masukkan script iklan disini
Pic by Front Mahasiswa Demokratik |
Oleh Muh Akbar
Sejak pertama kali ditetapkan sebagai kebijakan menggantikan SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), tepatnya pada tahun 2013 silam, UKT-BKT (Uang Kuliah Tunggal-Biaya Kuliah Tunggal) mejadi sebuah diskursus yang menyita banyak perhatian aktivis mahasiswa khususnya yang ada di perguruan tinggi negeri. Tidak sedikit aktivis mahasiswa menerjemahkan kebijakan ini sebagai salah satu modus kapitalisasi pendidikan atau wujud nyata dari penerapan ideologi neoliberalisme dalam praktik kebijakan pemerintah dewasa ini. Salah satu persoalan dalam peraturan UKT-BKT yang menjadi fokus pengawalan aktivis mahasiswa ialah penyimpangan terhadap produk hukum yang mengatur peraturan UKT-BKT. Penyimpangan yang dimaksud di sini adalah terkait adanya temuan pelanggaran terhadap salah satu bunyi pasal pada penerapan UKT-BKT di tingkat perguruan tinggi negeri. Penyimpangan yang sama juga terjadi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar sebagai salah satu perguruan tinggi negeri yang menjalankan peraturan UKT-BKT dalam menetapkan besaran biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Sebelumnya, sebagaimana dalam amanah UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pasal 85, 88 dan 89 menjadi dasar hukum dalam menetapkan kebijakan penentuan biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Dasar hukum yang kemudian direalisasikan dalam keputusan Dirjen Dikti Nomor 97/E/KU/2013 tanggal 5 Februari 2013 tentang intruksi “menetapkan dan melaksankan tarif UKT (Uang Kuliah Tunggal) bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013-2014. Keputusan inilah yang mengharuskan seluruh perguruan tinggi negeri menjalankan peraturan UKT-BKT sebagai mekanisme dalam menetapkan besaran biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa. Khususnya bagi perguruan tinggi agama negeri seperti UIN Alauddin Makassar, juga terdapat dasar hukum yang mengatur persoalan UKT-BKT. Hal ini bisa dilihat dari Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2013 Tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Bagi Mahasiswa Baru Pada Perguruan Tinggi Agama Negeri.
Sejak tahun 2013 silam hingga saat ini memasuki tahun ke-5, penerapan peraturan UKT-BKT di UIN Alauddin Makassar masih terdap persoalan. Persoalannya adalah seperti yang telah disebutkan di atas bahwa terdapat pelanggaran terhadap produk hukum yang mengatur UKT-BKT khususnya pada penerapannya dalam ruang lingkup perguruan tinggi. Berangkat dari riset yang dilakukan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas UIN Alauddin Makassar menunjukkan adanya temuan di mana penetapan kategori UKT oleh pihak kampus (baca: UIN Alauddin Makassar) tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa. Hal ini tentu melanggar ketentuan dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal Bagi Mahasiswa Baru Pada Perguruan Tinggi Agama Negeri khususnya pada pasal yang mengatur tentang penetapan kategori uang kuliah tunggal mahasiswa yang terdiri atas beberapa kelompok harus berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Artinya, pasal ini mengintruksikan penetapan kategori UKT mahasiswa oleh pihak kampus harus sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa yang bersangkutan.
Berangkat dari pelanggaran inilah kemudian aktivis mahasiswa yang tergabung dalam lembaga mahasiswa intra kampus menuntut adanya SOP (Standar Operasional Prosedur) rekategorisasi UKT mahasiswa. Dari sudut pandang mahasiswa, rekategorisasi UKT mahasiswa dinilai sangat urgen untuk dihadirkan, mengingat tidak sedikit jumlah mahasiswa yang menempati kategori UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya. Hal ini juga telah melanggar asas keadilan yang menjadi semangat falsafah dari peraturan UKT-BKT yang dinyatakan oleh pemerintah.
Tuntutan terhadap penerbitan SOP rekategorisasi UKT mahasiswa akhirnya mendapat hasil positif setalah lembaga mahasiswa mengadakan RDP (Rapat Dengar Pendapat) untuk membahas urgensi rekategorisasi UKT. Dari RDP ini, pihak kampus UIN Alauddin Makassar sepakat untuk menerbitkan SOP rekategori UKT mahasiswa setelah memperoleh penjelasan serta data dari pihak lembaga mahasiswa. Realisasi terhadap tuntutan mahasiswa ini yang telah disepakati oleh pihak kampus kemudian dituangkan ke dalam Keputusan Rektor UIN Alauddin Makassar Nomor 315 Tahun 2018 Tentang Peninjauan Penetapan Uang Kuliah tunggal. Kehadiran keputusan ini tentunya diharapkan dapat menyelesaikan perkara ketidaksesuaian penetapan ketegori UKT dengan kemampuan ekonomi mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
Hadirnya mekanisme rekategorisasi UKT melalui keputusan rektor sebagai sebuah kemenangan kecil tentunya harus diapresiasi mengingat kedudukannya yang sangat urgen. Akan tetapi, bukan berarti peraturan UKT-BKT tidak lagi bermasalah dan bisa diterima dengan penuh suka cita. Suatu pemahaman yang harus dimiliki adalah penetapan kategori UKT yang tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa hanyalah satu persolan kecil di tengah banyaknya kontroversi terhadap peraturan ini oleh kalangan mahasiswa. Telah disebutkan di atas bahwa UKT-BKT merupakan suatu kerangka kebijakan pemerintah khususnya pada sektor pendidikan yang sarat dengan logika neoliberalisme.
