masukkan script iklan disini
Oleh Muhammad Syarif Hidayatullah [Mahasiswa Bahasa dan Sastra, Founder of Salaja Pustaka]
Sekadar olah jiwa pandangan saya tentang pembakaran bendera "La Ilaha Ilallah" dalam reuni keagamaan sekaligus kebangsaan umat Islam yang lalu.
Kami dalam kaji bahasa dan khususnya sastra selalu berhubungan dengan dunia simbol dan perlambangan, semua itu tercakup sebagai "tanda/sign". Jika Anda mengenal sesuatu Anda akan mempunyai ciri atau tanda yang dapat Anda tangkap dan jelaskan tentang sesuatu yang Anda maksud dalam pikiran. Anda bisa menjelaskan ciri-ciri kursi dalam pikiran Anda tanpa harus kursi (secara fisik) ada di depan Anda. Mengapa? Anda mengetahui ciri (sign) dari kursi atau apapun itu, sama halnya dengan objek atau simbol-simbol lain.
Saya sedang tidak mengajak Anda untuk (cepat) tersulut oleh tanda atau simbol apapun itu. Islam punya simbol dan tanda, kalimah Tauhid Anda letakkan di kain warna atau model apapun, ia akan tetap jadi tanda. Simbol salib atau contoh lain, simbol Palu Arit Anda letakkan di manapun tetap menjadi simbol agama Kristen dan PKI juga. HTI tidak mengatakan "Bendera kami adalah kain" tapi "Kalimat Tauhid" dan Kalimat Tauhid bukan milik HTI saja namun milik tanda dan simbol dari seluruh umat Islam.
Sebagai solusi dari ini juga untuk menghilangkan kebingungan masyarakat, pemerintah dan para pemimpin bangsa harus secara tegas merumuskan hukum jika Kalimat Tauhid bukanlah lambang HTI (setelah pelarangan lembaga ini secara konstitusi) namun adalah resmi milik Islam dan dibenarkan penggunaannya dalam hidup bernegara. Jika tidak, hanya "menunggu tanggal mainnya" akan terjadi peristiwa (kasus) yang relatif sama sehingga tentu umat akan gaduh ke depannya.
Para pelaku pembakaran dan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PPGPA) secara lembaga wajib meminta maaf. Saya sebenarnya tetap berpandang di atas Islam Rohmatan Lil 'Aalamin. Tapi tidak serta merta kita memudahkan (jika tak ingin disebut "menafikan" atau "menyampingkan") simbol atau lambang. Membakar Ayat Al-Qur'an (dengan alasan dan syarat tertentu) atau simbol-simbol perlambangan yang diyakini sakral dengan tujuan agar memuliakannya diharuskan memperhatikan waktu kondisi dan tempat. Mengapa? Karena hal-hal yang dianggap sakral (dicintai) jika dibakar atau dilecehi di depan orang yang meyakininya sebagai sakral, adalah tidak dibenarkan dan memancing pertikaian dan minimal perdebatan yang tak perlu. Hal yang sama dapat dianalogi ketika anda melihat foto (foto dalam studi tanda disebut Icon ) ibu Anda diinjak-injaki atau disobeki bahkan dibakar di depan anda, tentu Anda akan membelanya hingga didapatkan alasan dan tujuan jelas dari upaya tak biasa tersebut (belief deconstructive).
Dalam masyarakat ada tabu yang disepakati dan dipercayai sebagai sekumpulan tradisi dan bahkan norma yang disucikan oleh masyarakat tertentu. Tindak tanduk yang tidak mempertimbangkan norma dan tradisi yang telah diyakini atau bahkan menjadi dogma atas kebudayaan yang ada, hanya akan memberi label negatif kepada pelanggarnya. Tidak ada pelanggaran norma kecuali jika hal-hal tersebut telah disepakati atau minimal dipercayai oleh komunitas tertentu. Dan dalam kasus ini, pembakaran yang tanpa memperhitungkan dampak jauh (sebenarnya reaksinya tak bahkan menunggu lama) hanya akan menemui kemarahan dan pengerdilan budaya apalagi telah menjadi ajaran agama (hal yang sama untuk seluruh budaya dan agama).
Kita kemudian justru melihat dan sadar fenomena pembakaran ini sebenarnya menjadi bukti perbuatan sadar dan atau tidak sadar bahwa kita dalam masyarakat sangat percaya simbol, Banser terlalu percaya (baca: benci) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui bendera padahal mereka tidak tahu (salah) bahwa panji tersebut jelas bukan milik HTI saja. Ini jelas, Islam yang "terlalu moderat" menjauhkan kita dari Simbol dan Identitas. Pada akhirnya kita sendiri yang menghancurkan simbol atau menghina agama yang dipeluk hangat.
Dunia itu mudah, tergantung pikiran dan "cara" Anda menyikapinya, begitu juga dengan kasus ini. Anda salah, keliru atau khilaf, minta maaflah; ia jadi bukti kalo kita insan mulia. Kadang salahnya kita, datang ketika kita berpikir bahwa ketika kita meminta maaf, berarti kita lemah dan hina.
***
www.salajapustaka96.blogspot.com