setiap masa akan menemui permasalahn yang sama dalam sejarah umat manusia disebabkan oleh perbedaan menafsirkan teks-teks agama dalam pemahaman dan pengamalan (Quraish Shihab, 1994: 362).
Keadaan realitas yang tak dapat dihindari tersebut di atas, meminta penyelesaian dan resolusi kedamaian bagi pikiran dan kesadaran kita sebagai manusia yang beragama agar kekerasan dan perpecahan tidak menjadi langganan sejarah untuk mencatatnya. Keindahan yang dihasilkan jika kita memahami dan meninjau kembali pemahamn teks-teks Al-Qur’an juga Sunnah bagi kehidupan, bukan hanya generasi sekarang yang akan menikmati kedamaian dari pemahaman dan pengamalan keagamaan yang sejuk, akan tetapi hal serupa juga akan dirasakan oleh generasi-generasi mendatang; semua bentuk keterbukaan, saling percaya, dan hidup aman akan tercipta dalam setiap masyarakat yang memilikinya. Akan sangat disayangkan ketika Indonesia ke depannya menjadi artefak-artefak peradaban yang hanya menjadi museum bagi generasi mendatang, yang telah dirusak oleh perang saudara dan orang-orangnya sendiri.
Dalam alasan lain mengecilnya nilai moderasi dijelaskan M. Qasim Mathar sebagai sebab karena ketertinggalan manusia modern terhadap perubahan sosial yang ada, realitas di lingkungan telah berubah, namun persepsi dan pikiran kita justru tidak berubah (M. Qasim Mathar, 2007: 5)
Segala bentuk perubahan realitas sosial yang ada saat ini lebih ditekankan oleh perubahan zaman dan perpindahan arus informasi dan teknologi yang dalam istilahnya disebut era postmodernisme. Azyumardi Azra mengemukakan postmodernisme adalah sebuah era di mana semakin majemuknya wacana sosial, kultural, keagamaan disebabkan oleh arus informasi, globalisasi sehingga sikap dalam bentuk pluralisme dibutuhkan dan tak dapat ditunda lagi (dalam Barsihannor, 2013: 1).
Bernard Shaw dalam karyanya _Muhammad, Apostle of Allah_ mengeksplisitkan bahwa Islam adalah agama yang mampu menguasai berbagai perubahan kehidupan dan kebudayaan, dengan terlebih dahulu menyatakan kekaguman dan ketakjubkan terhadap Islam. _“Setelah banyak mempelajari tentang Muhammad, saya menyimpulkan bahwa Muhammad bukan sekadar tidak memusuhi Kristus… saya yakin bahwa seandainya seorang manusia seperti dia menjalankan kepemimpinan di dunia baru, dia akan berhasil menyelesaikan segala permasalahan dunia dan menjamin perdamaian dan kemakmuran yang diinginkan oleh seluruh umat manusia"_. (dalam Mujtaba Musawi Lari, 2010: 133-134).
Realitas yang tak mampu disikapi dengan bentuk penghargaan akhirnya hanya menimbulkan pengkafiran (takfiri) dan klaim kebenaran. Islam dalam peradaban di masa yang akan datang, tak elak lagi dengan keindahan kebenaran dan nilai universalnya akan menduduki peradaban tertinggi dalam kehidupan manusia.
Penulis : Muhammad Syarif Hidayatullah
E-mail : mshidayatullah96@gmail.com