masukkan script iklan disini
Oleh M. Nur Jayadi
Paulo Freire adalah seorang tokoh pendidikan di Brazil dan teoritikus pendidikan yang berpengaruh di dunia.
Dalam bukunya politik pendidikan (kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan) filsafat pendidikan yang dicetuskan Paulo Freire berangkat dari kehidupan nyata bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita dan sebagian lagi memetik hasil yang semena-mena dari penderitaan tersebut. Dari situasi inilah Freire melihat bahwa sedang ada “situasi penindasan". Bagi Freire, penindasan apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi, dan akan menafikkan harkat kemanusiaan pada manusia (dehumanisasi). Maka sudah seharusnya proses (humanisasi) memanusiakan kembali manusia adalah satunya bentuk perlawanan dari dehumanisasi itu sendiri khususnya dalam bidang pendidikan.
Pendidikan gaya bank begitulah nama yang disematkan Freire melihat proses pendidikan yang ada, nama tersebut diberi karena Freire melihat antara proses transaksi di bank mirip dengan proses pendidikan yang terjadi di sekolah, di mana siswa diberi ilmu pengetahuan agar kelak ia mendatangkan hasil berlipat ganda. Jadi dapat kita asumsikan siswa adalah objek investasi dari deposito potensial. Adapun depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah ilmu pengetahuan yang di ajarkan kepada para siswa.
Alhasil siswa pun diperlakukan sebagai “wadah kosong” yang akan diisi sebagai sarana tabungan ”modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subjek aktif, dan siswa adalah objek pasif.
Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberikan informasi kepada siswa yang wajib di ingat dan dihafalkan. Implikasi lebih jauh atau hasil dari tabungan pendidikan gaya bank dapat kita lihat ketika akhirnya siswa benar-benar menjadi duplikasi mereka dulu, maka pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas guna melanggengkan keberlangsungan status quo. Maka pembebasan menjadi hakekat tujuan filsafat pendidikan Paulo Freire.
Lebih lanjut efek dari pendidikan gaya bank dalam proses pendidikan terbentuklah suatu kebudayaan bisu pada diri siswa, kebudayaan bisu menurut Freire adalah kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri sehingga (diam) nyaris dianggap sesuatu yang sakral, sikap yang sopan , dan harus ditaati. Sesuai dengan teori kebudayaan bahwa budaya tidak pernah hadir dengan sendirinya, maka sudah hal pasti bahwa kebudayaan bisu juga hadir karena adanya value (nilai) dari pendidikan tersebut yang dikesampingkan, kita dapat lihat bahwa pengajar dan pelajar adalah realitas dunia.
Pengajar dan pelajar seharusnya adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia adalah objek (cognizable), inilah nilai yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini. Sejatinya tradisi dari pendidiakan adalah “menggeleng pada kekuasaan” bukan “mengangguk ” sebagai wadah kosong, menggeleng dalam artian ini adalah mengeluarkan argumen terhadap apa yang menjadi objek pelajaran dalam pendidikan, biar terjadi tesis (ide awal) dan antitesis (ide lawan) dialektika antara guru dan murid sehingga menghasilkan sintesis (suatu hasil baru dari dua elemen yang ada).
Pernahkah kita berfikir tentang stigma ketika kita libur akademik kita menginginkan berlibur dan bersantai di pantai? Sadar tidak sadar stigma ini telah diberikan ke kita sedari pendidikan dasar di sekolah. Masih ingatkah kita tentang pelajaran bahasa indonesia sewaktu belajar membaca? Pada saat itu kita (siswa) diberikan dua teks kalimat untuk dibaca oleh guru kita, teks yang pertama bertema hari pendidikan nasional yang di peringati setiap tanggal 2 Mei dan merupakan libur nasional, dalam teks ini kita tidak mendapatkan sejarah ataupun faktor penyebab lahirnya hari pendidikan ini, teks kedua bertema tentang keseruan berlibur di pantai yang bercerita tentang kesenangan tentang pemandangan dan keseruan serta keceriaan saat di pantai.
Dari sinilah kita (siswa) mendapatkan stigma bahwa ketika hari libur maka para siswa akan mengisi waktu liburnya di pantai. Apa yang menyebabkan stigma ini berlangsung bahkan sampai ke tingkat pelajar perguruan tinggi? Untuk memahami ini mari kita coba menggunakan teori pertukaran dari George Caspar Homans. Proposisi sukses (the succes proposition) Homans menjelaskan bahwa “dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran/hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu”.
Singkatnya ketika siswa mendapat ganjaran (kesenangan) berliburnya di pantai, maka besar kemungkinan ketika sudah berstatus mahasiswa di perguruan tinggi dan sedang libur akademik maka akan menghabiskan waktu libur bersantai di pantai. Dan melupakan berdiskusi sesama mahasiswa tentang semester yang telah dilalui dan mempersapkan semester akademik yang akan datang agar melihat ruang kelas sebagai arena pertarungan biar tidak terjadi proses menguasai dan dikuasai dan penghegemonian terhadap mahasiswa.
Meminjam prespektif Freire bahwa mengajar adalah belajar dan belajar adalah mengajar, lebih lanjut Freire menegaskan bahwa guru juga perlu belajar, maka sudah seharusnya dialog hadir dalam proses belajar-mengajar.
Pendidikan yang humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam artian positif) untuk kaum tertindas dan terkuasai inilah metode yang diberi Freire dalam filsafat pendidikannya. Sebelum ke tahap pendidikan yang humanis, Freire menekankan perlu adanya konsientisasi, konsientisasi Freire sendiri menekankan perlu adanya kesadaran nyata bahwa manusia sebagai subjek bukan sebagai objek bukan sebagai wadah kosong yang akan diisi tetapi kita manusia memiliki pemahaman terhadap realitas dunia dalam prespektif masing-masing. Pendidikan yang humanis yang di kembangkan Freire di amerika latin khususnya negara kelahirannya Brazil adalah sebagai bentuk pembebasan kaum tertindas dan perlawan dari pendidikan yang dehumanisasi yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Bagaimana selanjutnya perkembangan dari pendidikan yang humanis dari Paulo Freire, dapatkah pendidikan yang humanis ala Paulo Freire terealisasikan? Bagaimana tanggapan politik dengan proses pendidikan yang humanis yang di tawarkan Freire yang secara tidak langsung dapat menghentikan keberlangsungan status quo?
Dan bagaimana pula korelasi pendidikan yang ada di Indonesia dalam prespektif filsafat pendidikan Freire? Dapatkan pendidikan yang humanis ala Freire di terapkan di Indonesia atau sudah diterapkan?
Hanya ada satu cara, MARI MEMBACA “POLITIK PENDIDIKAN (KEBUDAYAAN, KEKUASAAN, DAN PEMBEBASAN)”
“...apa yang membahagiakan dalam berfilsafat adalah ketika kita sudah tidak membangun upaya untuk mendominasi orang lain, ketika kita tidak memiliki watak hegemoni. Kita bahagia saat setiap pamdangan dunia kita menjadikan kita terbebas dari ideologi-ideologi yang tidak memiliki watak kemanusiaan”. A.M Safwan (aktifis filsafat islam).
Apa yang membahagiakan dari filsafat pendidikan Freire adalah ketika pengajar sudah tidak membangun upaya dominasi dan tidak memiliki watak hegemoni dan terlepas dari kepentingan politik, apa yang indah dalam filsafat pendidikan Freire adalah ketika pelajar sudah memiliki konsientisasi penuh korelasi keduanya akan menghasilkan pendidikan yang humanis.