Penetrasi Neoliberalisme Pada Sektor Pendidikan Dalam Kerangka UKT-BKT
Sejak pertama kali hadir sebagai peraturan dalam menetapkan besaran biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa, UKT mendapat respon penolakan dari kalangan mahasiswa khusunya yang berada di perguruan tinggi negeri. Respon penolakan ini didasari dari asumsi yang mendudukkan UKT sebagai suatu kerangka kebijakan yang mengandung semangat neoliberalisme. Peraturan UKT-BKT yang menyiratkan adanya pola neoliberal –pemotongan anggaran negara yang dialokasikan untuk biaya sosial atau penghapusan konsep “barang publik” misalnya peniadaan subsidi pendidikan–dapat dilihat dari sifat dasar UKT-BKT yang meniscayakan adanya subsidi silang –si kaya mensubsidi si miskin. Skema subsidi silang yang menjadi frame peraturan UKT-BKT ini menunjukkan lepasnya ‘negara’ dari tanggung jawabnya untuk membiayai pendidikan. Akibatnya sejak peraturan ini berlangsung hingga saat ini, biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa naik secara signifikan hingga 200%, paling tidak ketika merujuk pada UIN Alauddin Makassar. Mahalnya biaya pendidikan tinggi, ini menjadi salah satu indikasi adanya pencabutan sedikit demi-sedikit subsidi pendidikan yang juga sekaligus menguatkan konsep otonomi kampus. Hal ini mengarah pada peneguhan kekuasaan pasar dan usaha komersialisasi pendidikan tinggi yang pada akhirnya kampus justru ‘melayani status quo’, alih-alih mewujudkan asas keadilan pada sektor pendidikan untuk mereka yang lemah secara ekonomi.
Peraturan UKT-BKT yang inheren dengan absennya peran negara dalam menjamin layanan sosial (publik service) inilah yang harus dipahami sebagai kontradiksi dasar ketika dipertautkan dengan amanah dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa salah satunya dengan menjamin ketersediaan institusi pendidikan sampai tahap pendidikan tinggi yang mampu diakses oleh semua elemen masyarakat termasuk mereka yang memiliki kemampuan ekonomi rendah. Kehadiran UKT-BKT yang menjadi kausal tingginya biaya kuliah sekaligus pertanda negara telah angkat tangan dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi pada dasarnya juga kontradiksi dengan deklarasi universal HAM yang telah menyatakan bahwa ‘pendidikan tinggi harus bisa diakses semua orang atas dasar kemampuan ekonomi’.
Bangun Kesadaran Kritis
UKT-BKT pada dasarnya merupakan kedok pemerintah dalam melepaskan tanggung jawabnya yang pada akhirnya melahirkan konsekuensi logis pelimpahan pembebanan tanggung jawab kepada masyarakat untuk membiayai pendidikan tinggi dalam konteks ini mahasiswa. Lebih lanjut lagi, peraturan ini sangat berpontensi menutup akses mereka yang lemah secara ekonomi masuk ke perguruan tinggi. Efek domino yang lebih parah lagi ialah terbukanya ruang bagi praktik swastanisasi atau komersialisasi pendidikan yang berakhir pada legalitas kekuasaan pasar, alih-alih menguatkan kedudukan institusi pendidikan sebagai arena lalu lintas ilmu pengetahuan yang dapat berkonstribusi untuk kemajuan masyarakat.
Tak pelak lagi, artikulasi terhadap UKT-BKT sebagai sebuah kerangka kebijakan yang terkooptasi dengan logika neoliberal memerlukan sikap kritis dari kalangan aktivis mahasiswa. Oleh karena itu, SOP rekategorisasi UKT haruslah dipahami sebagai pemantik untuk membakar semangat perjuangan mahasiswa dalam memukul mundur peraturan UKT-BKT. Suatu kesadaran yang harus dimiliki oleh mahasiswa adalah memahami bahwa UKT-BKT beserta dengan sengkarut kelindan masalahnya tidak bisa begitu saja hilang hanya dengan proses penantian pasif atau menunggu keinsafan dari pemerintah untuk mencabut peraturan ini, melainkan menuntut dan mengusahakan adanya syarat material bagi keberadaannya –dihapuskannya peraturan UKT-BKT–melalui pembangunan rantai kesadaran kritis. Artinya, mesti ada intervensi superstruktural yang harus mematangkan kontradiksi dasar dari peraturan UKT-BKT sehingga membukakan jalan menuju upaya nyata dalam menghapuskan peraturan ini.