Yang Dilakukan Oleh Pikiran Saat Kita Membaca Buku Beserta Berbagai Macam Kejengkelannya

Pitc by: google.com
Oleh: Nama Pena

Selamat beraktifitas wan-kawan.

Baiklah. Judul diatas terinspirasi dari judul buku Orham Pamuk: “What Our Minds Do When We Read Novels.” Jangan menyangka bahwa saya telah membaca bukunya. Oh, tidak sama sekali. Sungguh.

Saya mengambil ide tulisan ini karena perlu kiranya kita semua – terutama mahasiswa yang gemar baca buku (kalau bukan cuma deskripsi singkat buku pada sampul belakang, ya satu paragraf; lalu berhenti) – mengetahuinya.

Saya sebenarnya salut dengan orang-orang yang cuma membaca sampul belakang buku lalu menjelaskan seolah-olah ia telah menguasai buku itu melebihi penulisnya sendiri. Dari merekalah saya belajar; jika mereka mampu menjelaskan isi buku hanya dengan membaca sampul belakang, mungkin saya bisa menuliskan maksud sebuah buku hanya dengan membaca judulnya.

Nah, itulah yang hendak saya lakukan pada tulisan ini. Selamat membaca.

***

Kita semua tentunya pernah membaca. Menelusuri kata demi kata pada kalimat yang tersaji di dalam paragraf sebuah buku. Memahami maksud kata itu. Mencoba menghubungkan pengalaman pribadi dengan setiap tafsiran kita pada kata atau kalimat atau paragraf yang ada pada buku.

Kadang juga malah asing dengan kata yang ada, alih-alih mengerti. Belum lagi maksud yang ingin disampaikan pada buku itu atau esai atau artikel. Karena tidak mengerti kata, tidak mengerti maksud. Kita ambil kamus. Sialnya, kamus juga kadang tidak mampu memberi kita tuntunan untuk sampai pada maksud tersebut.

Ingin rasanya melempar buku yang isinya bahasa ilmiah semua. Jangankan mengerti, kita malah jengkel; Menggaruk-garuk kepala lalu ambil HP kemudian bukunya ditutup sambil berkata, “buku giblik!”
Kejengkelan itu sering terjadi pada orang yang belum terbiasa membaca. Sampai di sini kita mulai berspekulasi (semoga kalian mengerti apa itu berspekulasi). Mengapa kita jengkel? Biasanya, dalam analisis sotta’ saya, jengkel itu terjadi karena kita mengharapkan sesuatu datang pada kita dengan cara yang cepat. Tidak asing tentunya mengetahui kebanyakan orang sekarang begitu menginginkan hal yang serba mudah. Konstruksi sosial kita memang menuntut itu.

Namun jangan mencoba hal itu pada proses membaca. Atau proses memperoleh makna, tafsiran, juga interpretasi dari baca buku.  Kita harus memisahkan antara keinginan untuk memperoleh maksud dari proses kita membaca dengan kemampuan yang kita miliki dalam memperoleh maksud itu. Jika kemampuan kita bagus, maka cepatlah makna itu tiba.

Kemampuan yang bagus itu, dalam hal ini kemampuan membaca kita, diperoleh dari kebiasaan. Kita sudah mengetahui ini sejak dari TK; ala bisa karena biasa. Namun, (dasar kita memang orang yang giblik!) kita begitu abai terhadap kalimat ‘ala bisa karena biasa’ tersebut.

Kejengkelan itu membuat kita enggan meneruskan bacaan. Yang dipikirkan adalah berhenti atau membuang bukunya. Kalupun ada terbesit sedikit saja niat untuk melanjutkan bacaan meski dalam keadaan jengkel, ini sudah menjadi sebuah tahapan yang luar biasa.

Tapi, selalunya kita berhenti meneruskan bacaan itu. kita seolah diperdaya oleh pikiran sendiri yang mengatakan, “Kau tak mampu mendapat sesuatu dari membaca buku ini.” Ayolah, membaca buku tidak seperti makan yang bisa langsung dirasakan hasilnya.

