masukkan script iklan disini
Pic by pixabay |
Oleh Mutiah Dwi Arlina
Bagaimana saya harus bersikap? Sesuai keinginanku atau harus tunduk terhadap tuntutan masyarakat? Ingin bertindak sesuka hati tapi tak mau dikucilkan. Ingin memenuhi tuntutan masyarakat tapi takut kehilangan makna hidup. Lingkungan terlalu rumit untuk aku yang dangkal. Lalu, apa yang ingin kucapai di hidupku dan bentuk apa yang diinginkan masyarakat tentang sikapku? Yang ingin kucapai masih abu-abu. 1 hal yang kutahu, mereka ingin aku berperilaku selayaknya perempuan. Perempuan? Memang apa esensi dari perempuan? Karena aku perempuan maka sikapku harus feminim? Sebenarnya bagaimana perbedaan antara sikap laki-laki dan perempuan itu terbentuk? Biarkan aku ber-opini sesukaku.
Setahuku, Sex merupakan jenis kelamin seseorang sementara gender merupakan perilaku seseorang (laki-laki dan perempuan) yang terbentuk oleh norma, agama, budaya masyarakat yang akhirnya mempengaruhi bagaimana orang tersebut akan berinteraksi.
Seorang bayi tak tahu tentang sex atau gender mereka, setidaknya sebelum diperkenalkan oleh lingkungan: orang tua, saudara, guru ataupun tetangga. Sejak bayi, ibu selalu membedakan antara bayi laki-laki dan perempuan. Contohnya, ketika bayi laki-laki rewel dan bersikap menghindar maka Ibu mengartikan bahwa bayi tersebut sedang cari perhatian dan ingin bermain, sementara apabila hal tersebut terjadi pada bayi perempuan, maka ibu menganggap bahwa si bayi mengalami gangguan dan butuh ketentraman. Contoh lain, Ibu yang membelikan mainan mobil-mobilan untuk anak laki-laki dan boneka untuk anak perempuan. Semua perilaku inilah yang membentuk pola pemikiran pada anak tentang perempuan dan laki-laki.
Tak berbeda dengan Ibu, Ayah juga cenderung lebih memperhatikan anaknya dalam bersikap (perempuan: feminism, laki-laki: maskulin). Ayah akan memarahi putrinya yang bermain robot-robotan dan membentak putranya yang bermain boneka.
Mereka tidak mengungkapkan perbedaan laki-laki dan perempuan dengan kata-kata tetapi cukup dengan perilaku yang sudah tampak jelas. Dan terbukti membuat seorang anak mengerti tentang jenis kelaminnya.
Selain orang tua, pengaruh kakak dalam keluarga juga mengambil bagian besar. Jika kakak mereka laki-laki, seorang putri cenderung tomboy sedangkan apabila kakaknya perempuan maka seorang putra akan bersikap lebih kemayu.
Adapun menurut suatu Lembaga survey di Amerika, menunjukkan hasil bahwa media massa juga berpengaruh. Anak yang berusia 4 tahun sudah dapat terpengaruh sesuatu dari 3000 jam siaran TV. Pengaruh ini akan lebih kecil di negara yang program TV-nya tidak banyak.
Saya teringat buku yang ditulis oleh Save M Dagun yang judulnya Maskulin dan Feminin, disitu tertulis, “sikap kewanitaan itu alami, sedangkan sikap laki-laki senantiasa berkembang” jika ini adalah sebuah kasus, maka dapat diperkirakan bahwa sikap kewanitaan, memudahkan seorang terpengaruh ke dalamnya, sementara sifat kelaki-lakian melalui suatu proses belajar.
Yang saya ketahui tentang awal terbentuknya bagaimana seseorang akan berperilaku. Ketika telah beranjak dari masa kanak-kanak, mereka akan banyak berpikir kembali tentang bagaimana mereka berbeda secara fisik.
Remaja laki-laki akan lebih banyak khawatir: tinggi badan, ukuran penis, dan otot mereka. sedangkan perempuan tidak, perempuan cenderung memperhatikan perubahan fisik pada dirinya dengan senang hati. Hanya 1 hal yang membuat anak perempuan khawatir; menstruasi. Remaja perempuan akan bingung ketika ia sudah menstruasi sedangkan teman-temannya belum, begitupun sebaliknya.
Remaja perempuan lebih dulu mengalami pubertas daripada laki-laki sehingga cenderung lebih dulu matang secara seksual dan lebih dewasa dalam menampilkan emosi (ini adalah sebuah pengetahuan yang kudapat dari guru SMPku) Tapi hal itu berakhir ketika memasuki masa dewasa. Pria dan wanita.
Seorang pria akan lebih mampu mengolah emosinya dibanding perempuan. Remaja laki-laki yang dulunya pendek seketika bertransformasi menjadi pria tinggi dengan badan yang lebih atletis. Sedangkan perempuan, berhenti memperlihatkan tanda-tanda perubahan fisiknya. perbedaan pria dan wanita dalam mengolah emosi sangatlah berbeda. Wanita akan membeberkan segala masalahnya sehingga dapat merasa bebas. Sedangkan pria cenderung menyimpan semua kata-kata dan beralih ke rokok, minuman keras ataupun merusak barang.
“LAKI-LAKI DENGAN LOGIKANYA, PEREMPUAN DENGAN HATINYA” quote tersebut sudah sangat sering dilafalkan. Tapi, apakah dengan berlogika maka mereka tak berperasaan? Atau apakah mereka yang tulus malah lupa cara berpikir? Saatnya saya berteori berdasarkan pengalaman. Sangat banyak laki-laki bucin di negara +62 ini. Dan seketika kupertanyakan ke-logika-an laki-laki. Dan sangat banyak perempuan matre, apakah masih bisa dikatakan berperasaan? Ketika menghadapi masalah, laki-laki akan cepat mendapatkan solusi dengan banyak ekor masalah yang antre, sedangkan perempuan akan lama berpikir, bukan karena lamban tapi perempuan akan menyelesaikan masalah tanpa timbulnya masalah lain. Ketika laki-laki melontarkan kata putus, ia akan senang-senang saja (setidaknya 1 Minggu pertama) lalu apa yang terjadi pada hari-hari berikutnya? Sang laki-laki akan terpuruk dengan keputusannya sendiri. Menggunakan logika kah? Sedangkan perempuan yang menerima kata putus akan menghayati keterpurukannya untuk beberapa saat dan bangkit lebih cepat dengan beberapa list lelaki baik yang siap membahagiakannya.
Saya masih bingung bagaimana harus bersikap. Pengetahuanku masih dangkal. Sesuka hati tanpa sosialisasi atau mengikuti arus bagaikan sampah. Ini masih bagian luar tentang bagaimana jenis kelamin mempengaruhi pola pikir dalam bersikap. Mungkin buku-buku yang sedang di perjalanan menuju genggaman akan menjawab pertanyaanku. Saya tak sabar mengobrak-abrik mereka.