masukkan script iklan disini
Oleh Andini Haspita Hasrul
Kesetaraan gender tidak bisa diwujudkan hanya dengan membuka kesempatan bagi perempuan. Ini menyangkut cara pandang dan pola pikir, terutama mengenai kodrat. Dimensi kodratif perempuan meliputi segala hal yang mengenai biologis seperti, menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Jika masuk ke ranah domestik seperti, menyapu, memasak, dan mencuci, itu bukanlah kodrat tetapi gender, konstruksi sosial, sesuatu yang disepakati di dalam masyarakat yang disesuaikan dengan kultur lokal.
Di Makassar, masyarakat yang beradat Bugis, mengkategorikan perempuan yang ideal adalah mereka yang pintar memasak, jika tidak maka belum layak untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Mari kita samakan persepsi, bahwa memasak adalah sesuatu yang ada karena kesepakatan, jadi bukan masalah jika seorang perempuan tidak atau belum bisa bekerja di dapur. Itu bukan alasan untuk menunda waktu pernikahan. Sah saja sepasang suami istri membuat kesepakatan baru yang berkaitan dengan itu. Mempekerjakan orang lain, misalnya, atau bisa juga suami yang memasak dan isteri yang mencuci, itu semua tergantung kesepakatan, toh zaman sekarang banyak laki-laki yang berprofesi sebagai tukang masak.
Yang selalu digaungkan oleh feminis adalah mengenai gender itu sendiri, yang sering kali pembagiannya tidak adil, hanya menyenangkan laki-laki, karena peradaban banyak dibentuk oleh laki-laki, namanya adalah peradaban patriarki.
Lalu apa itu budaya patriarki? Budaya patriarki merupakan sebuah gambaran sistem dimana menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam sebuah organisasi sosial.
Di Indonesia sendiri, memperlihatkan mengenai kedudukan seorang laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Contohnya adalah zaman dahulu, laki-laki diperbolehkan meneruskan pendidikan, tetapi perempuan tidak boleh dengan alasan ujung-ujungnya hanya 3R yaitu, kasur, dapur, dan sumur. Bertolak dari itu, maka muncullah gerakan emansipasi perempuan yang digagas oleh Raden Ajeng Kartini, yang merujuk pada tuntutan atas hak bagi perempuan untuk berpendidikan.
Ibu Kartini, dalam salah satu suratnya kepada Stella, sahabatnya, ia menulis:
“Aku ingin, dan aku harus berjuang untuk kebebasanku. Aku ingin, aku ingin Stella, kau dengar aku? Bagaimana aku meraih kemenangan jika kau tidak berjuang? Bagaimana aku akan menemukannya jika aku tidak berusaha untuk mencari? Tanpa perjuangan tidak akan ada kemenangan, aku harus berjuang, Stella, aku ingin menggapai kebebasanku. Aku tidak peduli akan segala rintangan dan kesulitan, aku merasa cukup kuat untuk mengatasi semua.”
Ibu Kartini adalah sosok perempuan yang pikirannya sangat maju, revolusioner, dan emansipatoris meskipun dirinya bukan pemimpin, apalagi penguasa. Ia sangat ingin menciptakan suatu kondisi di mana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sejajar di ranah publik, meskipun ia sendiri tidak mampu terbebas dari cengkeraman budaya patriarki, contohnya ketika ia menentang poligami namun pada akhirnya ia menyerah ketika dipinang oleh laki-laki yang sudah beristeri.
Semua hasil pemikirannya dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi para pejuang perempuan. Maka dapat disimpulkan bahwa, Ibu Kartini adalah sang inspirator gerakan perempuan di Indonesia.
Sekarang jika kita menyadari situasi yang terjadi, di Indonesia sendiri, perempuan mulai bebas memilih pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Ada yang menjadi hakim, penyiar radio, sopir taksi, penceramah di televisi, dan sebagainya. Sedangkan di negara Islam lainnya, atas nama aurat, perempuan tidak boleh muncul ke khalayak.
Pertanyaannya adalah apakah benar bahwa perempuan Indonesia sudah terbebas dari belenggu ketimpangan gender dan budaya patriarki? Jawabannya adalah belum. Aksi mengenai pro perempuan oleh masyarakat umum belum dapat menyelesaikan persoalan perempuan seperti: pemerkosaaan, perdagangan perempuan, diskriminasi, aborsi, dan segala bentuk pelecehan seksual.
Ibarat sebatang pohon, nilai-nilai patriarki telah memiliki akar yang kokoh di dalam kebudayaan Indonesia. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa, ini bukan persoalan pemberian kesempatan tetapi mengenai pola pikir. Jadi walaupun batangnya ditebang tetapi akarnya tidak dicabut, sampai kapanpun wacana gender tidak akan menemui titik penyelesaian akan solusi yang tidak membutuhkan solusi.
Ibu Kartini, dalam suratnya kepada Ny. Abendanon, ia menulis:
“Saya mengirim orang yang pro gerakan feminis atau orang yang mengutuk gerakan feminis. Bagi saya, seorang perempuan sudah sepatutnya terbebas dari keterwakilan dan kebiasaan. Tidak bisa hanya karena urusan gender, seseorang harus kehilangan hak-haknya atau tidak mencari kesempatan yang sama.”
Di saat perempuan kebanyakan yang dibesarkan dalam budaya Jawa yang lekat dengan budaya patriarki hanya tahu bagaimana cara menjadi isteri yang baik, perempuan yang baik tugasnya begini begitu, berbeda dengan Ibu Kartini, pemikirannya sudah jauh ke depan. Bayangkan jika Ibu Kartini seperti perempuan Jawa lainnya, tidak berani melawan budaya lokal, mungkin perempuan zaman sekarang masih berada di terowongan gelap tak bertepi.
Budaya patriarki akan terus ada selama masyarakat yang terus mengkontruksi mengenai status dan peran itu sendiri. Tahu lagu yang dipopulerkan oleh artis muda bernama Mytha dengan judul “Aku cuma punya hati”? Pernah menganalisis makna dari lagu itu? Berikut adalah liriknya:
“Kamu berbohong aku pun percaya, kamu lukai ku tak peduli, coba kau fikir di mana ada cinta seperti ini. Kau tinggalkan aku ku tetap di sini, kau dengan yang lain ku tetap setia, tak usah tanya mengapa, aku hanya punya hati.”
Di setiap bait syair lagu tersebut menggambarkan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah. Bagaimana tidak, dilukai dan ditinggalkan tetapi ia tetap diam, sangat jelas memposisikan perempuan sebagai sosok yang bodoh hanya karena cinta. Berangkat dari itu, maka tergambarkan di dalam benak masyarakat apalagi di kalangan remaja bahwa perempuan memakai perasaan sedangkan laki-laki menggunakan logika. Dan apabila terus berlanjut maka gerakan-gerakan untuk menaikkan perempuan akan sia-sia jika masih banyak tersebar hal yang sifatnya mendoktrin masyarakat apalagi pelakunya dari perempuan itu sendiri.
Permasalahan gender diperjelas dalam Q.S An-Nisaa, pada ayat pertama menjelaskan bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah yang masing-masing jika beramal soleh akan diberikan pahala sesuai dengan amalnya, kedua-duanya diciptakan melalui jiwa yang satu, yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan, yang membedakan adalah amal ibadah.
Allah SWT menciptakan kita tidak dengan tujuan untuk mengungguli satu sama lain tetapi berjalan berdampingan untuk membangun peradaban manusia yang baik dan adil.