Selain kejengkelan, yang dilakukan oleh pikiran kita pada saat belum terbiasa membaca, yang sering ditemui adalah terlalu dinamisnya pikiran kita untuk memperoleh maksud dari buku yang kita baca. Maksudnya, kita memproyeksikan banyak hal di dalam pikiran, padahal yang kita baca mungkin hanya kalimat seperti, “Aku cinta padamu.” Kalimat serupa seringkali memproyeksikan berbagai hal yang telah kita alami. Pikiran lalu membayangkan banyak hal tentang kalimat tersebut; bisa membayangkan tentang pengalaman pertama jatuh cinta; bisa tentang seorang teman yang hampir bunuh diri karena kalimat itu. Apapun.

Ketidakmampuan pikiran memberi jeda pada berbagai hal yang melintas di dalamnya membuat pikiran itu sendiri mengalami distraksi. Akibatnya, proses pembacaan ataupun perolehan makna bacaan terganggu.

Lalu lintas pikiran kita begitu padat. Banyak hal yang melintas tanpa kita menyadari itu. Tentu pengaruhnya bisa beragam. Jika pada mahasiswa pengecut, pengaruhnya adalah tugas atau kebencian terhadap geng sekelas dan lain-lain dan lain-lain.

Selain pengaruh itu, juga kurang berfungsinya polisi lalu lintas di dalam pikiran kita. Polisi itu berfungsi untuk menertibkan jalan pikiran. Memilih mana yang harus dipikirkan, mana yang perlu disingkirkan. Polisi ini kadang bolos jika kita membaca. Tidak menjalankan tugasnya dengan baik, malah ngopi di warung tempat motornya terparkir dan membiarkan pelanggaran lalu lintas berkeliaran dalam pikiran kita.

Biasanya, polisi yang membiarkan kekacauan lalu lintas terjadi adalah polisi yang malas. Biasanya juga, polisi seperti ini malah ngantuk melihat lalu lintas yang berantakan seperti itu. Inilah sebabnya seseorang kadang mengantuk saat membaca buku. Berawal dari malas lalu ngantuk lalu membiarkan bukunya tertutup bersamaan dengan tertutupnya mata.

Hubungan antara lalu lintas yang kacau, yang ingin saya sampaikan, dengan ketidakmampuan polisi lalu lintas itu menertibkannya adalah bukan lalu lintas pikiran itu yang perlu diperhatikan. Cara kerja polisi lalu lintas itu yang perlu. Karena jika ia tertib, maka tertiblah lalu-lintas itu.

Pikiran senantiasa penuh. Pada saat kita membaca, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, pikiran bisa terdisraksi dan berseliweran. Pikiran yang berseliweran itu, menurut Carl G. Jung, adalah konten yang tidak disengaja. Adanya konten tak disengaja ini diakibatkan oleh bukan karen kita tidak fokus saat membaca, melainkan sebelumnya memang kita terbiasa untuk tidak fokus. Sehingga terbiasanya kita tidak fokus akan datang secara tiba-tiba saat kita hendak fokus; dalam hal ini membaca.

Solusinya sederhana; Jung memberitahu kita tentang perlunya membedakan konten sengaja dan tak disengaja dari pikiran kita. Yang disengaja adalah fokus kita membaca; yang tak disengaja adalah berseliwerannya pikiran kita akibat keseringan tidak fokus. (Sulit dimengerti? Makanya fokus!)

Polisi itu adalah kesadaran kita saat membaca. Atau dia yang berusaha untuk menyingkirkan pikiran yang terdistrasi dan berseliweran tadi. Meski yang berseliweran itu tak tersingkirkan sepenuhnya, polisi akan mengaturnya agar proses pembacaan tetap terkendali.

Yang terpenting adalah mencegah hadirnya distraksi itu. Menertibkan lalu lintas pikiran dengan menertibkan terlebih dahulu polisinya. Selanjuntnya, kebiasaan sangat diperlukan; jelas kebiasaan membaca buku. Pengalaman telah berkata banyak pada kita tentang pentingnya kebiasaan.

Jangan lupa juga satu hal: Fokus. Seperti kata Via Vallen, “Terus fokus satu titik Hanya itu, titik itu.” Carannya? Mendengarkan lagu Via Vallen, dan mari membaca!